tirto.id - Anak-anak muda di negara-negara Barat dianggap kurang taat beragama. Salah satu kelompok muda, generasi Y atau milenial misalnya, tercatat dianggap sebagai kelompok yang tingkat partisipasinya dalam kegiatan keagamaan cenderung semakin rendah (Twenge JM, et.al, 2015; Bengtson, Vern L, 2017; Zuckerman, Phil, 2015).
Pew Research Centre menampilkan gambaran prediktif itu dalam kasus Amerika. Salah satu studinya memperlihatkan “warga amerika muda antara umur 18-29 tahun cenderung lebih rendah rasa beragamanya dibandingkan generasi amerika yang lebih tua”.
Namun dalam konteks Indonesia belum banyak survei populer yang mengupas seperti dilakukan Pew Research Centre. Kalaupun ada, survei-survei populer lebih cenderung menggunakan kategori agama dalam konteks politik, semisal gambaran calon pemilih dalam Pemilu atau Pemilukada.
Di Indonesia, penelitian terkait aktivitas keagamaan di kalangan kelompok muda cenderung terbatas. Jika pun ada lebih banyak membicarakan komunitas/organisasi keagamaan secara khusus dan hanya untuk satu tipe. Penelitian yang ada juga jamak membicarakan komunitas/organisasi keagamaan dengan latar belakang Islam. Sementara riset yang mencoba mengambil sampel dari komunitas/organisasi keagamaan dengan latar belakang agama lainnya lebih sedikit lagi.
Tirto mencoba melakukan survei partisipasi anak muda di Jakarta dalam komunitas/organisasi keagamaan. Jakarta dipilih karena keberagamannya, selain itu akses kepada responden pun lebih mudah.
Survei dilakukan secara terbatas pada sekolah negeri umum, baik tingkat Sekolah Menengah Atas maupun Perguruan Tinggi, dengan mencoba mengambil sampel secara proporsional untuk agama-agama yang diakui secara formal di Indonesia. Sebagai catatan, satu agama yang diakui secara formal, Konghucu, tidak mencukupi secara kuantitas untuk dilakukan pengambilan data.
Metodologi Riset
Profil Responden
Anak SMA Berkegiatan Agama Setiap Hari; Mahasiswa Seminggu Sekali
Baik pada anak SMA negeri atau mahasiswa di kampus negeri di Jakarta ditemukan dua pola utama dalam frekuensi mengikuti kegiatan komunitas/organisasi keagamaan. Anak SMA mayoritas mengikuti kegiatan “setiap hari”. Sebanyak 37,11 persen responden menyatakan soal frekuensi itu. Sementara sebagian besar anak SMA lainnya cukup mengikuti “satu kali dalam seminggu” (27,04%).
Berbeda dengan anak SMA, mayoritas mahasiswa terlihat lebih jarang mengikuti kegiatan komunitas/organisasi keagamaan. Mayoritas anak kuliah mengikuti “satu kali dalam seminggu” (35,14%) kegiatan keagamaan itu. Sementara sebagian yang lain mengikuti secara “tidak tentu/saat ada acara-acara besar” (23,65%).
Perubahan pola partisipasi tersebut menunjukkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi semakin berkaitan dengan turunnya frekuensi. Anak SMA masih cenderung normatif yakni mengikuti kegiatan komunitas/organisasi keagamaan saban hari. Sementara itu, anak kuliah cenderung lebih fleksibel dalam tingkat kehadiran di komunitas/organisasi keagamaan.
Anak SMA Beda Alasan dengan Anak Kuliah
Bukan soal frekuensi saja yang berbeda. Alasan antara anak SMA negeri dengan mahasiswa kampus negeri di Jakarta soal mengikuti kegiatan komunitas/organisasi keagamaan juga terlihat berubah. Anak SMA mayoritas beralasan bahwa mereka mengikuti kegiatan karena kebutuhan “memperdalam soal Agama”. Sebanyak 45,28 persen responden menyatakan kebutuhan pendalaman agama itu. Sebagian yang lain bersuara kegiatan yang mereka ikuti sebagai “kewajiban” (33,33%).
Sementara mahasiswa memperlihatkan aspek yang lebih meluas terkait alasan mengikuti kegiatan komunitas/organisasi keagamaan. Mayoritas menyatakan mereka mengikuti kegiatan tersebut untuk “bersosialisasi” (36,48%). Artinya, kegiatan yang mereka ikuti itu, pada aspek pertamanya, merupakan bagian dari aktivitas sosial, atau sarana kebutuhan sosial.
Terkadang wadah komunitas/organisasi keagamaan ini juga mampu mempertemukan antarmereka yang berbeda pulau dan asal rumah. Pentingnya sosialisasi itu sebagai sarana lain untuk merasakan perasaan satu keluarga. Umumnya pertemanan model teman sesama agama dianggap membantu menyalurkan perasaan dan situasi itu.
Sementara alasan kedua bagi para responden mahasiswa mengikuti kegiatan komunitas/organisasi keagamaan adalah soal “organisasi” (29,56%). Perkembangan usia yang lebih tinggi mendorong kebutuhan belajar berorganisasi sebagai kebutuhan penting. Cukup dengan latar belakang agama, seorang anak kuliah dapat bergabung dengan komunitas/organisasi keagamaan di lingkungan kampus.
Menariknya, “memperdalam soal agama” bukan menjadi alasan utama anak kuliah mengikuti kegiatan. Hal ini tentu berbeda dengan anak SMA yang menjadikan alasan “memperdalam soal agama” sebagai alasan utama. Hanya 25,16 persen anak kuliah yang menyebut soal alasan itu.
Dua Materi Utama Yang Dianggap Paling Menarik
Responden (baik SMA atau mahasiswa) yang beragama Islam, Kristen dan Buddha, menyebut “memperdalam agama” menjadi materi utama yang dianggap paling menarik selama berkegiatan dalam organisasi/komunitas keagamaan. Sebanyak 59,02 persen responden beragama Islam mengungkapkan hal itu. Begitu juga 38,46 persen responden beragama Kristen dan 60,61 persen responden beragama Buddha.
Materi “memperdalam agama” berbeda-beda untuk masing-masing agama. Untuk responden Islam, materi pendalaman agama yang disukai seperti “bagaimana menjadi seorang muslim yang baik”; “memperdalam soal sunnah ataupun hadist”; “akhlak”; “amal dan ibadah”, dsb. Sementara responden beragama Kristen mengungkapkan tertarik dengan “materi tentang melayani”; “tentang kasih dan kerendahan hati”; “pertumbuhan iman”; “panggilan hidup” hingga ke materi “remaja dalam kehidupan masa kini”. Untuk responden beragama Buddha, banyak yang tertarik dengan “materi tentang karma”; “materi tentang kebajikan”; “kebahagiaan” hingga ke “materi tentang darma”.
Sementara responden Katolik dan Hindu lebih tertarik pada materi “ibadah”. Sebanyak 45,16 persen responden beragama Katolik menyatakan hal itu. Selanjutnya 32,08 persen responden beragama Hindu mengutarakan hal serupa. Sedangkan responden Katolik banyak tertarik dengan momen “Persekutuan Jumat”, yakni momen anak-anak Katolik berkumpul bersama untuk beribadah. Kegiatan ibadah ini pula yang dianggap paling menarik oleh responden beragama Hindu dalam mengikuti kegiatan organisasi keagamaan. Kegiatan keagamaan mereka yang paling dasar adalah beribadah bersama atau sembahyang ke pura terdekat.
Untuk responden Islam, materi “sejarah/pemikiran” menjadi materi berikutnya yang dianggap menarik -- kedua terbanyak. Sebanyak 49,18 persen responden menyatakan hal itu. Materi “sejarah/pemikiran” yang dianggap menarik oleh responden Islam terkait materi seperti “sejarah peradaban Islam” hingga ke “kajian strategis” ataupun “kajian politis”.
Sementara bagi responden beragama Katolik dan Buddha, materi menarik kedua terbanyak adalah “sharing”. Sebanyak 17,74 persen responden Katolik dan 16,7 persen responden Buddha mengungkapkan hal itu. Kegiatan “sharing” yang dimaksud oleh responden Katolik dan Buddha kegiatan yang umumnya dilakukan dengan berkumpul bersama, saling berbagai cerita tentang berbagai hal. Umumnya kegiatan “sharing” terkait pengalaman sehari-hari.
Materi kajian “kitab suci” menjadi materi kedua terbanyak bagi responden beragama Kristen. Sebanyak 27,69 persen responden menyatakan hal itu. Sedangkan bagi responden yang beragama Hindu, materi “praktik agama” menjadi materi menarik kedua yang diminati dengan 30,19 persen suara responden.
Cenderung Tidak Ada Materi Perbandingan Agama
Mayoritas siswa SMA dan mahasiswa di Jakarta mengatakan tidak ada materi perbandingan agama dalam kegiatan komunitas/organisasi keagamaan mereka. Sebanyak 93,08 persen anak SMA memberikan jawaban “tidak” saat ditanya hal itu. Hanya 6,92 persen yang menjawab “ada”.
Hal serupa ditemui pada responden mahasiswa. Mayoritas menjawab "tidak ada materi perbandingan agama". Namun proporsinya berbeda jika dibandingkan dengan anak SMA. Jawaban “tidak” hanya diberikan 75,68 persen responden mahasiswa. Sementara, 24,32 persen lainnya menyatakan bahwa dalam komunitas/organisasi keagamaan di lingkungan kampus mereka “ada” materi perbandingan agama.
Patut digarisbawahi bahwa pertanyaan soal “materi perbandingan agama” tidak mudah untuk dijawab. Beberapa anggapan cenderung melihat materi pertanyaan itu sangat spesifik dan bersifat “khusus keperluan internal”. Alasan lainnya, banyak penelitian yang menjadikan komunitas/organisasi keagamaan sebagai subyek riset dengan hasil atau bingkai tertentu, semisal dalam hubungannya radikalisme agama, dan itu berpengaruh dalam mendorong kehati-hatian responden untuk menjawab. Meski demikian, ada beberapa responden yang mau menjawab secara terbuka, dan menyatakan “materi perbandingan agama” ada dalam kegiatan mereka. Tentu saja hal itu muncul dengan konteks dan spektrum yang bervariasi.
Dari keseluruhan responden (SMA dan mahasiswa), hanya responden beragama Hindu yang 100 persen mengungkapkan tidak ada “materi perbandingan agama”. Untuk responden beragama Islam, hanya 9,84 persen yang menyatakan "ada" materi perbandingan agama. Untuk responden Kristen dan Katolik hasilnya hampir serupa. 27,69 persen responden beragama Kristen dan 22,58 persen responden Katolik mengungkapkan adanya materi perbandingan agama. Sementara hanya 13,64 persen responden beragama Buddha yang mengaku ada “materi perbandingan agama” itu.
Lantas apa saja “materi perbandingan agama” yang dapat terekam dalam penelitian ini?
Bagi responden Islam, materi seperti “Ketuhanan dan kebenaran dalam agama Islam” menjadi salah satunya. Selain itu, beberapa responden menyebutkan soal bahasan yang terkait agama Yahudi, khususnya terkait konflik antara Israel dan Palestina.
Responden Kristen juga menjawab beragam. Di antaranya materi yang berhubungan dengan “Kitab Suci” dan “perbedaan doktrin”. Begitu juga materi yang berhubungan dengan fakta/kisah-kisah dalam Kitab Suci untuk diperbandingkan. Ada pula yang menyebut secara spesifik materi “Islamologi”. Muncul juga materi “perdamaian” antar agama dalam konteks isu-isu terkini.
Sebagian responden Katolik mengungkapkan materi “toleransi” dalam kegiatan perbandingan agama itu. Beberapa yang lain menyebut soal Kitab Suci ataupun cara beribadah. Untuk responden Buddha, materi mengenai “konsep ketuhanan dan kehidupan” mereka sebut sebagai materi perbandingan agama. Ada juga yang menyebut soal toleransi, kehidupan sehari-hari, hingga “hukum karma dan reinkarnasi”.
Peran Alumni Amat Besar dalam Kegiatan Komunitas/Organisasi Keagamaan
Responden mahasiswa cenderung lebih terbuka terhadap orang di luar lingkungan mereka dalam soal pembicara/pemateri keagamaan. Hal itu terlihat dari perbedaan sosok utama pembicara/pemateri keagamaan di lingkungan dalam sekolah dengan kampus.
Bagi siswa SMA, “pengurus komunitas/organisasi keagamaan” (61,64%) adalah sosok utama yang sering memberikan materi keagamaan. Kegiatan anak SMA dengan demikian cenderung berskala kecil dan terbatas pada lingkungan komunitas/organisasi itu. Dalam artian lain, “dari mereka untuk mereka sendiri”.
Selain peran pengurus, sosok kedua yang kerap menjadi pemateri bagi responden SMA soal kegiatan keagamaan adalah “guru dari internal sekolah” (25,79%). Hal ini wajar karena, umumnya, anak SMA masih bergantung sepenuhnya dalam pengawasan guru, baik dalam soal pelajaran atau kegiatan lainnya.
Sementara mahasiswa cenderung dapat mengakomodasi keterbukaan dalam kegiatan komunitas/organisasi keagamaan. Hal ini terlihat dari besarnya peran “alumni” dalam kegiatan komunitas/organisasi keagamaan. Sebanyak 48,43 persen responden mahasiswa menyebut alumni sebagai sumber utama yang memberi materi keagamaan.
Selain itu, anak kuliah juga terlihat membuka diri dengan “pemuka agama dari luar kampus” (38,99%) untuk soal kegiatan komunitas/organisasi keagamaan. Hal ini dikarenakan tempat pendidikan mereka berkategori negeri (bukan pendidikan agama) maka penerimaan ke pemuka agama dari luar kampus cenderung luas diterima.
Sumber: Riset Mandiri Tirto
Penulis: Dinda Purnamasari
Editor: Zen RS