tirto.id - Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi realitas yang memprihatinkan di Indonesia, dari pelecehan bahkan hingga pembunuhan atau femisida.
Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) pada 2021 menyebutkan bahwa 1 dari 4 perempuan berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya.
Sementara itu, sepanjang 2018 sampai 2023, Komnas Perempuan mencatat 103 korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) atau pemerkosaan yang mengakibatkan kehamilan.
Di tengah situasi yang memilukan ini, muncul beragam inisiatif untuk meningkatkan kesadaran publik, salah satunya melalui edukasi dengan musik.
Sisters in Danger x Simponi adalah salah satu grup band yang memilih jalur edukasi musik untuk mengadvokasikan isu-isu sosial.
Sejak berdiri tahun 2010, mereka sudah mengeluarkan 4 album dan 3 single, atau total 34 lagu. Tema yang diangkat bermacam-macam, dari pesan untuk melawan kekerasan terhadap perempuan dan anak, semangat antikorupsi, toleransi, dan lingkungan hidup.
Sebelum merger menjadi satu band, Simponi meraih juara 2 kompetisi musik antikorupsi Fair Play 2012 di Brasilia, Brasil dengan lagu berjudul Vonis.
Mereka juga pernah menjadi juara pertama dalam kompetisi Sounds of Freedom 2014 di London dengan lagu Sister in Danger yang isinya mengungkapkan kejengahan para musisi terhadap kasus kekerasan dan pelecehan perempuan.
Judul lagu tersebut kelak diabadikan sebagai nama grup musik lagi, Sisters in Danger, yang dinakhodai vokalis perempuan.
Lagu ini mengajak publik untuk ikut mengambil peran dalam menghentikan aksi-aksi kekerasan di sekitarnya.
Setelah vakum sekian waktu, Sisters in Danger x Simponi berencana kembali bermusik lagi.
Konsep Diskusi Musikal
Sisters in Danger x Simponi diproduseri oleh M. Berkah Gamulya yang juga penulis lirik lagu-lagu mereka.
Gamulya sendiri menyadari posisi mereka sebagai band edukasi dengan lagu-lagu yang bertema berat—seperti tragedi, kemarahan, dan kesedihan.
Maka dari itu, untuk mempermudah penyampaian pesan, Gamulya mengusung konsep “diskusi musikal”—gabungan antara edukasi dan hiburan secara harmonis—dalam pertunjukan mereka.
Konsep ini menjadikan musik sebagai bagian integral dari edukasi. Sembari bermusik, mereka menyampaikan data dan tips terkait hak-hak perempuan dan anak.
Selain membawakan lagu-lagu orisinal, mereka kerap menyelingi penampilan dengan lagu-lagu dari musisi kenamaan yang menjadi inspirasi utama mereka.
“Kami tahu diri, lagu-lagu kami sendiri belum dikenal. Jadi kami menyisipkan juga lagu-lagu Iwan Fals, John Lennon supaya penonton bisa nyanyi bersama,” tambahnya.
Selain ingin tampil di panggung festival musik besar, Sisters in Danger x Simponi juga memilih sekolah atau kampus di daerah yang akses hiburan atau informasinya terbatas, serta di acara-acara LSM yang mendukung misi sosial mereka.
“Justru kami ingin tampil di sekolah yang jarang didatangi oleh band, yang cenderung tidak memiliki cukup dana untuk mengadakan pentas seni,” ungkap Gamulya.
Sisters in Danger x Simponi membuka kesempatan bagi sekolah atau kampus mana pun yang menginginkan kehadiran mereka.
“Syaratnya cuma sediakan tempat, nanti kami sendiri yang siapkan semuanya,” terang Gamulya.
Metode diskusi musikal ini pun terbukti membawa dampak positif.
Vokalis Titi berbagi kisah tentang bagaimana tur ke sekolah-sekolah membuka ruang bagi banyak orang untuk mengungkapkan pengalaman yang sebelumnya sulit mereka ceritakan.
“Selama tur di sekolah, banyak sekali yang mengadu, melaporkan bahwa mereka juga menjadi korban, tapi sebelumnya tidak berani bicara,” ungkap Titi.
Anggota band lainnya, Lendi, menambahkan, acap kali setelah pertunjukan, penonton datang menghampiri mereka untuk bercerita atau meminta nasihat.
Sisters in Danger x Simponi beberapa kali bahkan menjadi jembatan penghubung bagi korban, mengarahkan mereka ke lembaga-lembaga yang dapat memberikan bantuan.
Tidak Lepas dari Reaksi Negatif
Keberanian Sisters in Danger x Simponi menyuarakan isu-isu sensitif sering kali mengundang reaksi negatif dari masyarakat.
Mereka pernah mendapatkan penolakan keras, terutama saat mementaskan lagu bertema hak perempuan.
Ketika tampil di Aceh, mereka diprotes terkait tema poligami yang mereka angkat.
Menurut Gamulya, diskusi tentang hak perempuan untuk menolak poligami atau dampak sosialnya kerap memicu respons negatif. Namun ia menekankan pentingnya membuka ruang dialog.
Titi menceritakan tentang pengalaman mereka saat membawakan tema intoleransi di Bogor.
“Kami belum sampai di lokasi, eh tiba-tiba sudah berseliweran kata ‘kafir’ atau seruan yang mengafirkan kami,” ungkap Titi.
Meski pesan yang mereka bawa kerap dianggap kontroversial, Gamulya bersyukur karena pertunjukan mereka tetap menarik minat penonton.
“Walaupun tidak semua orang setuju dengan isu yang kami bawa, musik tetap punya daya tariknya sendiri. Semua orang suka musik,” ujarnya.
Tekad di Tengah Tantangan
Pandemi COVID-19 menjadi salah satu momen tantangan besar bagi Sisters in Danger x Simponi.
Acara-acara LSM yang mendukung kegiatan mereka terpaksa dihentikan, sehingga mereka kehilangan dukungan finansial.
“Pascapandemi, band-band mainstream memang sudah mulai bangkit. Sedangkan kami yang indie cenderung lebih sulit untuk memulai lagi,” jelas Gamulya.
Akibatnya, beberapa proyek musik dan produksi lagu baru tertunda.
“Untuk memproduksi lagu, rekaman, road show, tentu diperlukan dana. Teman-teman lama yang dulu pernah mendukung kami sayangnya belum bisa membantu lagi,” katanya.
Di satu sisi, lanjut Gamulya, aktivitas bermusik di Sisters in Danger x Simponi bukanlah pekerjaan utama para anggota band.
Titi, misalnya, masih sering tampil menyanyi di restoran, sementara Gamulya meneruskan pekerjaan kantoran.
Di balik itu semua, mereka bertekad untuk terus berkarya dan menyuarakan isu-isu penting melalui musik.
Titi berharap semakin banyak generasi muda yang berani membawa dampak positif melalui musik, terutama dalam upaya mencegah kekerasan.
“Semakin banyak band yang mengangkat isu ini, semakin sempit ruang gerak pelaku untuk melakukan aksinya. Mereka jadi tahu bahwa orang-orang semakin peduli, semakin sadar,” tambah Titi.
Kepedulian ini menjadi sumber motivasi yang kuat. Titi mengakui bahwa semangat mereka tetap hidup meskipun kadang muncul rasa frustasi saat melihat kenyataan yang menyedihkan.
“Kadang kami sudah tidak sanggup membaca berita, tapi kami tidak bisa diam. Apa yang bisa kami lakukan, ya lakukan. Kami bisa nyanyi, nulis, advokasi,” katanya.
Lendi menegaskan bahwa kepuasan yang mereka rasakan dari menyebarkan pesan sosial melalui musik memiliki makna yang jauh lebih dalam ketimbang sekadar mencari uang.
“Memang, ketika kita bekerja, idealnya pure kita mencari uang, tapi di sini kami juga ingin mengajak semua orang untuk ikut bersuara lantang menyerukan isu-isu sosial,” jelas Lendi, “Rasanya lebih senang dan puas, merasa lebih berguna dan bermanfaat.”
Jalan Baru
Setelah vakum selama empat tahun, Sisters in Danger x Simponi tengah menjalani masa transisi.
Mereka baru-baru ini mencari vokalis baru, berharap menemukan sosok dari kalangan Gen Z yang dapat memberi warna segar pada nilai-nilai band.
“Supaya ada teman-teman anak muda yang bisa ikut menyuarakan. Jangan kami terus. Kami sudah mulai tua,” ujar Titi sambil tertawa.
Selain mencari vokalis baru, Sisters in Danger x Simponi juga menyampaikan keinginannya untuk menyelenggarakan tur bertema “Stop Femisida”.
Meski upaya pencarian vokalis dan sponsor ini masih terus berlangsung, mereka tidak kehilangan semangat untuk terus maju.
Di balik layar, band ini juga tengah mengerjakan proyek musik baru bertema Palestina—yang mereka harapkan bisa segera dirilis dalam waktu dekat.
Di tengah upaya tersebut, mereka meletakkan harapan besar pada pemerintah.
Penulis: Ahmad Haetami
Editor: Sekar Kinasih