tirto.id - Persib Bandung memang tampil mengecewakan sejak penghujung Liga 1 2018. Dalam lima pertandingan terakhir, tak sekali pun Maung Bandung menang. Tiga kali imbang dan menelan dua kekalahan.
Maka jika bobotoh--para pendukung Persib--berharap ada perbaikan pada musim kompetisi 2019, itu wajar belaka.
Miljan Radović, pelatih yang ditunjuk menggantikan Mario Gómez musim ini, tahu betul soal itu. Sayangnya pada gelaran pramusim Piala Presiden 2019, dia belum bisa membuktikan kapasitasnya. Dua kali main sebagai tuan rumah, dengan atmosfer dukungan yang menggebu-gebu dari bobotoh, Persib dua kali pula terpeleset.
Di laga pembuka mereka dipecundangi klub yang usianya baru beberapa bulan, Tira Persikabo, 1-2. Kemudian, tuan rumah juga tunduk 2-3 dari Persebaya Surabaya yang kini dilatih Djadjang Nurjaman, pria yang sempat mengantarkan Persib juara liga tahun 2014.
Amarah bobotoh mencapai puncaknya pada kekalahan kedua itu. Sepanjang laga, nyanyian-nyanyian "ganti Radović" atau "Radović butut" menggema dari arah tribun.
Usai pertandingan, beberapa suporter bahkan sampai turun ke pinggir lapangan, mendekati Radović, kemudian memukulnya di bagian muka. Pertikaian itu akhirnya dihentikan oleh petugas keamanan.
Pada konferensi pers usai pertandingan, Radović meluapkan unek-uneknya.
"Saya minta maaf untuk bobotoh yang mendukung pemain. Tapi kalau mereka datang ke dalam, pukul, [rasanya] tidak enak," ucapnya.
Pemukulan terhadap Radović, bagaimanapun, tidak bisa dibenarkan. Hal itu dikatakan pengamat sepakbola dan jurnalis olahraga senior, Budiarto Shambazy.
"Kejadian yang cukup memalukan, ya, pelatih diserang oleh suporter. [Mereka] kecewa, tapi ya masak pelatih sampai dipukuli?" kata Budiarto kepada reporter Tirto, Jumat (8/3/2019).
Bukan Hal Baru
Di Indonesia, tekanan serupa suporter kepada pelatih sebenarnya bukan barang baru.
Di awal Liga 1 musim lalu, mantan pelatih Borneo FC, Iwan Setiawan, pernah dirisak suporter. Ini akhirnya membikin Iwan berang. Pernah suatu saat, usai menghadapi Sriwijaya FC dalam laga pembuka Liga 1 2018, Iwan mendatangi tribun penonton dan meneriaki balik suporter.
"Suporter harusnya mikir siapa Iwan Setiawan. Prestasi Borneo FC ini siapa yang membawa? Harusnya mereka mikir," kata Iwan pada konferensi pers usai laga itu.
"Saya ke sini karena Nabil Husein [Presiden Borneo FC]. Saya akan menanyakan ke dia, langkah apa yang diambil untuk mengatasi kondisi suporter yang tidak fair. Kalau memang kami sudah tidak bisa bertemu, tidak masalah kalau saya harus pergi dari tim ini. Karena ini adalah profesional. Buat saya kerja adalah ibadah," ucapnya.
Iwan akhirnya tak betah terus-menerus dapat tekanan. Gagal membawa Pesut Etam berprestasi, dia terdepak. Posisinya lantas digantikan oleh pelatih asal Serbia, Dejan Antonić.
Di bawah asuhan Antonić, Borneo FC melesat. Pesut Etam perlahan meninggalkan papan bawah untuk finis di peringkat tujuh klasemen akhir Liga 1.
Padahal, secara taktik dan komposisi pemain, setelah kedatangan Antonić. Borneo FC tak dirombak besar-besaran. Rotasi pemain sempat terjadi pada paruh musim, namun tidak dalam angka besar.
Pertanyaan kemudian muncul: Apa yang membuat Iwan gagal tetapi Antonić berhasil?
Belajar dari Balkan
Jawabannya adalah ketahanan. Berasal dari Serbia, Antonić adalah pelatih tahan banting, tak mudah berang meski ditekan suporter habis-habisan. Dia juga tidak suka banyak omong.
Antonić tahu betul, kalau suporter sedang punya tensi tinggi karena melihat klubnya tak tampil memuaskan, tiada gunanya mengeluh.
Saat timnya beberapa kali terjatuh pun, dia enggan mengajukan banyak dalih. Karakter ini sempat dia tegaskan saat pertama kali dikontrak Borneo FC.
"Saya sudah bertemu dengan banyak macam suporter. Yang jelas saya akan fokus kepada kerja saya," ujarnya.
Di negara-negara Semenanjung Balkan, tak terkecuali Serbia, militansi suporter terhadap klub yang mereka cintai tidak kalah dari Indonesia, bahkan lebih ekstrem. Watak keras akibat riwayat perang panjang punya andil besar yang bisa membikin suporter-suporter ini mudah tersulut.
Pada 2008 misal, suporter Partizan Belgrade dan Novi Sad pernah bentrok dan berujung insiden penembakan yang mengakibatkan seorang penonton bernama Branislav Nusic tewas. Partizan dan Novi Sad adalah klub dari Serbia, negara yang juga tempat kelahiran Dejan Antonić.
Kemudian, seorang suporter asal klub Perancis, Toulouse, pada 2009 lalu tewas setelah dikeroyok suporter Partizan Belgrade. Insiden ini terjadi setelah pertemuan kedua kesebelasan di Liga Eropa yang dihelat di Belgrade.
Atau tidak usah jauh-jauh ke masa lampau untuk membuktikan betapa keras dan militannya watak suporter sepakbola Semenanjung Balkan. Dalam sebuah laga playoff Liga Champions musim ini saja, suporter klub asal Serbia lain, Red Star Belgrade sempat menginvasi lapangan dengan menyalakan kembang api.
Akibat tindakan berbahaya itu, UEFA bahkan pernah menjatuhkan sanksi kepada suporter berupa larangan hadir dalam laga tandang Liga Champions melawan Liverpool dan PSG.
Maka, sewaktu datang ke Indonesia, Antonić merasa mafhum dengan kultur sepakbola di sini yang kerap dicap rusuh. Akibat kemampuannya mengendalikan diri pula, Antonić akhirnya diberi kontrak menggiurkan dan kini menangani klub bertabur bintang, Madura United.
Dalam situasi seperti sekarang, ada baiknya sikap Antonić itu diteladani Radović. Apalagi, Radović seharusnya juga sudah hafal dengan beratnya tekanan suporter mengingat dia berasal dari Montenegro, negara yang juga berada di Semenanjung Balkan.
Dia juga pernah menjadi pemain dan pelatih di negara tersebut.
Di mata Budiarto Shambazy, gagasan itu pun ada benarnya. Menurut Budiarto, mengubah karakter suporter Indonesia untuk bisa sembuh total dari vandalis adalah hal yang sulit dan butuh proses bertahap. Jalan mudahnya, mau tak mau pelatih harus bisa fokus di tengah tekanan yang ada.
"Sudah sulit ya kalau suporter rusuh gitu. Lalau memang pelatihnya masih mampu, mau tidak mau harus fokus bekerja saja," pungkasnya.
Editor: Rio Apinino