tirto.id - Ketua Umum Indonesia e-Sports Association (IeSPA) Eddy Lim mengatakan tantangan terbesar untuk mengembangkan e-sports di Indonesia adalah "mensosialisasikan batasan". Masyarakat masih sulit membedakan mana yang olahraga, dan mana yang rekreasi.
Banyak yang menganggap untuk jadi atlet e-sports, maka yang perlu mereka lakukan adalah bermain dan bermain tanpa kenal waktu. "Padahal," kata Eddy saat menghadiri Simposium Kajian Lintas Perspektif E-sports di Hotel Rattan Inn, Banjarmasin, Sabtu (7/9/2019), "kalau di e-sports, untuk menuju ke profesional, ada batasan yang harus dipatuhi."
"Karena untuk berprestasi, perlu mengimbangi kegiatannya [bermain gim] dengan menjaga kondisi fisik. Untuk latihan pun dibatasi, biasanya satu dan dua jam saja."
Kendati demikian, bagi Eddy, tantangan untuk mensosialisasikan batasan ini wajar belaka. Dia optimistis akan ada masanya seluruh masyarakat mengakui e-sports sebagai olahraga yang layak dilombakan secara profesional.
Apalagi, mengacu catatan sejarah, banyak 'hobi' yang kemudian diakui sebagai olahraga profesional setelah berhasil mensosialisasikan batasan masing-masing.
"Contohnya zaman dulu kalau orang latihan bela diri itu konotasinya negatif, mau buat berantem. Tapi setelah ada aturan dan batasan yang disepakati bersama, sekarang kita mengenal karate, pencak silat, dan sebagainya. E-sports pun sangat mungkin melakukannya," sambungnya.
E-sports secara umum mengacu kepada permainan video gim yang melibatkan individu dan tim. Di antara gim yang populer yang kerap dipertandingkan adalah Mobile Legends, League of Legends, DOTA2, dan Counter Strike: Global Offensive.
Dosen dan akademisi dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), Cempaka Thursina, yang juga hadir dalam simposium, sepakat dalam hal main gim berlebihan itu berbahaya. Sebaliknya, bisa bermanfaat jika dinikmati sewajarnya.
Dari riset yang dilakukannya di Yogyakarta, Thursina mendaku orang-orang sampai pelosok pun sudah tak bisa terhindar dari paparan teknologi dan gim, termasuk anak-anak di Cangkringan, desanya mantan juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan.
Thursina banyak menemukan para pecandu gim mengidap penyakit mata, motorik, sampai saraf. Kesehatan jiwa dan keseimbangan otak pun bisa terganggu. "Untuk itu pembatasan perlu. Supaya mereka tidak kecanduan. Karena kalau sudah kecanduan mereka bisa terganggu fisik maupun mental," imbuhnya.
Eddy, Thursina, dan sejumlah pakar di bidang masing-masing diundang berdiskusi ke Banjarmasin dalam rangka puncak perayaan Hari Olahraga Nasional 2019 yang diadakan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
Pembahasan e-sports dalam perayaan Haornas tahun ini, menurut Kemenpora, penting.
Faktanya, uang yang beredar di industri e-sport tidak bisa dibilang sedikit. Laporan ESPN, yang merujuk data Newzoo--firma riset pasar--menunjukkan pada 2014 ada 205 juta orang bermain atau menyaksikan e-sports dengan angka pertumbuhan sebesar 21 persen setiap tahun. Ia diprediksi menyentuh 427 juta orang di seluruh dunia pada 2019.
Selama 2014 hingga 2016, industri e-sports menghasilkan keuntungan dari semula 194 juta dolar AS menjadi 463 juta dolar AS. Angka ini diperkirakan terus naik hingga 1 miliar dolar AS pada 2019. Salah satu gamer, Olof Kajbjer, kepada CNN, mengatakan dalam waktu 10 tahun, e-sports akan menjadi sebesar NHL, kompetisi liga hoki es terbesar di AS dan Kanada.
Memformulasikan regulasi e-sport secara tepat, dengan demikian, memungkinkan Indonesia mendapat uang dari bisnis yang tengah berkembang pesat ini.
"Selama ini banyak masukan positif dan negatif ke Kemenpora soal sikap kami pada e-sports. Tapi sejauh ini Kemenpora lebih banyak diam. Kami masih menunggu lebih banyak perspektif masuk sebelum menentukan langkah bagaimana mengembangkannya.
Simposium ini adalah momen penting untuk membantu Kemenpora menyikapi perkembangan teknologi, gim, dan e-sports," ungkap Deputi Pembudayaan Olahraga Kemenpora, Raden Isnanta.
Acara puncak Haornas akan dilangsungkan di Menara Pandang Siring, Banjarmasin, Minggu (8/9/2019). Pada hari itu Kemenpora akan mencoba memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) berupa peragaan karate oleh 5.000 atlet secara bersamaan.
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Rio Apinino