tirto.id - Setelah memimpin sebuah misa di Vatikan pada Maret 2018, Paus Fransiskus menyatakan ia tidak suka simbol salib dipakai sebagai aksesori fesyen. Paus meyakini bahwa salib adalah bukti kasih dan pengorbanan terbesar serta lambang kehidupan yang abadi bagi seluruh umat manusia. Oleh karena itu, salib yang dijadikan barang komoditas adalah bentuk penodaan terhadap simbol terpenting agama Katolik.
“Simbol agama harusnya jadi hal yang betul-betul dimaknai dengan hati dan jadi medium untuk berkontemplasi,” kata Fransiskus seperti yang dikutip Independent (21/3/2018).
Sebagian orang mungkin tidak tahu hal itu atau memilih mengabaikan pernyataan itu karena pada kenyataannya simbol salib selalu eksis di ranah fesyen dan tak jarang jadi barang dagangan laris.
New York Post(8/10/2019) menyebut perusahaan desain produk asal AS, MSCHF, melansir sepatu yang dinamai Nike Jesus. Sepatu ini adalah modifikasi Nike Air Max 97 yang dilengkapi aksesori salib pada bagian tali sepatu. Tak tanggung-tanggung, tim MSCHF menyuntikkan air sungai Yordan--tempat di mana Yesus dibaptis--ke dalam sepatu. Selain itu mereka menaruh lingkaran merah pada bagian lidah sepatu. Kata Daniel Greenberg, kepala divisi pemasaran MSCHF, lingkaran itu melambangkan darah Yesus. Sepatu juga dilengkapi tulisan Mat 14-25 yang mengacu pada bagian kitab suci Matius bab 14 ayat 25 tentang kejadian Yesus berjalan di atas air.
Nike Jesus dilelang secara daring dan laku dalam hitungan menit. Menurut catatan Independent, nilai sepatu sampai di angka $6000-an.
“Aku memang sengaja bikin sesuatu yang bisa jadi kolaborasi paling gila pada tahun ini,” kata Greenberg kepada New York Post. Dan kolaborasi paling gila menurutnya adalah kolaborasi yang berhubungan dengan Yesus. Ide yang sebetulnya tidak baru-baru amat di ranah fesyen.
Pada 14 Januari 2017, Financial Times menyebut tren penggunaan simbol agama Katolik di ranah budaya populer atau fesyen muncul pada 1984 saat Madonna tampil dengan rosario dalam salah satu pertunjukannya. Beberapa tahun kemudian, ia kembali tampil dengan simbol-simbol Katolik semisal kalung salib dalam video klip "Like aPrayer". Dalam video klip tersebut Madonna berlari menuju gereja dan menyembah patung orang suci berkulit hitam yang mengenakan busana serupa yang dikenakan Yesus sambil menyanyikan lirik "In the midnight hour I can feel your power/Just like a prayer you know I'll take you there."
Di depan patung itu, Madonna berdiri mengenakan terusan ketat yang bagian atasnya berbentuk seperti lingerie. Ia juga mengenakan aksesori berupa kalung salib.
Lucunya, nama 'Madonna' adalah sebutan bagi Maria, ibunda Yesus. Sebutan ini populer di kalangan orang Katolik di Italia.
Pada dekade yang sama, muncul juga tren penggunaan simbol dalam agama di London, terutama yang berasal dari lukisan gaya renaisans. Tren digerakkan oleh pegiat klub underground yang membuat tema pesta bernuansa Katolik. Merchandise seperti kaos, jaket, dan celana dengan detail gambar renaisans dijual oleh penggagas acara, dan jadi barang populer di kalangan anak muda penikmat skena underground. Barang-barang itu bahkan berkembang menjadi inspirasi para desainer adibusana ternama yang berdomisili di Eropa. Salah satunya Jean-Paul Gaultier.
Sepanjang dekade 1990-an sampai hari ini, kita bisa melihat bagaimana para desainer mode papan atas seliar mungkin menginterpretasikan simbol-simbol dalam sejarah Katolik. Ekshibisi bertajuk "Heavenly Bodies: Fashion and The Catholic Imagination" (2008) yang digagas Andrew Bolton, kurator Met Costume Institute, Metropolitan Museum of Art, New York (The Met), jadi salah satu buktinya.
Pameran tersebut menampilkan karya desainer adibusana yang terinspirasi simbol-simbol Katolik sepanjang setengah abad terakhir. Menurut catatan majalah Vogue (7/4/2018), desainer Azzedine Alaia yang merancang terusan panjang serupa baju pastur pada 1990-an. Versace juga membuat terusan dengan detail salib emas yang dijahit pada bagian tengah busana. Ada pula Viktor & Rolf yang membuat busana mirip baju biarawati yang bagian lengannya dibuat dirancang bak sayap malaikat.
Salah satu desainer adibusana Eropa yang konsisten menonjolkan unsur Katolisisme ialah Domenico Dolce & Stefano Gabbana. Dua orang itu membangun label Dolce & Gabbana (D&G) pada 1985. Hal yang hendak mereka tekankan dalam busana ialah latar belakang budaya dan agama. Tak heran, dua orang ini kerap menonjolkan unsur tradisi Italia dalam desainnya.
Memasuki era 2000an, D&G mulai menempatkan simbol-simbol agama Katolik seperti salib, lukisan religius bergaya renaisans, dan mahkota orang kudus dalam busana dan aksesori. Kini, busana bernuansa katolik sudah bisa dikatakan sebagai salah satu ciri D&G.
Selain D&G, desainer asal Perancis Jean Paul Gaultier juga kerap mengulik simbol-simbol Katolik sejak pertengahan 2000-an. Pada Met Gala tahun lalu, Gaultier terlihat serius mengeksploitasi unsur-unsur katolik ke dalam fesyen. Salah satunya ditunjukkan dengan mendandani Madonna dengan mahkota santa, kalung-kalung salib, dan gaun yang juga berdetail salib.
Tren penggunaan simbol Kristiani di ranah adibusana berjalan beriringan dengan tren busana dan aksesori siap pakai. Dalam ranah ini, musik jadi salah satu faktor penentu laris-tidaknya produk. Pada 1990-an misalnya, penyanyi-penyanyi hip hop yang kerap menggunakan aksesori salib atau menciptakan lagu yang berhubungan dengan sisi relijius turut mempengaruhi minat publik terhadap hal-hal berbau agama.
New York Times sempat meminta pendapat editor majalah gaya hidup Vibe, Angela Arambulo, soal tren fesyen dan aksesori salib. Menurut Arambulo, para atlet, model, dan pesohor Hollywood--di antaranya Cher, Mary J Blige, Paris Hilton, Chloe Sevigny, bahkan George Bush--turut mempopulerkan salib di ruang publik.
Pengguna aksesoris salib tentunya tak selalu orang yang soleh. Mereka sekadar yakin bahwa simbol salib membuat mereka tampil keren dan percaya diri. Hal inilah yang membuat bisnis retail fesyen seperti Zara atau H&M tetap mengeksploitasi simbol Kristiani sebagai aksesori sejak awal 2000-an sampai sekarang.
Dalam Religion in Consumer Society: Brands, Consumers and Markets (2013), François Gauthier, Linda Woodhead, dan Tuomas Martikainen menekankan bahwa motivasi seseorang dalam mengkonsumsi dan menggunakan sebuah produk kini tidak terletak pada nilai guna melainkan pada citra yang tersemat pada produk. Tentu tak semua orang sepakat dengan penggunaan simbol agama di ranah fesyen dan menyebutnya tidak menghargai ajaran agama.
Lagi-lagi, tak semua orang yang memakai simbol agama di ruang publik adalah orang saleh.
Editor: Windu Jusuf