tirto.id - Tepuk tangan meriah bergelora di Dolby Theater, saat Alicia Vikander merebut piala bergengsi Oscar 2016 untuk kategori Aktris Pendukung Terbaik melalui perannya dalam The Danish Girl .
Film biografi pertama karya Tom Hooper tersebut berhasil mencuri perhatian publik yang membawa The Danish Girl dihujani banyak nominasi penghargaan.
Dikutip dari laman IMDB, The Danish Girl berhasil memenangkan 31 penghargaan yang di antaranya termasuk Venice Film Festival.
Dalam film The Danish Girl, Hooper seolah-olah mengajak penontonnya menaiki mesin waktu kembali ke tahun 1920-an. Sebagai sutradara, ia sukses memanjakan mata penontonnya dengan pengambilan gambar yang elok, menyoroti keindahan sudut kota Copenhagen di setiap adegannya.
Film berdurasi hampir 2 jam itu terinspirasi dari kisah nyata yang juga pernah dituliskan oleh David Ebershoff, Julukan The Danish Girl merujuk kepada Lili Elbe,salah satu pasien pertama dalam sejarah, yang mengalami operasi pergantian kelamin.
Bergenre drama, film ini menyoroti perjalanan Lili yang sedang diterpa perhelatan batin dalam menemukan identitas diri yang sebenarnya.
Sinopsis Film The Danish Girl
Pujian bertebaran dari banyak penikmat seni di kota Copenhagen untuk seorang pelukis Mooi Indie bernama Einar Wegener. Dengan rambut klimis dan senyum manis, Einar tak hanya pandai memikat hati banyak orang melalui lukisannya, pembawaannya yang ramah membuat dirinya cukup populer di kalangan seniman.
Nasib tak berpihak sama terhadap sang istri, Gerda Wegener, yang masih kesulitan untuk mencuri perhatian para pecinta seni melalui karya-karyanya. Ulla yang dijadikan Gerda sebagai model di kanvas polosnya tidak dapat hadir kala itu. Alhasil, ia meminta uluran tangan dari suaminya, Einar, untuk menggantikan Ulla.
Gaun cantik dan stocking baru yang seharusnya dipakai oleh Ulla pun dipakai Einar. Merasa canggung, sang istri pun mencoba memanggil suaminya dengan nama lain yaitu Lili Elbe yang kemudian menjadi alter-ego dari Einar.
Pengalaman ini menjadi titik balik bagi Einar, karena identitas yang selama ini terkubur dalam dirinya perlahan menyeruak.
Berawal dari keisengan sang istri, Einar justru merasa nyaman ketika harus berdandan dan berlagak bak seorang wanita.
Gerda yang masih menganggap hal ini sebagai lelucon semata pun mendandani Einar dengan gaun cantik ketika menghadiri suatu pesta malam. Terpana akan kecantikan paripurna Einar, seorang pelukis bernama Hendrik pun terpikat dibuatnya.
Kecewa sekaligus geram sangat mendeskripsikan perasaan Gerda ketika ia memergoki sang suami bermesraan dengan Hendrik. Dihantui oleh kekecewaan, Gerda akhirnya membawa Einar ke seorang psikiater ternama.
Di waktu yang bersamaan, pasangan suami istri tersebut berpindah ke Paris karena karier Gerda yang mulai diakui para seniman. Namun, upaya Gerda untuk ‘menyembuhkan’ suaminya di negeri Menara Eiffel itu pun berakhir kandas.
Einar yang berusaha jujur terhadap krisis identitas yang dialami dirinya serta ketertarikannya terhadap laki-laki masih sulit diterima oleh Gerda. Meskipun begitu, Gerda mencoba untuk membuka pintu hatinya, menemani Einar dalam perjalanan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang merasukinya.
Film The Danish Girl tidak hanya menyoroti kisah Einar dalam mencari identitas dirinya. Hooper, sang sutradara, juga mencoba menangkap sisi lain dari Paris yang masih memiliki stigma negatif terhadap homoseksual dan transgender pada 1920-an.
The Danish Girl berhasil menceritakan kembali ukiran sejarah transgender pertama di dunia dengan pengemasan yang memukau.
Editor: Dipna Videlia Putsanra