Menuju konten utama

Surati Presiden, 52 Guru Besar Tolak Pelemahan KPK

Sedikitnya 52 guru besar menandatangani surat penolakan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Guru besar tersebut berasal dari perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Dalam surat tersebut Guru besar berharap pelemahan KPK melalui revisi undang-undang di DPRD tidak terjadi.

Surati Presiden, 52 Guru Besar Tolak Pelemahan KPK
Sejumlah Alumni Lintas Perguruan Tinggi yang tergabung dalam Gerakan Anti Korupsi (GAK) menunjukkan simbol penolakan saat aksi damai di gedung KPK, Jakarta, Dalam aksinya mereka menolak rencana revisi UU KPK. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - Sedikitnya 52 guru besar menandatangani surat penolakan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Guru besar tersebut berasal dari perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Dalam surat tersebut Guru besar berharap pelemahan KPK melalui revisi undang-undang di DPRD tidak terjadi.

"Surat tersebut akan diterima sekretariat kepresidenan Selasa besok," kata Guru Besar IPB Prof Hariadi Kartodihardjo di Bandung, Senin (22/2/2016).

Melalui siaran pers pada , Hariadi mengatakan tidak ada alasan untuk melemahkan KPK. Menurut analisanya KPK selama ini telah melakukan pembenahan kebijakan pengelolaan sumber daya alam.

"Termasuk di dalamnya penataan tambang, kebun, pangan dan lain-lain yang terkait dengan sumber daya lahan," katanya.

Hariadi menjelaskan, di sisi aspek pencegahan, KPK juga melakukan inisiasi adanya Nota Kesepakatan Bersama (NKB) percepatan pengukuhan kawasan hutan Indonesia dengan 12 kementerian terkait pada 2013 lalu.

Masih menurut Hariadi pada 19 Maret 2015, KPK bersama dengan 20 kementerian dan lembaga negara menandatangani nota kesepakatan rencana aksi bersama penyelamatan sumber daya alam Indonesia.

"Penandatanganan yang dilaksanakan di Istana Negara Jakarta dihadiri oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Selain itu, disepakati pula deklarasi aparat penegak hukum untuk mendorong upaya penegakan hukum dalam rangka penyelamatan sumber daya alam di Indonesia," Jelasnya.

Hariadi mengatakan berdasarkan kajian KPK, munculnya ketidakjelasan status hukum kawasan hutan mengakibatkan tumpang tindih dan potensi korupsi dalam proses perizinan. Sebagai contoh pada 2014, ditemukan sekitar 1,3 juta hektare izin tambang berada dalam kawasan hutan konservasi dan 4,9 juta hektare berada dalam kawasan hutang lindung.

"Akibatnya negara kehilangan potensi penerimaan negara sebesar Rp 15,9 triliun per tahun. Belum lagi kerugian diakibatkan pembalakan liar mencapai Rp 35 triliun per tahun," katanya.

Menurutnya, peran KPK mempunyai efek positif dalam melakukan perbaikan sistem dan kebijakan Penyelamatan Sumber Daya Alam (PSDA).

"Pelemahan KPK berarti juga akan melemahkan perbaikan sistem dan kebijakan PSDA yang korup dan tidak adil selama ini," katanya.

Selain itu, lanjut Hariadi, tercatat upaya pencegahan korupsi melalui Koordinasi Supervisi Mineral dan Batu Bara (Korsup Minerba) di 12 provinsi. Hariadi menjelaskan bahwa rekomendasi Korsup Minerba di tingkat provinsi tahun 2014, pemerintah daerah wajib mengevaluasi dan menata Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang bermasalah, baik permasalahan administrasi, keuangan maupun wilayah.

"Salah satu indikator evaluasi izin adalah IUP bermasalah dengan status Non Clean and Clean (CNC). Dimana, izin-izin yang belum mendapatkan sertifikat CNC direkomendasikan untuk dicabut," ujarnya.

Hariadi menyebutkan berdasarkan data Korsup Minerba 2014, provinsi dengan jumlah IUP Non-CNC tertinggi adalah Provinsi Bangka Belitung (601 IUP), diikuti Provinsi Kalimantan Timur (450 IUP) dan Kalimantan Selatan (441 IUP).

"Walau demikian, di beberapa provinsi penataan izin bermasalah ini juga dilakukan perbaikan dan penyelesaian permasalahan sehingga IUP dan non-CNC menjadi bersertifikat CNC," katanya.

Baca juga artikel terkait GURU BESAR atau tulisan lainnya

Reporter: Agung DH