Menuju konten utama

Soal Sindikat Jual Beli Ijazah, TKN: Ini Mencoreng Pendidikan Kita

"Saya kira ini tantangan terbesar pemerintah untuk kembali fokus menyelesaikan kasus-kasus serupa. Ini sesuatu yang sangat mencoreng muka pendidikan kita sebagai penyakit kambuhan."

Soal Sindikat Jual Beli Ijazah, TKN: Ini Mencoreng Pendidikan Kita
Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie didampingi Sekjen Raja Juli Antoni, dan Ketua DPP Tsamara Amany memberikan keterangan pers terkait sikap partai pada Pemilihan Presiden 2019 di Jakarta, Sabtu (11/8/2018). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso.

tirto.id -

Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Raja Juli Antoni mengaku kaget dengan adanya sindikat jual beli ijazah bodong yang melibatkan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Namun, Toni mengklaim jika terpilih kembali tentu Jokowi-Ma'ruf akan membenahi hal ini.

"Saya yakin Pak Jokowi berkali-kali mengatakan kepada kita bahwa pendidikan adalah tiang utama pembangunan terutama pendidikan tinggi, adalah tangga untuk membuat negara maju," kata Toni pada Tirto, Senin (26/11/2018).

Namun, Toni menilai bahwa pembuatan ijazah palsu memang merupakan masalah yang seringkali muncul meski pemerintah sudah bekerja untuk memberantasnya. Toni sendiri tak tahu mengapa masalah ini sulit diberantas.

"Pemerintah sudah membentuk sebuah tim evaluasi untun mengetahui para penjahat itu, tapi penyakit kambuhan ini belum juga tuntas," ucapnya.

Toni juga enggan menjelaskan apakah program Jokowi-Ma'ruf untuk kepemimpinan di 2019-2024 jika terpilih akan fokus pada masalah pendidikan di perguruan tinggi. Selama ini, Jokowi-Ma'ruf justru lebih banyak berkutat pada masalah pengembangan sumber daya manusia. Padahal Toni mengakui masalah sindikat ijazah ini tantangan besar bagi dunia pendidikan.

"Saya kira ini tantangan terbesar pemerintah untuk kembali fokus menyelesaikan kasus-kasus serupa," katanya. "Ini sesuatu yang sangat mencoreng muka pendidikan kita sebagai penyakit kambuhan."

Tirto dalam investigasinya menemukan adanya kampus bermasalah yang masih beroperasi hingga sekarang. Dua kampus itu adalah STIE ISM dan STMIK Triguna Utama. Kedua kampus itu dimiliki oleh Mardiyana dan istrinya, Koes Indrati Prasetyorini. Suami-istri ini pemain lama dalam jaringan mendirikan kampus-kampus fiktif dan menerbitkan ijazah bodong sejak 2000 yang kasusnya pernah mencuat pada 2015.

Namun, setelah dibekukan pada 2015, STIE ISM dan STMIK Triguna Utama kembali beroperasi seperti sedia kala. Kampus-kampus swasta yang bermasalah ini tetap merekrut mahasiswa.

STIE ISM bahkan kini pindah gedung baru di Tigaraksa, Kabupaten Tangerang. Gedung ini akan jadi kampus utama untuk kegiatan kuliah STMIK Triguna Utama (Depok) dan STKIP Sera (Tangerang), di bawah rencana penggabungan menjadi Universitas Pelita Bangsa.

Kembali aktifnya tiga kampus swasta milik Mardiyana itu tidak lepas dari permainan orang di Kementerian.

Pengaktifan STKIP Sera misalnya. Uman Suherman, Ketua Kopertis IV, menyurati Totok Prasetyo agar kampus itu mendapat kode perguruan tinggi pada 6 April 2017.

Meski surat itu ditujukan kepada Totok, tapi Abdul Wahid Maktub, staf khusus Menteri Ristekdikti Mohamad Nasir, memberikan memo dengan tulisan tangan di surat tersebut: “Yth Dir. Pembinaan, tolong dibantu.”

Selain menambahkan memo, Maktub menempelkan kartu namanya pada surat itu.

Hasilnya pada 2017, STKIP Sera kembali aktif dan sudah menerima mahasiswa. Pada laman data pendidikan tinggi, STKIP Sera tercatat memiliki 230 mahasiswa dan mengklaim punya 17 dosen tetap.

Soal kembali aktifnya tiga kampus ini, Direktur Pembinaan Kelembagaan Perguruan Tinggi Totok Prasetyo mengatakan pembinaan sudah dilakukan tapi masih terus ada perbaikan. Sampai 13 November 2018, kampus masih memiliki masalah yang belum diselesaikan.

“Soal ijazah yang diterbitkan itu, kami minta dicabut, itu salah satu yang perlu diperbaiki,” kata Totok.

Baca juga artikel terkait IJAZAH PALSU atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Maya Saputri