Menuju konten utama

Sinyal Merah COVID-19 Usai New Normal, Jokowi Harus Melakukan Apa?

Warga tak siap menjalankan new normal dan memilih mengutamakan kesehatan.

Sinyal Merah COVID-19 Usai New Normal, Jokowi Harus Melakukan Apa?
Presiden Joko Widodo bersiap memimpin rapat terbatas (ratas) di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (7/7/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/POOL/foc.

tirto.id - Presiden Joko Widodo membunyikan alarm bahaya atas laporan harian COVID-19 Indonesia pada 9 Juli. Kali pertama, ada 2.657 kasus harian setelah lebih empat bulan Corona melanda Indonesia.

Jokowi menyatakan kasus tertinggi adalah sinyal merah bagi pemerintah daerah yang akan menerapkan new normal atau kelaziman baru bertujuan mengakselarasi ekonomi di tengah pandemi.

Kebijakan new normal bermula 26 Mei saat Jokowi meninjau pasar belanja modern. Sebelum kick off new normal, di awal Mei, Jokowi memerintahkan ke pembantunya untuk melandaikan kurva epidemi pada Juni dan Juli dan ‘berdamai dengan Corona’ meski fakta bicara sebaliknya.

Tahapan new normal di antaranya ada lomba video oleh Kementerian Dalam Negeri dengan hadiah dana insentif daerah ratusan miliar rupiah. Video berisi langkah pemerintah daerah menerapkan protokol kesehatan di publik seperti pasar, tempat wisata dan perkantoran.

Setelah daerah menerapkan new normal diikuti relaksasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) terjadi lonjakan kasus tertinggi. Kini daerah diminta berhati-hati sembari disarankan mengikuti ilmuwan.

Patokan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bila menjalankan kelaziman baru antara lain tes PCR 1 orang per 1.000 penduduk per pekan dan positivity rate 5 persen.

Laporan terbaru WHO pada 8 Juli untuk analisis tiga pekan dari 15 Juni hingga 5 Juli, di Indonesia hanya DKI Jakarta, provinsi di Pulau Jawa yang mampu melakukannya. Sedangkan Jawa Timur, Jawa Barat, Banten dan DIY jumlah tes PCR di bawah 0,5 per 1.000 penduduk/pekan.

Jumlah positivity rate atau rasio antara temuan kasus dengan tes PCR di Jawa, tertinggi adalah Jawa Timur mencapai 30 persen, kemudian Jawa Tengah sekitar 20 persen. Keduanya angka tes PCR rendah, dikhawatirkan kondisi penularan di masyarakat telah tinggi tapi belum dites, sehingga belum terdata.

Untuk Banten dua pekan di bawah dan satu pekan di atas 5 persen, hanya saja pemeriksaan minim. Sedangkan DKI Jakarta meski pemeriksaan tinggi, angkanya masih di atas 5 persen.

Secara nasional positivity rate berkisar di angka 12 persen. Dengan demikian, secara nasional dan regional syarat dari untuk new normal belum terpenuhi.

Bila mengikuti ilmuwan, setelah kasus tertinggi sarannya justru penerapan kembali PSBB karena syarat new normal gagal dipenuhi, menurut Iqbal Elyazar, kolaborator saintis LaporCOVID-19, lembaga nirlaba pemantau Corona di Indonesia.

“Pilihannya tak banyak. Pemda jangan merasa takut untuk memulai atau memperpanjang dan mengulang PSBB. Restriksi mobilitas daerah risiko tinggi sekali di tingkat kabupaten, kota, atau kecamatan,” kata Iqbal.

Anjuran lainnya untuk Indonesia adalah micro lockdown berbasis komunitas di level RT, RW, desa/kelurahan, cocok wilayah perkotaan seperti Jakarta. Pengusul konsep adalah Sulfikar Amir dari Nanyang Technological University Singapore.

“Ini cocok untuk Indonesia, karena jalan tengah antara penguncian daerah dengan penjarakan sosial. Basisnya adalah masyarakat sesuai anjuran WHO, karena mereka paling terpengaruh dan memiliki pengaruh dalam antisipasi dan kesiapan. Contohnya saat ada bencana,” dikutip dari makalah Amir.

Dari dua saran ilmuwan, Jokowi baru mengimbau satu hal yakni karantina lokal berbasis RT, RW, kampung atau desa dengan pertimbangan biaya lebih murah daripada karantina kabupaten/kota. Bila saran ilmuwan benar-benar diikuti PSBB akan berjalan kembali, karena tak memenuhi syarat new normal.