tirto.id - Hiroshi Yamauchi, orang nomor satu di Nintendo, sedang pusing. Penyebabnya, waktu itu, 1980, dua gim arcade yang dibikin khusus untuk mengokupasi pasar AS yang diprediksi punya potensi keuntungan senilai $8 miliar, Radar Scope dan Space Invaders, gagal memberikan hasil maksimal. Penjualan seret, kedua gim tersebut dianggap tak menarik.
Tak ingin lama-lama berkubang dalam kecewa, Yamauchi langsung putar otak mencari strategi ampuh guna memperbaiki keadaan. Ia lantas menunjuk Shigeru Miyamoto, staf di divisi desain, untuk membuat gim baru pengganti Radar Scope.
Bagi Miyamoto, lulusan teknik industri, tugas yang diberikan Yamauchi bukanlah perkara sepele. Ada tanggung jawab besar—atau mungkin beban—yang dipikul mengingat ia harus mengangkat martabat perusahaan setelah keok lewat Radar Scope.
Langkah pertama yang diambil Miyamoto adalah berusaha menghadirkan Popeye sebagai karakter utama dalam gim yang sedang ia bikin. Namun, upayanya gagal karena kesepakatan pemberian lisensi tak membuahkan hasil.
Kegagalan ini rupanya punya hikmah sekaligus membuka jalannya ke arah yang mungkin tak pernah dibayangkan sebelumnya.
Modal Babat Alas
Alih-alih patah arang, Miyamoto justru kian termotivasi dalam menuntaskan tugas perusahaan. Pasalnya, ia lebih punya kebebasan untuk menentukan bagaimana gimnya akan dibuat. Ditolaknya permohonan lisensi Popeye ternyata mendatangkan berkah, setidaknya bagi Miyamoto dan ambisinya.
Dalam “How Super Mario Became A Global Cultural Icon” yang terbit di The Economist dijelaskan, hal pertama yang ia susun adalah plot permainan. Miyamoto tak ingin plot yang njelimet. Maka, dibikinlah cerita yang intinya merekam perjalanan seorang pahlawan menyelamatkan nyawa gadis dari gorila.
Lagi-lagi, untuk urusan penggambaran tokoh, Miyamoto tak menghendaki pahlawannya adalah manusia super. Ia ingin gimnya dekat dengan realitas. Walhasil, jadilah karakter pria biasa, bekerja sebagai tukang kayu, berusia paruh baya, mengenakan topi, memakai baju berwarna cerah, dan punya kumis hitam lebat di wajahnya.
Tiga ciri-ciri yang disebut terakhir dibuat sengaja untuk menyiasati keterbatasan teknis dalam layar beresolusi rendah. Penyertaan kumis, misalnya, ditujukan untuk memisahkan bagian hidung dan dagu agar tidak nampak jadi satu. Topi dipakai untuk menggantikan rambut yang dinilai tak muat dalam kotak 16 piksel. Sementara pakaian berwarna cerah dimaksudkan agar si karakter utama tetap menonjol dengan latar belakang gim yang gelap.
Karakter ini punya nama “Jump Man”—karena cuma bisa loncat—dan ia tampil di gim Donkey Kong.
Kreasi Miyamoto sukses besar dan membuat publik seketika lupa dengan kegagalan Radar Scope. Dalam dua tahun pertama usai rilis, Donkey Kong terjual lebih dari 60 ribu buah, jauh di atas Radar Scope yang tercatat hanya laku seribu.
Kesuksesan itu mendorong Nintendo untuk semakin tancap gas menggenjot keuntungan. Salah satu caranya dengan menjadikan Jump Man sebagai gim yang terpisah. Agar lebih catchy, nama Jump Man diganti dengan Mario, yang konon katanya terinspirasi dari nama pemilik tanah di Seattle, Mario Segale, yang gemar meminta pembayaran sewa lebih cepat kepada bos Nintendo di AS, Minoru Arakawa. Kebetulan, Segale juga berkumis.
Kemunculan Mario dengan identitas barunya terjadi pada 13 September 1985, tepat hari ini 33 tahun silam. Ia, sebagaimana ditulis IGN dalam “The History of Super Mario Bros,” dijual satu paket bersama Nintendo Entertainment System (NES), konsol gim berwarna marun-putih, dengan tajuk Super Mario Bros.
Keputusan Nintendo tak salah. Mario berhasil mendatangkan kesuksesan besar. Anak-anak—dan juga orang dewasa—kehilangan hari-hari dalam kehidupan mereka di bawah pengaruh gim Mario. Statistik memperlihatkan, Super Mario Bros. terjual lebih dari 40 juta buah. Masyarakat banyak membeli NES karena ingin memainkan Super Mario Bros. Ia dirayakan di mana saja: acara televisi, film (meski buruk), dan produk budaya lainnya. Saking populernya, anak-anak AS kala itu lebih akrab dengan Mario daripada dengan Mickey Mouse.
Sejak saat itu, Nama Mario—dan Nintendo—melambung tinggi.
Loncat! Loncat!
Dalam wawancaranya dengan National Public Radio, Miyamoto menjelaskan bahwa nama Mario terinspirasi dari tokoh di komik-komik Italia yang ia baca kala masih muda. Oleh karena itulah karakter Mario tidak ada ciri khas Jepang-nya sama sekali.
Premis utama Super Mario Bros. adalah tentang petualangan Mario menyelamatkan Putri Peach dari sergapan Bowser, kura-kura raksasa yang jahat. Agar premis tersebut berjalan dengan baik, Miyamoto, dibantu Takashi Tezuka, sang partner-in-crime, menciptakan tokoh-tokoh menarik lainnya dalam semesta gim Super Mario Bros.
Misalnya, Luigi, kawan Mario yang tampilannya lebih kurus dan mengenakan baju berwarna hijau. Ada juga Little Goombas (makhluk berwujud jamur), Koopa Troopas (pasukan kura-kura pembunuh), Cheep-Cheep (ikan pemburu), Podoboo (bola api), sampai Koopa Paratroopas (kura-kura terbang).
Selain karakter-karakter menarik, Super Mario Bros. juga ditunjang gameplay yang asyik—meski sangat sederhana. Anda tinggal menggerakkan Mario maupun Luigi dari kiri ke kanan, melompati satu tempat ke tempat lainnya lewat pipa. Jika Anda butuh kekuatan tambahan untuk mengalahkan musuh, maka Anda tinggal makan saja jamur ajaib (menjadikan badan lebih besar dua kali lipat) atau menggasak bunga api (memberi kemampuan menembakkan bola api).
Dalam perkembangannya, Super Mario Bros. lantas berubah jadi franchise. Sejak pertama kali diluncurkan ke publik sampai sekarang, sudah ada lebih dari sekitar 10 gim tentang petualangan Mario dengan karakteristik yang bermacam rupa. Dari Super Mario World (1992), Super Mario 64 (1997), Super Mario Sunshine (2002), New Super Mario Bros. (2006), New Super Mario Bros. Wii (2009), hingga Super Mario Galaxy (2010).
Tentu tak semua ragam gim Mario di atas berakhir manis, baik dari segi popularitas maupun keuntungan yang dicapai. Yang mungkin paling terekam dalam ingatan adalah ketika Nintendo memutuskan merilis Super Mario Run pada 2016. Niatan Nintendo, yang saat itu dipimpin Satoru Iwata, terdorong oleh kesuksesan gim mobile garapan Niantic, Pokémon Go, yang sukses besar secara global.
Banyak yang puas dengan Super Mario Run. Namun, yang kecewa juga tak satu dua. Mereka yang kecewa beranggapan bahwa Super Mario Run mengkhianati esensi petualangan Mario yang dibentuk dari aktivitas melompat, bukan berlari.
Tak sebatas itu saja, mereka turut menyayangkan betapa mahalnya biaya yang harus ditebus untuk menikmati Super Mario Run (sekitar $10) lewat gawai. Belum lagi fakta bahwa Super Mario Run hanya tersedia untuk iPhone, yang mana semakin memperlihatkan kesan eksklusivitas gim Nintendo ini.
Tak bisa dipungkiri, Mario merupakan salah satu produk gim—sekaligus budaya—paling populer yang pernah lahir ke dunia. Mario banyak dicintai masyarakat dunia karena ia dekat dengan realitas dan menggambarkan sifat manusia pada umumnya.
“Saya pikir Mario jadi sangat terkenal karena segala tindakannya dalam permainan mencerminkan sifat manusia. Takut pada ketinggian, misalnya. Ini merupakan hal-hal yang melekat pada manusia dan menjadi pengalaman bersama. Dan saya pikir karena kesederhanaan itulah yang membuat Mario selaras dengan hidup orang banyak,” terang Miyamoto.
“Visi saya tentang Mario adalah bahwa dia semacam menjadi perwakilan dari semua orang. Dia semacam pahlawan kerah biru. Dan itulah mengapa kami memilih peran-peran seperti tukang kayu dan ledeng untuknya.”
Editor: Ivan Aulia Ahsan