Menuju konten utama

Surat Terbuka untuk Sesama Pemegang Saham DLTA

Antara 1992–2016, saham DLTA telah tumbuh 285 kali lipat. Ini adalah sebuah imbal yang sangat fenomenal.

Surat Terbuka untuk Sesama Pemegang Saham DLTA
Avatar Chris Angkasa. tirto.id/Sabit

tirto.id - Salah satu janji kampanye yang dilontarkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan adalah mereka akan menjual kepemilikan saham di PT Delta Djakarta Tbk (DLTA). Ini merupakan alasan yang bisa dimengerti, mengingat basis pemilih konservatif mereka. Tentu saja pelepasan saham ini akan menunjukkan bahwa mereka berkomitmen untuk tidak diasosiasikan dengan saham "dosa" ini. Terlepas dari apakah keputusan mereka akan membawa dampak positif (penulis tidak yakin bahwa hal ini berpengaruh, karena perusahaan akan tetap beroperasi seperti biasanya), mari kita coba melakukan analisis terhadap wacana ini.

Sekadar memberikan konteks, penulis berbicara dari posisi sebagai pemegang KTP Jakarta dan juga pemegang saham DLTA. Banyak dari teman penulis yang mengetahui bahwa kami sangat bullish terhadap perusahaan ini; kami adalah value investors, atau yang sering dirujuk orang sebagai investor fundamental. Kerangka inilah yang kami pakai untuk menelaah wacana ini.

Pasar dan Persaingan

PT Delta Djakarta Tbk (DLTA) adalah perusahaan Indonesia yang memproduksi minuman ringan dan beralkohol (mayoritas bir). Beberapa merek yang diproduksi (sebagian diberikan lisensi) adalah merek yang cukup terkenal seperti Anker Bir, Anker Stout, Carlsberg, San Miguel, Kuda Putih, dan Sodaku.

Saat ini, susunan pemegang saham DLTA adalah San Miguel Malaysia (58%), Pemda DKI Jakarta (23%), dan sisanya dimiliki masyarakat (18%). Kami berpendapat bahwa di masa lampau, kepemilikan saham Pemda adalah bagian dari harga yang harus dibayar San Miguel untuk memperoleh akses ke pasar Indonesia.

Hari ini DLTA beroperasi di bidang industri yang dilindungi. Hanya ada beberapa perusahaan lain (seperti Multi Bintang dan Bali Hai, yang memiliki ukuran setara) yang bisa menjalankan industri ini. Pemerintah telah menutup keran perizinan asing untuk produksi minuman beralkohol di Indonesia. Di sisi lain, produk substitusi dan alternatif tidak bisa bersaing dengan minuman alkohol produksi lokal karena mereka dibebani cukai yang berkisar antara 90–150%.

Dari sudut pandang ekonomi, pasar yang dilindungi berdampak pada persediaan (supply) yang kian terbatas. Akibatnya, pemain incumbent dapat menikmati keuntungan di atas rata-rata dikarenakan persaingan yang terbatas, meskipun pemerintah menuntut cukai/pajak yang tinggi untuk industri ini. Pemerintah tidak memiliki insentif untuk membuka keran untuk pemain baru; hal ini tidak populer di kalangan penduduk yang mayoritas beragama Islam. Jadi, perlindungan terhadap pemain yang sudah beroperasi sebagian disebabkan oleh kebijakan pemerintah.

Kita juga bisa melihat kondisi pasar minuman beralkohol (dalam kasus ini bir) di Indonesia. Ukuran pasar Indonesia untuk bir masih tertinggal bila dibandingkan dengan negeri-negeri jiran. Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa hal ini disebabkan oleh faktor mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam. Namun, bila dibandingkan dengan Malaysia yang juga mayoritas Muslim, konsumsi per kapita Indonesia masih di bawah seperlimanya Malaysia. Pokok yang ingin kami sampaikan: masih banyak ruang bagi pasar bir Indonesia untuk berkembang.

Infografik Periksa data bir delta djakarta

Infografik Periksa data bir delta djakarta

Kami akan memberikan beberapa poin kepada pembaca untuk menunjukkan bahwa DLTA bukan perusahaan biasa.

Return of Equity

Salah satu metrik yang menunjukkan kualitas perusahaan adalah tingkat imbal hasil (return) dari modal yang diberikan. Beberapa contoh metrik yang mengukur ini adalah Return of Capital (ROC), Return of Equity (ROE), Return of Asset (ROA), dan Return of Invested Capital (ROIC). Untuk penyederhanaan, kami akan menggunakan ROE sebagai tolak ukur kualitas bisnis DLTA.

ROE adalah sebuah metrik yang bisa terdistorsi bila sebuah perusahaan memiliki tingkat utang yang tinggi. Namun, dalam kasus DLTA, perusahaan ini memiliki neraca yang sangat sehat dan utangnya sangat minim. Ini salah satu alasan kenapa angka ROE dan ROA DLTA tidak berbeda jauh, yaitu 31,8% dan 33,7% (dikalkulasi dari angka rata-rata selama lima tahun terakhir).

Perusahaan yang berkualitas biasanya memiliki ROE di atas 15%. Untuk memberikan konteks yang lebih luas, berikut adalah data ROE beberapa perusahaan lain di Indonesia sebagai perbandingan. Perusahaan di bawah adalah Astra International (ASII), Bank BCA (BBCA), Bank BRI (BBRI), Multi Bintang (MLBI), dan Unilever (UNVR).

Infografik Periksa data bir delta djakarta

Walaupun tidak setinggi MLBI dan UNVR, angka DLTA adalah angka yang sangat bagus. Angka ini lebih tinggi daripada perusahaan elite lain seperti Astra, BCA, dan BRI. Dari kerangka ROE, DLTA menempati puncak 5% dari semua saham yang diperdagangkan di IHSG. Namun, cerita tidak sampai di sini saja.

Neraca / Balance Sheet

Hal yang membuat DLTA sangat menarik bukan ROEnya saja. Bila kita cermat mengamati neraca perusahaan ini, kita dapat menemukan satu hal yang sangat penting. Selama lima tahun terakhir, DLTA telah menghasilkan arus kas operasi (operating cash flow) sebanyak hampir Rp1,3 triliun. Dari arus kas ini, perusahaan hanya menggunakan sebanyak Rp72 miliar untuk belanja modal, dan pada kurun waktu yang sama, membagikan sekitar Rp730 miliar kepada pemegang saham dalam bentuk dividen. Walaupun beberapa tahun terakhir, media begitu banyak memberikan berita negatif tentang perusahaan ini (seperti larangan penjualan alkohol di minimarket), sesungguhnya bisnis DLTA, bersamaan dengan produsen minuman beralkohol lainnya, sedang berkembang pesat. Periode 2011–2017 adalah masa yang sangat menguntungkan bagi perusahaan.

Infografik Periksa data bir delta djakarta

Di samping itu, Anda bisa melihat bahwa tingkat belanja modal sangatlah kecil untuk perusahaan sebesar DLTA. Untuk menghasilkan arus kas operasi sebesar itu, perusahaan hanya perlu mengalokasikan sekitar Rp15 miliar setahun. Ini angka yang kecil, mengingat DLTA memiliki aset sebanyak Rp1,3 trilliun dan kapitalisasi pasar sebesar Rp4 trilliun.

Kemampuan menghasilkan uang luar biasa ini membuat DLTA menumpuk sekitar Rp850 miliar di neraca per Desember 2017. Dalam laporan kuartal pertama yang baru disajikan, uang kas ini berkutat di angka sekitar Rp940 miliar. Hal ini penting karena dua hal. Pertama, seperempat dari kapitalisasi pasar DLTA berbentuk uang tunai. Untuk alasan-alasan tertentu, perusahaan memutuskan untuk menumpuk uang tunai yang begitu besar daripada mengembalikannya ke pemegang saham.

Alasan kedua lebih menarik. Uang tunai yang sedemikian besar di neraca telah mendistorsi kekuatan ekonomi sejati dari DLTA. Kenapa demikian? Sebagian besar uang tunai yang menumpuk di dalam perusahaan bisa dikeluarkan tanpa mengganggu jalannya perusahaan. Bila ini dilakukan, maka modal yang digunakan di dalam perusahaan akan berkurang. Sebagai hasilnya, ROE DLTA yang sesungguhnya lebih tinggi dari yang kita kira.

Infografik Periksa data bir delta djakarta

Infografik Periksa data bir delta djakarta

Dengan asumsi kita bisa mengeluarkan 90% dari uang tunai tersebut, maka ROE rata-rata lima tahun terakhir akan mendekati 70%. Sepanjang pengetahuan kami, perusahaan yang secara konsisten memiliki angka yang lebih baik dari ini bisa dihitung dengan satu tangan.

Infografik Periksa data bir delta djakarta

Dari segi ekonomi, Pemda DKI akan kehilangan aset yang begitu berharga di masa yang akan mendatang. Pemda telah mencicipi sebagian hasil dari kinerja perusahaan ini di masa yang lampau. Antara 1992–2016, saham DLTA telah tumbuh 285 kali lipat. Ini adalah sebuah imbal yang sangat fenomenal.

Kami telah memberikan beberapa informasi mengenai perusahaan ini. Sejauh ini, kita mengetahui: 1) DLTA adalah sebuah perusahaan yang berkualitas tinggi; 2) DLTA memiliki tumpukan uang tunai dalam neraca yang belum digunakan secara optimal; 3) Pemda DKI memiliki keinginan untuk melepaskan aset ini yang tidak berhubungan dengan alasan ekonomi.

Kami memiliki beberapa sudut pandang yang berbeda, tergantung dari apakah kami melihat isu ini dari kacamata seorang warga DKI Jakarta, atau kacamata seorang pemegang saham DLTA.

Perspektif Warga

Dalam mengeksekusi transaksi ini, Pemda DKI harus ekstra hati-hati. Ada banyak potensi konflik kepentingan karena DLTA merupakan aset yang sangat berharga. Penjualan saham dengan harga hari ini (sekitar Rp5.500) bukanlah sebuah hasil yang optimal untuk Pemda DKI, dan akhirnya akan merugikan rakyat. Pada saat bersamaan, siapapun yang berhasil membeli DLTA akan mendapatkan sebuah aset yang sangat berharga dengan harga yang cukup bagus.

Apabila kami diberikan mandat untuk menjual kepemilikan ini, ada beberapa poin yang kami anggap penting:

Pemda DKI harus melakukan lelang terbuka untuk mendapatkan investor yang mau dan bisa membeli keseluruhan kepemilikan Pemda. Walaupun nilainya terhitung besar, akan tetapi ini bukanlah angka yang terlalu besar mengingat calon pembeli bukanlah investor retail (kemungkinan besar dibeli dana asing, private equity, atau San Miguel sendiri). Lelang terbuka akan memberikan jaminan bahwa harga pasar dapat diperoleh (ditambah premium). Bila penjualan dilakukan secara internal, dan tidak transparan, hal ini akan mengakibatkan potensi memberikan aset berharga ini kepada kroni ataupun teman dekat ataupun perusahaan afiliasi. Jika ini terjadi, kami kira ini akan menjadi perampasan di siang bolong dan menunjukkan kemunafikan dari kebijakan publik. Ini menguntungkan pribadi dan merugikan warga Jakarta.

Selain itu, untuk mengoptimalkan transaksi ini, Pemda harus mempelajari kemungkinan untuk mendorong mayoritas pemegang saham supaya membagikan dividen khusus. Mayoritas uang tunai yang bertumpuk di neraca sudah seharusnya dibagikan bila perusahaan tidak memerlukan modal sebesar itu. Pemda DKI, walaupun tidak memiliki kontrol untuk melakukan itu, memiliki saham yang signifikan untuk memberikan tekanan kepada mayoritas pemegang saham. Per kuartal pertama 2018, DLTA memiliki sekitar Rp940 miliar. Pembayaran 90% dan kas tersebut akan menghasilkan tambahan hampir Rp200 miliar pemasukan untuk Pemda. Dividen khusus ini kemungkinan besar tidak akan memengaruhi valuasi pasar jangka panjang untuk DLTA. Hal ini dikarenakan DLTA bukan dihargai karena nilai asetnya, tetapi karena kemampuan perusahaan menghasilkan arus kas (terbukti dari kapitalisasi pasar perusahaan yang melebihi 4x harga buku).

Kedua poin di atas memerlukan satu komponen yang penting, yaitu waktu. Pemda DKI punya ini. Kami tidak melihat alasan kenapa Pemda DKI harus terburu-buru melakukan transaksi, kecuali ada faktor lain yang belum kami temukan. Hal ini akan bergantung pada kebijaksanaan pejabat yang memiliki otoritas untuk melakukan ini.

Perspektif Investor

Bagaimana dengan perspektif dari sesama investor dalam DLTA? Dalam kasus ini, kami membayangkan bahwa kami memegang kuasa sebagai investor mayoritas. Ada beberapa skenario yang bisa terjadi:

#1: Saham Pemda dibeli oleh pemegang saham mayoritas (San Miguel)

#2: Saham Pemda dibeli oleh pihak ketiga

#3: Saham Pemda dibeli oleh perusahaan dengan uang perusahaan (share buyback)

Kedua opsi pertama tidak akan memengaruhi pemegang saham lainnya, dan juga tidak memengaruhi aktivitas perusahaan. Kegiatan perusahaan akan berlangsung normal*.

Inilah alasan mengapa kami cukup bingung dengan pernyataan Wakil Gubernur bahwa dengan menjual kepemilikan saham Pemda, perusahaan bisa terbantu untuk berekspansi (dikarenakan Pemda tidak mau memasukkan modal lagi). Hal ini membingungkan karena dua hal: DLTA tidak memerlukan modal yang banyak untuk menghasilkan arus kas yang luar biasa, dan perusahaan bisa mendapatkan modal dengan menerbitkan saham baru tanpa melibatkan Pemda.

Kami ingin berfokus pada opsi ketiga, dan dengan rendah hati kami mengusulkan bahwa ini adalah hasil yang paling optimal untuk semua pemegang saham DLTA. Share buyback atau pembelian saham oleh perusahan belum sering dipakai dengan efektif di pasar Indonesia. Namun, ini adalah sebuah teknik yang cukup sering dipakai oleh manajer yang memiliki kemampuan capital allocation yang tinggi (dua tokoh yang cukup terkenal menggunakan teknik ini adalah Ray Singleton dan Warren Buffett).

Apabila ini terjadi, maka ini akan menunjukkan bahwa San Miguel, sebagai pemegang saham mayoritas dari DLTA, mengerti Good Corporate Governance dan juga adalah capital allocator yang luar biasa. Penggunaan share buyback merupakan cara yang paling optimal untuk mengembalikan dana kepada pemegang saham. Transaksi dividen akan dikenai pajak 10%, sedangkan biaya buyback hanya sebanyak 0,1% dari total transaksi. Harapan kami, skenario ini akan menjadi kenyataan.

*Inilah alasan kenapa kami skeptis bahwa penjualan saham Pemda bisa mengubah situasi. Pada kenyataannya, bila izin perusahaan alkohol tetap berlaku, Pemda dalam posisi rugi karena tidak bisa mendapatkan keuntungan dari konsesi yang mereka berikan. Saat ini, Pemda mendapatkan bagian dari aktifitas DLTA dalam bentuk capital gain, cukai, dan dividen. Ke depannya, Pemda hanya mendapatkan bagian dalam bentuk cukai.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.