tirto.id - Selain K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pernah nyantri kepada K.H. Chudlori di Pondok Pesantren Tegalrejo Magelang, ada “gus” lain yang tidak kalah kocak yang pernah nyantri di sana. Namanya Gus Aman, saat ini namanya tentu sudah berubah gelar jadi kiai.
K.H. Amanullah Abdurrohim atau orang-orang mengenalnya dengan panggilan Kiai Abdurrohim. Kiai Abdurrohim adalah pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang lebih dari satu dekade yang lalu, dan sudah wafat pada 2007 lalu.
Di masa mudanya, keponakan dari K.H. Abdul Wahab Chasbullah (salah satu ulama pendiri dan penggerak Nahdlatul Ulama di generasi pertama) ini, diketahui pernah mengusili salah satu teman satu pesantrennya di Tegalrejo. Meskipun seorang gus dengan reputasi yang mentereng, Gus Aman tidak mendapatkan keistimewaan lebih daripada santri-santri yang lain di Tegalrejo. Itulah yang membuatnya dekat dengan teman-teman santri yang bukan dari kalangan gus.
Sudah jadi tradisi memang, untuk para kiai memondokkan putranya ke kiai lain yang dianggap punya keilmuan yang bagus. Sangat jarang seorang gus akan mondok atau nyantri di pesantrennya sendiri. Selalu terjadi “pertukaran” antar putra kiai. Seperti Kiai Ma’shum, Lasem, memondokkan putranya K.H. Ali Maksum ke Kiai Munawwir, Krapyak. Pada akhirnya malah jadi pengasuh penerus karena menikahi salah satu putri Kiai Moenawwir. Ada juga KH. Musthofa Bisri (Gus Mus) bersama kakaknya, KH. Kholil Bisri, dipondokkan oleh K.H. Bisri Musthofa ke Kiai Ali Maksum, atau Gus Dur yang dipondokkan ke Kiai Chudlori Tegalrejo.
Gus Aman pun juga sama saja, ia dipondokkan oleh ayahnya K.H. Abdurrahim Chasbullah dari Pesantren Tambakberas untuk nyantri ke Kiai Chudlori Tegalrejo. Seperti yang dikisahkan Akhmad Fikri A.F. dalam Tawashow di Pesantren (2005: 65-66) dan KH. Yahya Cholil Staquf dalam tulisannya Mbelingnya Gus Aman, di pesantren inilah kemudian kisah konyol ini terjadi.
Di Pesantren Tegalrejo, Gus Aman hampir selalu memerhatikan tidak sedikit santri yang suka sekali tirakat melakukan wiridan atau zikir tengah malam di dekat mihrab. Seperti ruangan kecil di masjid yang digunakan untuk imam salat. Tidak hanya semalam dua malam santri yang diperhatikan Gus Aman ini melakukan wiridan, tapi hampir setiap malam.
Entah dapat bisikan dari siapa, Gus Aman pun kepikiran ide usil. Pada suatu dini hari, Gus Aman melihat teman sesama santri berangkat wiridan lagi. Lalu sambil berjalan pelan-pelan Gus Aman pun menuju belakang masjid dan naik ke tumpukan kayu untuk mengintip si santri dari lubang ventilasi mihrab. Dari lubang tersebut terlihat si santri sudah memulai wiridan-nya sambil memejamkan mata. Terlihat sangat khusyuk sekali dan kepalanya bergoyang-goyang ke kanan ke kiri.
Melihat bahwa si santri di dalam masjid sudah sangat konsentrasi, Gus Aman pun menarik napas dalam-dalam. Kemudian dengan suara yang dibuat bergetar dan diberat-beratkan, Gus Aman pun berkata kencang sekali dari lubang ventilasi, “Kowe njalukopo, Ngger?” (Kamu minta apa, Cucuku?)
Di dalam masjid, suara itu ternyata menggema. Tentu saja santri yang sedang wiridan terkejut mendengar suara tersebut. Seperti terdengar dari dalam hatinya. Awalnya si santri memang sempat memerhatikan kanan kirinya. Tidak ada siapa-siapa di dalam masjid selain dirinya. Setelah dilihat sekitar dan meyakinkan diri bahwa dirinya memang sendirian di dalam masjid barulah si santri ini percaya bahwa suara tersebut memang suara gaib.
Si santri itu pun langsung menangis sejadi-jadinya. Merasa mendapatkan ilham. Mendadak si santri ikut berteriak kencang sambil menangis, “Ya Allah saya mohon ilmu yang manfaat, akal yang jernih, rezeki yang banyak dan derajat yang tinggi.”
Doa-doa lain pun meluncur dari mulut si santri dengan derai air mata yang begitu hebat. Seolah-olah malam itu, si santri sedang berhadapan langsung dengan Sang Pencipta Alam. Tangis haru dan takut bercampur jadi satu. Membuat Gus Aman cekikikan menahan tawa sekuat mungkin agar tidak ketahuan.
Setelah si santri menyampaikan doanya, keadaan kembali sunyi. Sampai tiba-tiba muncul lagi suara yang menggetarkan.
“Iyo, Ngger. Tak sembadani opo sing mbok karepke!” (Iya, Cucuku. Aku kabulkan apa yang kamu mau)teriak suara tersebut dari mihrab. Tentu saja itu suara Gus Aman, yang sebenarnya hampir mati menahan ketawa.
Begitu percayanya si santri mendengar jawaban tersebut, ia langsung meledak tangisnya. Lalu sujud syukur lama sekali sambil tetesan air mata si santri membasahi karpet masjid. “Matur suwun, Gusti, matur suwun,” (terima kasih Tuhan, terima kasih). Setelahnya si santri melanjutkan salat malam sampai subuh. Sementara Gus Aman pun balik ke kamar untuk tidur.
Siang harinya, ketika Gus Aman berpapasan dengan si santri ini, ia senyam-senyum saja Gus Aman memerhatikan si santri. Karuan saja orang yang diperhatikan merasa risih.
“Ada apa, Man, lihat-lihat?” tanya si santri risih yang masih kawan satu angkatan dengan Gus Aman.
Gus Aman menahan diri agak tidak cekikikan, lalu berkata dengan nada suara yang sama seperti yang didengar si santri tadi malam.
“Kowe njaluk opo, Ngger?”
Adegan selanjutnya yang terjadi: dua santri kejar-kejaran di halaman Pesantren Tegalrejo tidak berhenti-berhenti. Salah satunya membawa pentung. Dan tentu saja pentung itu menyasar Gus Aman.
Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagiannya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khazanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Ahmad Khadafi