tirto.id - Di depan ratusan pasang mata, Daniel Ek muncul dari balik panggung dan berjalan dengan langkah gegas. Pendiri dan CEO Spotify ini tampak kasual, dengan kaus putih yang ditangkup kemeja dua saku warna abu-abu muda.
Namun mungkin perasaannya bergemuruh.
Rabu, 8 Maret 2023, pukul 9 pagi waktu Los Angeles, Daniel membuka acara Spotify Stream On, sebuah konferensi yang pertama kali diadakan dua tahun lalu. Tahun ini, Stream On jadi helatan akbar yang mengundang ratusan undangan dari berbagai latar belakang: para petinggi perusahaan, pembuat konten, hingga jurnalis internasional. Agendanya akbar: mengumumkan fitur dan perubahan baru di Spotify.
“Perubahan-perubahan baru ini menandai perubahan terbesar di Spotify sejak kami mulai ada di ponsel, sepuluh tahun lalu,” ujar Daniel.
Perubahan dan pembaharuan adalah sebuah kepastian dalam duniateknologi yang gegas dan adaptif. Namun, perubahan terbesar sejak satu dekade silam? Itu jelas sesuatu yang besar. Apalagi ini terjadi pada Spotify, penguasa ranah streaming musik dengan 500 juta pengguna aktif bulanan.
Sebelum acara Stream On 2023, banyak orang menebak-nebak apa yang baru di Spotify. Beberapa fitur sudah bocor di media sosial. Beberapa yang lain menduga —sekaligus berharap— bahwa Spotify akan meluncurkan Spotify Hi-Fi yang sudah jadi perbincangan sejak beberapa tahun silam. Namun ternyata perubahan yang Daniel bilang memang besar —kalau tak dibilang radikal—untuk sebuah platform streaming musik.
Dan pagi itu, Daniel mengajak beberapa rekan petinggi Spotify untuk memandu kami, para audiens di ruangan itu, memasuki era baru Spotify.
Melampaui Music Streaming
Salah satu hal pertama yang membetot perhatian dalam ajang Stream On 2023 adalah tampilan muka baru mereka. Sebelum ini, ada dua pilihan konten yang bisa dilihat di pojok kiri atas Spotify: Music dan Podcast & Show. Sekarang akan ada satu lagi konten di sana: Audiobooks.
Tak hanya itu, Spotify juga makin memberi ruang untuk visual, termasuk gambar bergerak dan video. Ini juga dipadukan dengan fitur Preview. Cuplikan beberapa detik ini akan memberi gambaran kunci tentang konten yang disuguhkan pada pengguna.
Ketika saya memilih konten musik, misalkan, di bagian atas akan ada beberapa playlist yang dibuat oleh Spotify. Semua playlist ini tentu segendang sepenarian dengan genre yang saya dengar. Personalisasi ini memang yang membuat Spotify unggul. Di bagian bawah playlist, akan ada playlist dan konten musik yang lebih banyak.
Di laman saya —karena ini Personalisasi, tentu akan beda di setiap pengguna— muncul playlist 90’s Rock Anthems. Ada Cuplikan lima lagu disertai video pendek. Pengguna bisa bebas menentukan apakah konten ini cocok untuk mereka. Kita bisa memasukkan ke library, mengunduh, membagi, hingga memilih jempol ke bawa: tidak tertarik.
Hal serupa juga terjadi di laman Podcast & Shows. Di bagian atas, akan ada daftar podcast yang jadi favorit atau sering kamu dengar. Tarik ke bagian bawah, akan ada suguhan rekomendasi konten. Karena saya sering mendengar konten dari Box2Box, maka konten terbaru mereka akan disuguhkan pada saya, lengkap dengan cuplikan disertai video pendek sepanjang satu menit.
Tarik layar ke bawah, maka Spotify akan memberimu rekomendasi konten lain yang kira-kira cocok dengan kebiasaan dan seleramu.
Pertama kali tampilan ini diperkenalkan, ada banyak pro kontra seperti biasa. Yang pro menganggap tampilan Spotify ini menyegarkan mata, memberi pengguna banyak pilihan, sekaligus bisa menjadi panduan sebelum mendengar (dan menonton) konten. Ini memberi pilihan sangkil nan mangkus bagi para pengguna.
Hal ini juga diungkapkan oleh Gustav Soderstrom, Chief Research & Development Officer sekaligus Co President Spotify. Menurutnya, Spotify baru ini didesain agar para pengguna makin mudah menemukan konten. Maka yang mereka lakukan adalah menjadikan pencarian konten makin efisien.
“Tujuan kami bukan untuk membuat para pengguna menyediakan waktu, melainkan untuk menghemat waktu para pengguna,” ujar Gustav.
Tampilan baru dan cara untuk menemukan konten ini juga akan didukung oleh perpaduan fitur lama seperti Discover Weekly dan Release Radar, dengan fiitur baru seperti Smart Shuffle dan AI DJ, pemandu lagu berbasis kecerdasan buatan (AI) yang bisa berinteraksi dengan pengguna. Dia akan menyuguhkan dan merekomendasikan lagu yang cocok denganmu. Ini bisa berupa lagu favorit dari masa lampau yang sudah lama tidak singgah di kupingmu, atau lagu baru yang ada dalam satu koridor dengan lagu-lagu favoritmu.
Sedangkan yang kontra, menganggap Spotify sudah masuk dalam arus Tiktok-ification. Ini adalah istilah untuk menyebut tampilan (dan juga suguhan konten) yang mengedepankan video pendek, vertikal, dan berbasis kuat pada algoritma.
Sebelum ini, Instagram dan YouTube sudah masuk ke palagan serupa: membuat video pendek, Reels dan Shorts. Pada 2022 silam, Adam Mosseri, Head of Instagram, mengatakan mereka akan fokus di video dan Reels. Sekarang Spotify bisa dibilang akan memasuki medan yang sama.
Mereka kini mulai mengenalkan Spotify Clips berupa video pendek 30 detik bagi para artis untuk berkisah. Spotify juga pelan-pelan menyuguhkan konten video podcast —pertama kali diperkenalkan pada 2022 silam— dan dalam waktu dekat pendekatan ini jelas akan diperkuat.
Dalam hemat saya, Stream On ini adalah ajang Spotify untuk secara resmi mendeklarasikan diri bahwa mereka sudah bergerak dari ceruk platform music streaming —sesuatu yang sebenarnya sudah secara implisit dibilang Daniel pada 2019, bahwa konten audio adalah masa depan Spotify. Mereka akan bersulih menjadi content platform. Musik masih akan jadi jualan, pendapatan, dan pengeluaran utama bagi Spotify, tapi mereka akan bergerak lebih melebar.
Mereka sadar bahwa ceruk music streaming sudah terlalu sempit bagi perusahaan dengan semangat Swedish mentality, dan terasa lebih sempit lagi bagi perusahaan di dunia teknologi yang lapangan bermainnya terbuka sangat lebar dan luas di luar sana. Spotify memutuskan beranjak, dan bermain (atau bertempur?) di palagan yang baru.
Ini tercermin dari bagaimana Spotify fokus ke podcast, yang mereka sebut sebagai “primary expansion outside music”, dan sekarang merambah ke audiobook. Apa yang mereka lakukan sekarang bukan langkah yang diambil dalam waktu semalam. Sejak nyaris sewindu terakhir, Spotify sangat agresif di podcast. Mereka aktif bekerjasama dengan para podcaster, juga mengakuisisi banyak perusahaan yang berkaitan dengan podcast.
Julie McNamara, Spotify VP and Head of Global Podcast Studio, menyebut bahwa mereka percaya bisa merevolusi industri podcast, sama seperti yang mereka lakukan di industri musik. Menurutnya, hingga lima tahun silam, industri podcast stagnan, pengeluaran untuk iklan kecil, dan Spotify hanya kebagian sedikit remah di industri ini.
Mereka kemudian menata diri untuk masuk ke industri podcast. Mereka mulai mengakuisisi banyak perusahaan yang berkaitan dengan infrastruktur yang kelak jadi pondasi kuat mereka di kancah podcast.
Pada 2020, mereka membeli Megaphone, sebuah perusahaan marketing podcast, senilai USD235 juta, dan ini masih tercatat sebagai akuisisi terbesar yang dilakukan Spotify hingga sekarang. Sebelumnya, mereka sudah mengakuisisi Anchor, perusahaan podcast creation bagi berbagai platform, sebesar USD154 juta. Anchor sekarang berubah menjadi Spotify for Podcaster.
Setelah infrastruktur terbentuk, baru Spotify masuk ke ranah konten. Pada awal 2022, misalnya, Spotify melakukan deal dengan Joe Rogan, seorang podcaster yang dikenal berkat konten-konten olahraga. Diperkirakan deal ini ada di angka USD200 juta. Sebelumnya, Spotify juga mengakuisisi dua perusahaan konten: Gimlet (2014, di angka sekitar USD194 juta, dan The Ringer (2016, USD196 juta).
Kini, Spotify bisa dibilang jadi salah satu pemain utama di industri podcast. Ada lebih dari 5,5 juta podcast di sini, dan pada 2021 silam mereka meraih pendapatan sekitar USD215 juta dari podcast. Jumlah ini melonjak lebih dari 300 persen. Mereka juga makin aktif bekerjasama dengan para podcaster, melalui konten Spotify Original dan Spotify Exclusive, juga melakukan pelebaran format dengan menghadirkan video podcast. Saat ini diperkirakan sudah ada 70 ribu podcaster yang menggunakan format video podcast ini.
Yang harus digarisbawahi adalah: industri podcast masih harus mencari format terbaik. Ini juga terjadi pada Spotify. Menurut Forbes, Spotify sudah melakukan investasi lebih dari USD 1 miliar untuk podcast, dan sampai sekarang mereka masih memperlakukan podcast sebagai investasi, belum sebagai sumber pendapatan utama. Spotify memperkirakan perkembangan mereka di ranah podcast baru bisa dilihat lima tahun mendatang —dengan prediksi gross margin hingga 50 persen.
Maka betul apa yang dikatakan oleh Daniel. Spotify sudah resmi beranjak dari ranah music streaming platform. Mereka akan tetap menjadikan audio sebagai pondasi utama bisnis mereka, tapi tidak terbatas hanya musik.
“Di masa lalu, kamu berpikir bahwa Spotify adalah tempat terbaik untuk mendengarkan (musik). Tapi sekarang, evolusi ini benar-benar membuat Spotify jadi lebih aktif dan menarik lagi,” ujar Daniel.
Masih Banyak Cara Untuk Mencari Uang
Alex Norstrom, Co President dan Chief Business Officer, mengakhiri presentasinya tentang cara monetasi bagi para konten kreator dengan cara menjelaskan satu prinsip yang dipegang oleh Spotify.
“Seperti yang sudah kalian lihat, kami menyediakan sumber daya terbaik bagi para kreator untuk berinteraksi dengan para penggemar. Dan kami terus bekerja keras untuk menciptakan kesempatan baru untuk memonetasi konten lebih lanjut. Singkat kata, bagi para kreator: kesuksesan kalian adalah kesuksesan kami juga. Prinsip ini memang seringkali digunakan secara berlebihan, tapi ini benar-benar kami aplikasikan. Prinsip ini menginspirasi kami, dan akan terus menjadi panduan bagi kami di masa-masa yang akan datang.”
Dalam ajang Stream On 2023, Spotify memperkenalkan metode monetasi baru bagi para kreator di Spotify.
Dalam ranah podcast, Spotify akan menjadikan Spotify for Podcasters sebagai episentrum. Di sini, para podcaster akan mendapat fitur-fitur terbaru Spotify, termasuk video podcasting, poling, hingga subscription.
Secara umum, ada dua cara monetasi bagi podcast di Spotify baru: iklan, dan dukungan penggemar.
Ada dua jenis iklan: Ambassador Ads dan Automated Ads. Yang pertama, host akan mempromosikan Spotify for Podcaster kepada para pendengar. Sedangkan Automated Ads ini adalah iklan yang berasal dari pihak ketiga yang beriklan melalui Spotify Audience Network (SPAN). Sesuai namanya, iklan ini otomatis hadir di jeda iklan (ingat bunyiiklan legendaris “Roti dan selai, bunga dan kumbang, Romeo dan Juliet” kan?).Saat ini, mode iklan baru tersedia di Amerika Serikat, dan akan menyusul di negara lain tak lama lagi.
Sedangkan dukungan penggemar (fan-support tools) berupa metode langganan yang sudah dipakai sejak 2021 dan tersedia di 34 daerah; dan bantuan pendengar yang berupa donasi bulanan. Untuk metode ini, sementara baru ada di Amerika Serikat saja.
Sedangkan dalam ranah musik, selain royalti (yang senantiasa mengundang perdebatan panjang di kalangan para musisi dan pelaku industri musik saat ini), Spotify akan memaksimalkan penggunaan fitur Concert and Merchandise Discovery. Secara sederhana, ini adalah lokapasar bagi para musisi untuk menjual merchandise, serta memperbarui tanggal konser atau tur di laman Spotify mereka.
Ini sebenarnya bukan fitur yang benar-benar baru, melainkan sudah digunakan sejak 2021 silam. Namun tahun ini, dipastikan mereka akan mengoptimalkan penggunaan dua fitur ini bagi para artis.
What’s Next?
Apakah perubahan besar dalam Spotify ini sesuatu yang baik atau buruk?
Semua disrupsi pada dasarnya akan mengguncang kemapanan dan akan ada pertarungan di sana. Dalam hal ini, secara general Spotify akan memasuki medan baru dan mau tidak mau akan head to head dengan platform yang sudah dulu ada.
Keputusan untuk masuk ke ranah video podcast, jelas akan membuat Spotify head to head dengan YouTube sebagai pemain terbesar di platform video sharing saat ini. Atau untuk merchandise, misalkan, Spotify akan head to head dengan Bandcamp. Atau kalau di Indonesia, akan berhadapan dengan e-commerce atau penjual merchandise independen. Atau kelak di masa depan, semisal Spotify akan mulai menjual tiket konser atau festival, mereka akan berhadapan dengan Goliath industri pertunjukan seperti Live Nation Entertainment.
Dalam sesi fireside chat bersama Jeremy Erlich, Global Head of Music Content saya sempat menanyakan soal kemungkinan head to head ini. Secara diplomatis Jeremy menjawab bahwa mereka tidak memikirkan itu.
“Filosofi kami bukan masuk ke dalam sebuah kolam dan memakan bagian dari mereka yang sudah ada di kolam, melainkan masuk ke kolam dan mengembangkan kolam itu,” ujarnya.
Pada akhirnya, menurut saya, perubahan ini bukanlah perkara baik atau buruk. Melainkan ia adalah keharusan.
Sebagai penguasa music streaming service saat ini, Spotify memang sudah harus beranjak. Mereka adalah salah satu pihak yang merevolusi bisnis industri musik 17 tahun silam, dan berkembang jadi penguasa pasar dengan share lebih dari 30 persen.
Di titik ini, perubahan adalah sebuah keniscayaan bagi Spotify.
Seperti apa yang dibilang Daniel Ek dalam pidato penutupan Stream On 2023.
“Di Spotify, yang konstan hanyalah perubahan.”
Editor: Nuran Wibisono