tirto.id - Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menjelaskan soal lonjakan impor yang kerap dituding sebagai biang keladi defisit neraca perdagangan.
Ia menyebutkan, kondisi tersebut sebenarnya tak perlu terlalu dikhawatirkan sebab banyaknya barang non-migas yang masuk ke Indonesia dipicu oleh kebijakan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur.
Hal itu ia sampaikan dalam seminar bertajuk 'Transformasi Ekonomi untuk Indonesia Maju' yang digelar Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Jumat (9/8/2019).
"Kalau kita teliti lebih dalam, maka impor kita 90 persen dari total impor adalah barang modal dan barang baku. Barang modal naik 22 persen, dan 20 persen barang baku. Dan ini karena berkaitan dengan pembangunan infrastruktur. Sebenarnya tidak usah terlalu dikhawatirkan," ujar Enggar.
Sehingga, menurut dia, yang kini perlu difokuskan adalah menurunnya kinerja ekspor sebagai dampak dari perang dagang. Terlebih, beberapa negara kini mulai menerapkan safe guard bagi pasar domestik dan membuat pasar ekspor semakin sempit.
Di sisi lain, daya saing produk ekspor Indonesia juga masih kalah jauh terutama dari sisi harga.
"Sekarang produk kita tidak kompetitif dilihat dari sisi harga, pasti ada sesuatu yang salah. Kemudian langkahnya adalah menghentikan impor. Kalau itu yang jadi kebijakan sederhana, maka itu akan jadi persoalan berikutnya," imbuhnya.
Maka dari itu, kata Enggar, pemerintah harus lebih membuka diri terhadap pasar serta berekspansi ke negara-negara yang jadi pasar ekspor non-tradisional. Caranya, dengan memperbanyak perjanjian bilateral agar produk-produk Indonesia dapat lebih mudah masuk ke negara yang dituju.
Sebab, terang menteri yang juga kader Partai Nasdem tersebut, Indonesia akan terus kehilangan potensi ekspor dan defisit neraca perdagangan akan selalu mengintai jika hal itu tak segera dilakukan.
"Saat ini kita mengejar ketertinggalan dengan membuka market akses. Dengan perjanjian perdagangan. Saya bisa gambarkan kita kehilangan market share kita dengan Turki hampir 500 juta dolar dan dengan India 500-600 juta dolar itu beralih ke Malaysia untuk CPO," tuturnya.
Saat ini, kata dia, Indonesia mengejar 9 perjanjian dagang dalam kurun waktu dua tahun. Hal ini, ujar Enggar, sangat berat sebab sepuluh tahun sebelumnya hanya ada 10 perjanjian bilateral yang bisa diselesaikan.
"Kita baru ada bilateral itu hanya 2, Indonesia-Jepang dan Indonesia-Pakistan. Yang kita bidik 2018 ada 9. Ini mengejarnya bukan main, bayangkan 10 tahun ada 10, dua tahun kami kejar ada 9," pungkasnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno