Menuju konten utama
Misbar

Stuber: Ramuan Komedi-Laga '80an yang Serba Terprediksi

Buddy film pada umumnya dengan para aktor (keturunan) Asia. Ada Iko Uwais—meski porsinya sedikit dan laganya biasa-biasa saja.

Stuber: Ramuan Komedi-Laga '80an yang Serba Terprediksi
Film Stuber. FOTO/imdb

tirto.id - Seringkali kita menyaksikan trailer film yang terlalu 'bocor' sehingga mudah ditebak tipe, arah cerita, bahkan akhirannya.

Jika Anda paham bagaimana industri film bekerja, tidak menutup kemungkinan muncul imajinasi bahwa di Hollywood sana duduk beberapa produser yang ingin berbisnis dengan aman dan dengan biaya yang tidak terlalu menguras kantong.

Taruhlah, premisnya mengenai penegak hukum yang—akibat satu kondisi tertentu—harus berduet bersama kolega dengan sifat yang bertolak belakang. Sepanjang usaha mengejar penjahat muncul bumbu romansa, sedikit drama keluarga, dan sepucuk plot-twist.

Hasilnya tentu happy ending. Kasus terbongkar. Gerombolan antagonis menemui kematian, penjara, atau takdir tak mengenakkan lain. Sementara kedua tokoh utama, usai melakoni aksi heroik, kembali menjalani hidup normal serta mulai bisa mengatasi perbedaan yang sebelumnya sempat meruncing.

Narasi di atas menjadi rumus klasik dalam genre komedi-laga, terutama di Hollywood era '80-an. Kita bisa melacaknya ke Lethal Weapon (1987), Midnight Run (1988), atau 48 Hrs. (1982). Tahun ini penulis naskah Trupper Clancy dan sutradara Michael Dowse menggunakannya untuk meramu Stuber.

Anda seharusnya bisa menebak tipe dan arah cerita saat trailer Stuber dipublikasikan tiga bulan yang lalu. Dengan demikian, apa kebaruannya? Asumsi saya: produser ingin menangkap semangat kekinian dengan merekrut aktor-aktris non-kulit putih.

Berterima kasihlah pada Netflix, sehingga hari ini tidak ada yang tidak menyukai keragaman etnis dan preferensi seksual di industri perfilman Amerika. Menyepelekannya bisa berakhir pahit: dirisak barisan Social Justice Warrior (SJW) yang menganggap film “terlalu putih” (too white).

Tapi Hollywood pada hari ini juga mulai menanggalkan perpaduan klasik kulit putih-kulit hitam. Sejak kesuksesan Crazy Rich Asian (2018), pendulum bergeser aktor dan aktris keturunan Asia—baik yang kecoklatan khas Asia Selatan, kekuningan ala Asia Timur, atau yang sawo matang tipe Asia Tenggara.

Status minoritas keturunan Asia di Amerika bak permata baru yang sibuk digosok-gosok oleh golongan liberal, yang memandang penting politik representasi di layar lebar. Untuk makin menggairahkan politik representasi itu, dua protagonis dalam Stuber pun diperankan oleh Dave Bautista dan Kumail Nanjiani.

Dave adalah eks pegulat dengan tubuh segahar The Rock. Ia memerankan Vic, polisi Los Angeles yang agresif dan maskulin—serta sudah menjurus ke arah toxic. Ke-SJW-annya tidak hanya ditegaskan melalui dialog “aku bukan orang kulit putih”, tapi juga fakta bahwa kakek Dave adalah imigran asal Filipina.

Vic terobsesi mengejar seorang pemimpin kartel narkoba yang rupanya juga keturunan Asia. Ia, tidak lain dan tidak bukan, diperankan oleh Iko Uwais. Nama karakternya terdengar asing bagi telinga Barat tapi akrab di telinga kita: Oka Tedjo, biasa dipanggil Tedjo.

Kumail adalah aktor keturunan Pakistan yang kenyang menjajaki dunia stand-up,podcast, menulis serta menjadi pemeran serial komedi. Ia memerankan Stu, karyawan toserba yang mengisi waktu luang sebagai supir Uber. Dus, muncul nama panggilan Stuber yang sebenarnya tidak ia sukai.

Impian Stu sederhana. Pertama, mendapat bintang lima dari pelanggan yang kerap memberinya bintang satu hanya karena persoalan sepele. Kedua, bisa meresmikan hubungan dengan Becca (Betty Glipin), perempuan yang jadi sahabat sekaligus kolega bisnisnya.

Impian-impian tersebut sebenarnya bisa diraih jika Stu menjadi pria yang tidak terlalu lembek. Di satu sisi, ia sengaja diproyeksikan sebagai karakter yang secara fisik maupun sifat berseberangan dengan Vic.

Di sisi lain, sekali lagi merujuk pada semangat SJW, problem keluarga antara Vic dan anak perempuannya malah bisa diselesaikan lewat kelembutan Stu. Di satu adegan, Stu memarahi Vic yang terlalu kaku, cuek, dan dianggap gagal membangun hubungan ayah-anak yang hangat.

Tugas penting lain yang dibebankan pada Kumail adalah menghidupkan unsur komedi. Tentu saja, sebab pada hakikatnya Stuber adalah buddy film. Sementara Dave diandalkan untuk aksi kelahi dan humor slapstick-nya, Kumail harus membeberkan dialog-dialog lucu.

Permasalannya: Stu seperti tidak bisa berbicara tanpa menyelipkan usaha untuk melucu. Entah dalam kondisi normal, tersinggung, kaget, tertekan, Stu selalu membicarakan hal-hal receh yang diharapkan mampu menggelitiki penonton.

Sayangnya, sebagaimana hukum “segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik”, dialog Vic membuat penonton (setidaknya saya) ngos-ngosan. Hanya sedikit yang benar-benar lucu, sementara lainnya garing belaka.

Mencoba menikmati plot Stuber juga terasa sia-sia. Narasi film tidak hanya bocor sejak trailer, tapi juga mengandung banyak lubang yang membuat alurnya terasa tidak mengalir secara alamiah.

Awal mula film menunjukkan Vic dan rekannya Sara (Karen Gillan) yang sedang menggali kasus terkait bandar narkotika. Di sebuah apartemen keduanya lalu bertemu dengan geng ganas pimpinan Tedjo.

Tembak-menembak pecah. Vic sempat adu jotos dengan Tedho sebelum Tedjo melarikan diri dengan cara menjatuhkan diri dari ketinggian lima lantai. Vic menyusul kemudian. Tidak ada yang terluka. Di titik ini saya disadarkan bahwa sesekali logika perlu diingkari demi memaksimalkan elemen komedi dalam laga.

Infografik Misbar Stuber

Infografik Misbar Stuber. tirto.id/Quita

Di tengah kelanjutan aksi kejar-kejaran, Sara ditembak Tedjo di tengah keramaian. Tedjo kabur, sementara Vic bersedih merangkul Sara yang nyawanya tak tertolong. Kejadian tersebut membuat Vic terobsesi untuk menangkap Tedjo selama bertahun-tahun.

Persoalan mendasarnya: film tidak menyediakan ruang yang cukup untuk menguatkan chemistry antara Vic dan Sara sampai ke titik di mana penonton paham mengapa ia membangun dendam berkepanjangan terhadap Tedjo.

Saat kesempatan emas itu datang, Vic kebetulan baru pulang dari cek mata. Pandangannya amat kabur, sampai-sampai ia tak mampu mengendarai mobil. Bayangkan: di tengah kondisi fisik yang demikian, Vic tetap ngotot untuk meringkus gembong narkoba besar.

Plot lemah ini barangkali dibikin-bikin hanya untuk dimanfaatkan sebagai asal-usul pertemuan Vic dan Stu. Vic yang sudah menyerah kemudian memanfaatkan jasa Uber untuk pertama kali, dan ia mendapatkan Stu.

Alih-alih mengajak anggota polisi lain, Vic justru memaksa Stu untuk terus mengantarkan dirinya ke titik-titik penyelidikan, melibatkannya dalam tembak-tembakan berdarah, hingga di satu adegan Stu melakukan pembunuhan untuk pertama kalinya.

Plothole pun terbuka. Polisi macam apa yang bertindak sedemikian ceroboh dengan menempatkan warga sipil ke situasi yang serba-berbahaya?

Stuber adalah tipikal film yang dipakai untuk menyambut musim panas. Ia mengandung agresivitas, tapi masih dalam tataran yang cukup. Ia sesekali memancing tawa, tapi tidak ke level “bagus banget” yang akan bertahan lama di ingatan orang-orang.

Tapi, jika Anda penggemar Iko Uwais atas dasar nasionalisme, sebab ia adalah aktor Indonesia yang sedang naik daun di Amerika, Stuber boleh jadi alternatif tujuan ke bioskop.

Yang perlu diingat, ia berstatus figuran. Selain tampil dalam durasi yang cukup singkat (bagian awal dan akhir/klimaks), kualitas bela dirinya pun biasa-biasa saja. Jauh lebih memuaskan jika Anda mengulik lagi tiga filmnya bersama Gareth Evans: Merantau (2009), The Raid (2011), atau The Raid 2 (2014).

Baca juga artikel terkait STUBER atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Film
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf