tirto.id - Sukmawati Soekarnoputri dilaporkan ke polisi karena dianggap melecehkan umat Islam dengan membandingkan Nabi Muhammad dengan Ir. Sukarno. Sejarah mencatat, guru Bung Karno yakni H.O.S. Tjokroaminoto, membentuk Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM) pada 1918 untuk merespons tindakan yang dianggap telah menghina Islam dan Rasulullah.
Pihak yang mendampingi pelaporan Sukmawati adalah Koordinator Bela Islam (Korlabi) yang digawangi Novel Bamukmin pada 15 November 2019 atas tuduhan penistaan agama Pasal 156a KUHP. Belakangan, Forum Pemuda Muslim Bima (FPMB) juga melakukan tindakan serupa dengan mempolisikan salah satu putri sang proklamator itu.
Tudingan penghinaan yang dituduhkan kepada Sukmawati adalah ucapannya dalam sebuah diskusi Forum Grup Diskusi (FGD) Humas Polri bertajuk “Bangkitkan Nasionalisme: Bersama Kita Tangkal Radikalisme dan Berantas Terorisme” yang dihelat pada 11 November 2019 lalu dalam rangka memperingati Hari Pahlawan.
“Sekarang saya mau tanya semua, yang berjuang di abad 20 itu Yang Mulia Nabi Muhammad apa Ir. Sukarno untuk kemerdekaan? Saya minta jawaban, silakan siapa yang mau jawab berdiri, jawab pertanyaan Ibu ini," tanya Sukmawati kepada forum.
“Di abad 20, yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia itu Nabi Yang Mulia Muhammad atau Ir. Sukarno? Tolong jawab, silakan anak-anak muda, saya mau tahu jawabannya, ayo jawab, nggak ada yang berani? Saya mau yang laki-laki, 'kan radikalis banyaknya laki-laki," imbuhnya.
Masih ada beberapa nukilan ucapan Sukmawati yang sebenarnya berpotensi memantik kontroversi dalam acara tersebut. Menanggapi pelaporan atas dirinya, adik Megawati Soekarnoputri ini membantah bahwa ia telah melecehkan agama.
"Membandingkannya gimana sih, maksud mereka apa sih? Saya nggak tahu sih ya isi laporannya. Artinya, kedua beliau itu pemimpin-pemimpin, tapi pastinya derajatnya beda. Kalau Nabi ya Nabi, kalau Bung Karno ya manusia yang punya kepemimpinan," kata Sukmawati dikutip dari detikcom, Sabtu (16/11/2019).
“Saya cinta kok [dengan] para nabi, kok jadi dianggap menistakan agama?" lanjutnya.
Tentara Kanjeng Nabi Muhammad
Surat kabar Djawi Hiswara edisi Januari 1918 memuat tulisan berjudul “Percakapan antara Marto dan Djojo”. Dalam artikel karya Djojodikoro yang diterbitkan oleh Martodharsono selaku pemimpin redaksi koran terbitan Surakarta ini tertulis catatan kontroversial yang berbunyi: “Gusti Kanjeng Nabi Rasul minum gin, minum opium, dan kadang suka menghisap opium.”
Abdul Munir Mulkhan melalui Marhaenis Muhammadiyah (2010) menyebut, tulisan itu mengatakan bahwa Kanjeng Nabi ada dalam keadaan mabuk waktu menerima wahyu Tuhan. Martodharsono, lanjut Mulkhan, telah memberi catatan bahwa tulisan itu bisa jadi akan menimbulkan salah paham bagi orang kebanyakan.
Kendati begitu, tetap saja umat Islam marah setelah mengetahui artikel tersebut. Tersiar luasnya tulisan yang dianggap telah menistakan Nabi Muhammad itu berkat andil Hadji Oemar Said (H.O.S.) Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam (SI) yang kala itu menjadi perhimpunan rakyat terbesar di Indonesia.
SI melontarkan reaksi keras. Adik Tjokroaminoto sekaligus Sekretaris SI Surabaya, Abikoesno Tjokrosoeroso, berseru di surat kabar Oetoesan Hindia agar rakyat segera bergerak membela Islam serta mendesak Susuhunan Surakarta dan pemerintah Hindia Belanda agar menghukum Martodharsono serta Djojodikoro karena telah melecehkan Islam.
Sebagai respons nyata, Tjokroaminoto memprakarsai dibentuknya Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM) pada awal Februari 1918. Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997) menyebut bahwa TKNM didirikan untuk “mempertahankan kehormatan Islam, Nabi, dan Kaum Muslim.”
Segera digelarlah vergadering atau pertemuan akbar berjilid-jilid yang melibatkan massa umat Islam. Aksi besar TKNM di Surabaya, misalnya, pada 6 Februari 1918 berhasil mengumpulkan dana lebih dari 3.000 gulden. Tanggal 24 Februari 11918, aksi serentak digelar di 42 tempat di Jawa dan Sumatera, diikuti oleh 150.000 orang serta terkumpulnya dana lebih dari 10.000 gulden.
Umasih dalam Sejarah Pemikiran Indonesia Sampai dengan Tahun 1945 (2006) terbitan Departemen P dan K menuliskan, massa umat Islam berbondong-bondong menghadiri rapat akbar di Lapangan Sriwedari, Surakarta, pada 24 Februari 1918, karena dikabarkan Haji Misbach akan berhadapan dengan Martodharsono di podium.
Martodharsono sebenarnya sempat memberikan klarifikasi atas tulisan tersebut. Dalam Djawi Hiswara edisi 4 Februari 1918, Martodharsono berdalih, “Dalam percakapan itu, bukan nabi kita s.a.w, Kanjeng Nabi Muhammad Rasul Allah, tetapi rasulnya orang masing-masing. Jadi, siapa yang bercakap, ialah yang mempercayainya.”
Sukarno Murid Tjokroaminoto
Meskipun reaksi yang muncul sangat keras bahkan bersifat massal, Martodharsono dan Djojodikoro ternyata lolos dari penghakiman lantaran kasus ini kemudian menguap begitu saja. Meredupnya perkara ini rupanya berasal dari ketidakharmonisan yang terjadi di tubuh TKNM dan SI sendiri, termasuk terkait sikap Tjokroaminoto.
Tjokroaminoto, pemimpin besar SI sekaligus Ketua TKNM, secara diam-diam menghentikan kampanye bela Islam itu setelah bertikai dengan Haji Hasan bin Semit. Haji Hasan adalah salah satu penyandang dana terbesar TKNM dan pengurus SI.
Perseteruan itu ditengarai karena masalah uang TKNM yang dipegang oleh Tjokroaminoto. Akibatnya, Haji Hasan pun memutuskan keluar dari TKNM dan SI sekaligus. Seseorang bernama Mr. Zahid menyikapi masalah ini dengan menulis artikel berjudul “Perasaan tentang Adanya Komite Tentara K.N. Muhammad” yang dimuat di surat kabar Islam Bergerak edisi 10 Juni 1918.
Melalui tulisannya itu, Mr. Zahid membandingkan pemimpin TKNM dengan penyakit pes. Dalam tafsiran Shiraishi, sesungguhnya Mr. Zahid ingin menyampaikan bahwa pemimpin TKNM telah mengkhianati tujuan membela Islam dan memanipulasikannya.
Terlepas dari apa yang sesungguhnya terjadi dengan urusan uang TKNM yang membuat Haji Hasan naik pitam, Tjokroaminoto merupakan sosok bapak bangsa yang telah mendidik banyak tokoh berpengaruh, salah satunya adalah Sukarno.
Saat masih duduk di sekolah menengah, Sukarno pernah menetap di kediaman Tjokroaminoto di Surabaya. Pondokan milik Tjokroaminoto itu setidaknya juga ditinggali oleh 20 orang pemuda, termasuk Marijan Kartosuwiryo, Muso, Alimin, Darsono, Hermen Kartowisastro, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan lainnya.
Selama masa-masa itu, Sukarno dan kawan-kawan sering berdiskusi dengan Tjokroaminoto mengenai masalah-masalah kebangsaan. Sukarno bahkan beberapa kali diajak serta saat Tjokroaminoto memberikan pidato di berbagai forum.
Dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2007) garapan Cindy Adams, orang yang kemudian menjadi Presiden RI pertama ini mengakui bahwa Tjokroaminoto adalah gurunya. Sukarno banyak belajar dan sangat terinspirasi dengan Tjokroaminoto yang dikenal sebagai sosok orator ulung pada era pergerakan nasional.
“Dialah orang yang mengubah seluruh kehidupanku. Cerminku adalah Tjokroaminoto. Aku memperhatikannya menjatuhkan suaranya. Aku melihat gerak tangannya dan kupergunakan penglihatan ini pada pidatoku sendiri,'' urai Bung Karno dalam bukunya.
Editor: Agung DH