tirto.id - Kalau bukan karena Gareth Southgate, sepak bola mungkin sudah pulang ke rumah 28 tahun lalu..
1996 menjadi tahun ketiga puluh sejak Inggris menjadi juara Piala Dunia di kandang sendiri. Juga menjadi tahun ketiga puluh sejak Inggris meraih trofi internasional pertama dan terakhirnya. Maka ini jadi tahun spesial bagi mereka.
Sepak bola pulang ke “rumahnya”. Pada tahun itu, Inggris menjadi tuan rumah Euro dan publik mereka sangat berharap trofi Piala Eropa bisa jadi milik Tiga Singa. Sebab, kapan lagi waktu terbaik untuk juara Eropa selain di peringatan ketiga puluh menjadi juara dunia?
Namun, nasib memang tak berpihak pada Inggris kala itu. Babak semifinal sudah dijejak, tapi gelar juara lepas dari genggaman. Sepakan Southgate pada babak adu penalti membentur tiang gawang Jerman yang dikawal Andreas Koepke. Dengan langkah gontai, Southgate yang kala itu berusia 26 tahun memegang bagian belakang kepalanya dengan dua tangan.
Kegagalan Southgate itu memastikan kelolosan Jerman yang akhirnya menjadi kampiun dengan menundukkan Republik Ceska.
Melompat seperempat abad kemudian, lagi-lagi Southgate dan adu penalti belum berjodoh. Tentu, Southgate sudah tak lagi bermain. Di Euro 2020, yang digelar pada 2021 karena sempat terhalang Pandemi COVID-19, Inggris tinggal satu langkah lagi menjadi juara Eropa.
Namun, pada babak final yang harus diselesaikan dengan adu penalti, Inggris asuhan Southgate gagal menaklukkan Italia. Alhasil, slogan “it’s coming home” yang terus digelorakan publik Inggris, kemudian diralat: “it’s coming to Rome”.
Lalu, akankah Southgate berhasil melepas kutukan Piala Eropa-nya itu pada Euro 2024 kali ini?
Inggris Mencari Racikan Tim Terbaik
Well, awalnya semua terlihat sulit. Pada fase grup, Inggris sama sekali tidak bermain impresif. Bahkan, pada pertandingan ketiga menghadapi Slovenia, Southgate sampai dilempari gelas minuman oleh para suporter yang kecewa atas penampilan Harry Kane dan kolega.
Untunglah, dua hasil imbang (melawan Slovenia dan Denmark) dan satu kemenangan (atas Serbia) sudah cukup untuk membawa Inggris ke fase gugur.
Pada pertandingan fase gugur pertama pun, Inggris lagi-lagi tak mengesankan. Menghadapi Slovakia yang pada fase grup sempat memecundangi Belgia, Inggris tampak kesulitan, bahkan harus kebobolan terlebih dahulu. Namun, pada akhirnya, Kane dan Jude Bellingham muncul sebagai penyelamat. Masing-masing mencetak satu gol untuk membawa Inggris meraih kemenangan 2-1.
Buruknya penampilan Inggris pada Euro 2024 ini tak bisa dipisahkan dari kebingungan Southgate meracik komposisi terbaik, terutama di lini tengah.
Mantan pemain belakang Aston Villa itu kesulitan mencari pendamping bagi Declan Rice. Awalnya, Trent Alexander-Arnold dijajal, kemudian Conor Gallagher. Namun, yang akhirnya menjadi pembeda adalah bocah ajaib milik Manchester United, Kobbie Mainoo. Remaja 19 tahun itu membuat aliran bola Inggris jadi lebih lancar dan permainan tim pun terangkat dengan sendirinya.
Meski demikian, sosok-sosok seperti Kane, Bellingham, serta Bukayo Saka jelas tak bisa dikesampingkan. Tiga nama inilah yang senantiasa menyelamatkan Inggris pada pertandingan waktu normal, entah dengan gol penyama kedudukan maupun penentu kemenangan.
Pemain-pemain macam Jordan Pickford yang piawai menggagalkan penalti serta Ollie Watkins yang tajam dari bangku cadangan juga layak disebut sebagai pahlawan.
Pertandingan perempat final melawan Swiss bisa dikatakan sebagai titik balik permainan Inggris. Laga ini pulalah yang akhirnya menyegel posisi Mainoo sebagai pendamping Rice di lini tengah Inggris. Inggris memang tak bisa menang langsung dan butuh adu penalti pada laga ini. Namun, secara kualitatif, mereka sungguh-sungguh membaik.
Momentum itulah yang lantas dilanjutkan pada laga kontra Belanda di semifinal turnamen. Walau tertinggal lebih dulu, Inggris tetap tenang dan, melalui keunggulan individual, mereka akhirnya bisa mencetak gol pada masa-masa krusial. Inilah yang membuat Inggris kini sangat layak dijagokan untuk menjadi juara Euro 2024.
Dari enam pertandingan yang telah dijalani, Inggris harus tertinggal lebih dulu sebanyak empat kali. Dalam empat kesempatan itu, mereka selalu terhindar dari kekalahan, bahkan kemudian mampu membalikkan kedudukan. Gol di menit-menit akhir pun begitu akrab dengan perjalanan Inggris di turnamen kali ini.
Ada semacam faktor X yang membuat Inggris selalu bisa keluar dari lubang jarum dan, dalam sebuah turnamen, terkadang inilah yang paling dibutuhkan untuk mencatatkan sejarah.
Meski begitu, Inggris dilarang jemawa. Pasalnya, lawan yang akan mereka hadapi pada laga final di Olympiastadion, Berlin, Minggu (14/7/2024) dini hari WIB mendatang adalah Spanyol. La Furia Roja bukan cuma salah satu negara dengan raihan juara Eropa terbanyak, tapi juga tim yang paling diunggulkan merebut gelar juara Euro 2024.
Spanyol Tak Butuh Dewi Fortuna
Jika Southgate butuh waktu cukup lama untuk meracik komposisi terbaik, tidak dengan pelatih Spanyol, Luis de la Fuente. Mantan pemain Sevilla ini sedari awal sudah memiliki pakem andalan dan dia selalu bertahan dengan tim terbaiknya, kecuali ada cedera atau larangan bermain.
Permainan yang ditunjukkan Spanyol pun sebenarnya begitu sederhana, tapi amat sangat efektif.
Spanyol adalah tim yang tidak akan pernah membiarkan tim lawan menguasai bola lama-lama. Para penyerang mereka sekaligus merupakan pemain bertahan pertama. Dan sebaliknya, penjaga gawang mereka juga merupakan pemain penyerang pertama.
Sepanjang turnamen, Spanyol tampil begitu taktis, agresif, efektif, dan klinis. Hebatnya, skuad Spanyol pun bisa melakukannya tanpa menghilangkan unsur-unsur yang membuat sepak bola layak disebut sebagai the beautiful game.
Pemain-pemain seperti Fabian Ruiz, Lamine Yamal, dan Nico Williams tak cuma mampu menjalankan peran dalam tim dengan baik, tapi juga masih punya banyak kesempatan memamerkan skill individu brilian.
Hal ini memungkinkan untuk terjadi karena para pemain Spanyol tidak cuma terlatih secara fisik, tapi juga terpoles secara teknis. Sederhananya, para pemain Spanyol siap meladeni gaya bermain apa pun. Diajak main keras, ayo, diajak main cantik pun bisa. Tim ini benar-benar komplet.
Dengan demikian, tidaklah mengherankan apabila Supercomputer milik Opta meyakini bahwa Spanyol bakal keluar sebagai pemenang dalam laga final nanti. Tak tanggung-tanggung, Supercomputer itu menyebut kans Spanyol menang ada di angka 60,38 persen, sementara Inggris “hanya” 39,62 persen.
Melihat rekam jejak kedua tim sepanjang kejuaraan, angka yang dihasilkan Supercomputer Opta itu sama sekali tidak mengherankan.
Namun, sepak bola tak cuma sekali dua kali mempersetankan hitung-hitungan di atas kertas. Harus diakui, sepak bola adalah taman bermain yang menyenangkan bagi Dewi Fortuna. Sejauh ini, tim yang paling sering mendapatkan lindungan darinya adalah Inggris..
Barangkali karena Spanyol memang tak pernah benar-benar membutuhkan itu selama ini.
Maka pertandingan final Euro 2024 nanti adalah sebuah pentas di mana segalanya akan dibuktikan atau justru diputarbalikkan. Akankah pertandingan final nanti jadi antiklimaks bagi Spanyol yang sudah menyingkirkan para kandidat juara atau justru Fortuna pada akhirnya berhenti berpihak pada Inggris? Jawabannya bisa Anda saksikan Minggu (14/7/2024) dini hari pukul 02:00 WIB.
Pemain Kunci
Inggris - Harry Kane
Pada akhirnya, di sebuah laga sebesar final Euro 2024, Inggris bakal berharap pada pemain-pemain terbaiknya dan nama Harry Kane jelas ada dalam daftar tersebut. Kane kini turut memimpin daftar pencetak gol terbanyak dan sudah terbukti mampu mengeluarkan Inggris dari situasi sulit sebelumnya.
Yang jadi persoalan, Kane memiliki kutukannya sendiri, yaitu kesulitan meraih trofi. Bahkan setelah pindah ke Bayern Muenchen pun, yang akhirnya jadi juara Bundesliga justru Bayer Leverkusen. Meski begitu, Kane punya mental yang kuat dan laga final ini bakal jadi pembuktian bagi eks Tottenham Hotspur tersebut.
Spanyol - Rodrigo Hernandez
Spanyol takkan bisa bermain seperti sekarang tanpa Rodrigo Hernandez alias Rodri di lini tengah. Pemain satu ini tak cuma piawai bertahan, tapi juga sakti dalam menjadi inisiator serangan. Tak jarang pula dia bisa mencetak gol penentu kemenangan seperti ketika Manchester City mengalahkan Internazionale di final Liga Champions dua tahun silam.
Untuk mematikan Spanyol, tim lawan harus mematikan pergerakan Rodri. Akan tetapi, ini juga bukan persoalan sepele karena Rodri sendiri dibekali kekuatan fisik yang mumpuni dan teknik jempolan. Jika Rodri berada dalam performa terbaiknya, Spanyol bisa jadi tak terhentikan dan menjadi tim kedua setelah Brasil pada Piala Dunia 2002 yang mampu menyapu bersih semua laga di satu turnamen mayor.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi