Menuju konten utama

Di Balik Lonjakan Impor Barang Saat Ekonomi Lesu

Nilai impor pada bulan lalu tercatat yang tertinggi selama dua tahun terakhir. Apa makna dari lonjakan impor ini?

Sejumlah fotografer memotret kawasan pelabuhan pada lomba hunting foto Pelabuhan Indonesia II di Pelabuhan Boom Baru Palembang, Sumsel, Minggu (12/11). ANTARA FOTO/Feny Selly.

tirto.id - Pada satu kesempatan Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengatakan impor bahan baku dan barang modal sebagai indikasi bahwa proses produksi pada industri sedang berjalan. Dengan kata lain, saat ada lonjakan impor untuk kedua jenis barang itu, maka artinya proses produksi industri juga sedang menggeliat.

Barang impor, terutama bahan baku/barang penolong dan barang modal merupakan komponen yang sangat penting bagi industri. Tanpa adanya barang-barang itu, proses produksi industri bisa terganggu. Barang modal biasanya identik dengan mesin-mesin dan peralatan untuk menopang produksi, sedangkan bahan baku sebagai barang yang akan diproses nilai tambah pada industri manufaktur.

Industri manufaktur menyumbang hampir 20 persen terhadap produksi domestik bruto nasional. Artinya bila ada perbaikan kinerja, maka secara langsung akan berkontribusi pada ekonomi. Pada kuartal III-2017, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5,06 persen atau stagnan dibandingkan triwulan sebelumnya yang juga hanya 5,01 persen, masih jauh di bawah target 2017 hingga 5,2 persen.

Baca juga: Melihat Catatan Defisit Neraca Perdagangan Indonesia

Bila menilik data Badan Pusat Statistik (BPS), total nilai impor pada Oktober 2017 mencapai US$14,19 miliar, naik 23,39 persen dari Oktober 2016 sebesar US$11,50 miliar, atau tertinggi dalam dua tahun terakhir.

Dari total nilai impor tersebut, barang konsumsi menyumbang 8,8 persen, atau US$1,25 miliar. Selebihnya yang paling dominan adalah impor bahan baku/penolong menyumbang 75,40 persen atau US$10,7 miliar dan barang modal 15,22 persen menjadi US$2,16 miliar.

Namun, impor barang konsumsi, mengalami kenaikan paling tinggi dibandingkan dengan barang impor lainnya, yakni tumbuh 30 persen. Disusul, impor bahan baku/penolong tumbuh 26 persen dan barang modal 9,8 persen.

“Ini menjadi indikator awal adanya pemulihan ekonomi ke depannya. Setelah dalam dua tahun terakhir ini tertekan, terutama barang modal dan bahan baku/penolong,” kata Telisa Aulia Falianty, akademisi bidang ilmu ekonomi dari Universitas Indonesia kepada Tirto.

Memang bila dicermati geliat impor pada Oktober 2017 jauh di atas dari catatan kinerja impor tahun-tahun sebelumnya.

Misalnya impor barang modal pada Oktober 2015 anjlok 24 persen menjadi US$2,07 miliar dari Oktober 2014. Begitu juga dengan impor barang modal pada Oktober 2016 hanya US$1,98 miliar turun 4,38 persen.

Ihwal yang sama juga terjadi pada impor bahan baku/penolong. Pada Oktober 2015, impor bahan baku/penolong sebesar US$8,26 miliar atau turun 29 persen. Namun, pada Oktober 2016, impor bahan baku/penolong sampai naik tipis 4 persen menjadi US$8,56 miliar.

Catatan impor Oktober tahun ini yang cukup naik signifikan tentu sangat dirasakan oleh dunia usaha. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai kenaikan impor bahan baku dan barang modal, sebagai tanda kapasitas produksi industri manufaktur mulai meningkat.

“Lebih bagus lagi, kalau kapasitas produksi itu ternyata di-drive oleh permintaan dalam negeri, sehingga menandakan daya beli masyarakat meningkat. Namun, kalau buat ekspor juga tetap bagus,” ujar Hariyadi Sukamdani, Ketua Umum Apindo kepada Tirto.

Baca juga: OJK Prediksi Perekonomian Indonesia 2018 Membaik

Lantas apakah kinerja impor bahan baku dan barang modal yang melonjak sebagai tanda positif bagi geliat ekonomi?

Jawabannya belum tentu demikian. Impor bahan baku dan barang modal yang meningkat justru diperkirakan lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan sektor konstruksi ketimbang industri pengolahan. Pemerintahan Presiden Jokowi sangat fokus pada pembangunan infrastruktur.

Hal ini terlihat dari impor besi dan baja yang tumbuh 26 persen menjadi US$6,36 miliar sepanjang Januari-Oktober 2017 dari periode yang sama tahun lalu. Selain itu, barang impor mesin dan pesawat mekanik yang tumbuh 1,12 persen menjadi US$17,29 miliar.

“Kalau untuk manufaktur, itu di antaranya seperti impor binatang hidup atau impor bahan kimia dasar. Sayang, nilainya masih kecil,” kata Bhima Yudhistira Adhinegara, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) kepada Tirto.

Selain melihat dari jenis barang, adanya indikasi impor bahan baku dan barang modal lebih digunakan untuk sektor konstruksi daripada manufaktur juga terlihat laju pertumbuhan PDB berdasarkan lapangan usaha.

Sepanjang kuartal III-2017, sektor konstruksi tumbuh 7,3 persen dari kuartal III-2016. Angka itu lebih tinggi ketimbang industri pengolahan yang hanya tumbuh sekitar 4,18 persen. Sehingga kontribusi sektor konstruksi terhadap PDB meningkat menjadi 10,26 persen dari sebelumnya 10,20 persen. Sebaliknya, industri pengolahan justru turun dari 20,24 persen menjadi 19,93 persen.

“Ini bukti lainnya bahwa impor bahan baku/penolong atau barang modal hingga Oktober 2017 itu bisa jadi lebih disebabkan untuk kebutuhan sektor konstruksi, terutama infrastruktur. Bukan dari industri pengolahan,” jelas Bhima.

Baca juga: Bappenas Harap Semakin Banyak Investor Swasta Danai Infrastruktur

src="//mmc.tirto.id/image/2017/11/20/IMPOR-NON-MIGAS--MILD--FUAD.jpg" width="860" alt="Infografik Impor Nonmigas" /

Apa Artinya?

Sektor konstruksi yang menggeliat karena pembangunan infrastruktur memang bisa menggenjot kinerja impor dan menyumbang peranannya pada ekonomi. Namun, pertanyaannya sejauh mana kontribusinya bagi ekonomi?

Kenaikan bahan baku dan barang modal untuk sektor konstruksi tidak akan signifikan mengerek pertumbuhan ekonomi di 2017. Rendahnya, daya dorong sektor konstruksi terhadap PDB itu disebabkan sektor tersebut lebih bersifat padat modal. Apalagi kontribusi tenaga kerja yang terserap di sektor konstruksi pada Agustus 2017 malah turun dari 6,74 persen menjadi 6,73 persen.

Sebaliknya, tenaga kerja yang diserap industri pengolahan justru meningkat dari sebelumnya sebesar 13,12 persen menjadi 14,05 persen dari total jumlah angkatan kerja per Agustus 2017 sebanyak 128,06 juta orang.

Dengan kata lain, dampak pertumbuhan sektor konstruksi yang tinggi pada tahun berjalan ini yang didorong infrastruktur tidak signifikan dalam meningkatkan daya beli masyarakat, terutama melalui penyerapan tenaga kerja. Konsumsi rumah tangga di Indonesia selama ini menjadi penopang geliat ekonomi daripada belanja pemerintah, ekspor/impor, dan investasi. Efek positif infrastruktur bagi ekonomi diperkirakan akan efektif dalam jangka panjang.

Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro pernah mengatakan rata-rata pertumbuhan ekonomi dari tiga kuartal terakhir hanya 5,03 persen, sedangkan target total pertumbuhan 5,2 persen.

"Kalau mau kejar di triwulan IV harus relatif tinggi di atas 5,5 persen. Itu tampaknya agak berat meskipun ada harapan di investasi, ekspor dan konsumsi pemerintah. Mungkin tercapai 5,1 persen," ujar Bambang seperti dikutip dari Antara.

Baca juga artikel terkait IMPOR BAHAN BAKU atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra
-->