tirto.id - Sidang perdana Surya Anta dan lima mahasiswa Papua di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang sedianya digelar Senin (15/12/2019), ditunda. Penundaan diputuskan oleh Ketua Majelis Hakim Agustinus Setyo Wahyu setelah mengetahui kuasa hukum tersangka belum menerima berkas perkara.
"Tolong jaksa dan kuasa hukum berkoordinasi untuk menyelesaikan berkas perkara," kata Agustinus di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (16/12/2019).
"Sidang ditunda sampai Kamis 19 Desember 2019, pukul 10.00 WIB."
Penundaan sidang berawal ketika kuasa hukum tersangka Maruli Rajagukguk protes ke Jaksa Penuntut Umum dari Kepolisian lantaran dia belum menerima salinan berkas dakwaan. Ia pun meminta agar sidang diskors.
"Jangan sampai hak kami terabaikan. Ini ancaman untuk terdakwa sangat serius, 20 tahun sampai seumur hidup. Terdakwa sendiri merasa keberatan. Jangan sampai melemparkan dakwaan tapi terdakwa belum mendapatkan [berkas] dakwaan," ujar Maruli.
Jaksa yang diwakili oleh Abdul Basir mendaku sudah memberikan berkas dakwaan tersebut ke rutan masing-masing. Namun ternyata belum sampai ke tangan terdakwa.
"Surat salinan perkara sudah diserahkan ke rutan masing-masing. Dalam waktu dekat kami akan serahkan kopinya," ujarnya.
Pada hari ini ke-enam tersangka pengibaran Bendera Bintang Kejora, Surya Anta, Charles Kossay, Dano Tabuni, Isay Wenda, Ambrosius Mulait dan Arina Elopere menjalani persidangan dengan agenda pembacaan dakwaan.
Keenamnya disangkakan pasal 106 dan 110. Pasal 106 berbunyi, makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah negara dari yang lain, dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
Sedangkan Pasal 110 berbunyi, permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut pasal 104, 106, 107, dan 108.
Mereka ditangkap beberapa hari setelah berdemonstrasi sembari mengibarkan bendera bintang kejora--simbol kultural orang Papua--di Istana Negara, Jakarta, pada 28 Agustus 2019. Demonstrasi tersebut sebetulnya digelar untuk menentang aksi rasisme, termasuk yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya--yang lantas memicu pula demonstrasi besar-besaran di Papua.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino