tirto.id - Koalisi Masyarakat Sipil menilai social distancing atau mengambil jarak dari aktivitas sosial untuk menekan risiko penularan COVID-19 tidak dikenal dalam ketentuan hukum Indonesia.
Penetapan status bencana nasional itu merujuk pada Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Namun, UU ini tidak mengenal konsep social distancing.
Apabila yang dimaksud dengan social distancing merupakan “pembatasan sosial”, hal itu dikenal di UU nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam pasal 59 UU 6/2018 menyebutkan “Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang merupakan bagian dari Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM)".
"Tetapi status KKM harus ditetapkan terlebih dahulu oleh pemerintah," kata anggota KMS Haris Azahar melalui keterangan tertulisnya, Selasa (17/3/2020).
Pria yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Lokataru Foundation itu pun melihat, yang pemerintah tetapkan sejauh ini adalah “bencana nasional” atau PSBB. Jika PSBB mau ditempuh, kata dia, maka harus mencakup meliburkan seluruh sekolah dan tempat kerja.
Namun, hanya sekolah saja yang menerapkan kebijakan tersebut dengan meliburkan murid dan karyawan. Sementara masih terdapat perusahaan yang masih mempekerjakan buruhnya.
"Akhirnya social distancing hanya bersifat imbauan saja kepada individual, dan tidak diikuti oleh tempat kerja/perusahaan. Imbasnya kebijakan social distancing tidak dapat berjalan efektif," ucapnya.
Kemudian kebijakan social distancing belum disertai dengan koordinasi yang baik antara pusat dan daerah serta sektor-sektor lain. Misal, seperti penumpukan penumpang bus Trans Jakarta, dan MRT pada Senin, 16 Maret 2020 kemarin di Jakarta usai imbauan untuk social distancing oleh presiden.
Penumpukan terjadi akibat tidak ditaatinya anjuran untuk bekerja di rumah dan adanya pengurangan layanan bus Transjakarta secara ekstrem. Selain itu, yang lebih buruk KMS melihat ada komunikasi yang kurang sehat antara Presiden Jokowi dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Oleh karena itu, KMS mendesak di masa krisis di mana keselamatan rakyat menjadi taruhannya, para pemimpin menahan diri dan menunda segala jenis persaingan individual/politik terlebih dahulu agar lebih fokus bersama-sama menangani bencana.
"Tanpa kebersamaan dan sikap satu suara, kebijakan apapun akan kandas. Kepentingan kemanusiaan harus berada di atas kepentingan politik," tuturnya.
Kemudian kebijakan social distancing juga belum disertai dengan peningkatan kapasitas dan ketersediaan pelayanan rumah sakit.
Dalam pelbagai edaran, pemerintah memang telah mengumumkan sejumlah rumah sakit yang katanya disiapkan untuk menangani pasien COVID-19. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan hal-hal yang sama sekali bertentangan.
Sejumlah laporan yang diterima membeberkan, betapa buruknya pelayanan dan respons rumah sakit di Jakarta terhadap warga yang akan memeriksakan diri.
"Buruknya respons rumah sakit menunjukkan betapa rumah sakit-rumah sakit itu sama sekali tidak siap menangani pasien, terutama para pasien dari kalangan rakyat biasa," tegas dia.
Lebih lanjut, kebijakan dan penanganan yang dilakukan pemerintah belum disertai kerja sama global yang intens dan efektif. Padahal sebelum tiba di Indonesia, COVID-19 telah menyerang di pelbagai negara. Ada banyak negara yang telah berhasil menangani virus ini: China, Korea Selatan, Taiwan dan Singapura.
Dia pun menyarankan sudah semestinya pemerintah bisa memetik pelajaran dan melakukan upaya yang tanggap dalam hal kerja sama internasional. Termasuk menerima bantuan teknologi uji laboratorium, tenaga dan analisis medis, sehingga wabah ini bisa lebih cepat diatasi di Indonesia.
"Untuk mengatasi krisis dan menyelamatkan warga, bukan pada tempatnya memancang sikap gagah-gagahan yang konyol," imbuhnya.
Terakhir, Haris menilai, social distancing memiliki implikasi politik kewargaan guna mendorong tumbuhnya solidaritas kemanusiaan. Pesan utama dari social distancing adalah dengan menjaga diri sendiri dan menjaga kesehatan orang lain.
"Untuk itu, social distancing mensyaratkan kepemimpinan yang efektif sekaligus
peduli, guna melibatkan partisipasi pelbagai kelompok dan tokoh masyarakat yang seluas-luasnya," pungkasnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Maya Saputri