Menuju konten utama

Sidang Kesebelas, Ahli Agama Sebut Ahok 'Loncat Pagar'

Saksi ahli agama Islam dari PBNU menilai Ahok sudah loncat pagar. Sebabnya, pidato Ahok di Kepulauan Seribu terkait Al-Maidah 51 tidak berkaitan dengan tujuan utamanya.

Sidang Kesebelas, Ahli Agama Sebut Ahok 'Loncat Pagar'
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (kedua kiri) menghadiri sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (21/12). Sidang lanjutan tersebut beragenda mendengarkan keterangan empat orang saksi yaitu Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ( PBNU) yang juga sebagai Ahli agama Islam KH Miftahul Akhyar, ahli agama Yunahar Ilyas, ahli hukum pidana Majelis Ulama Indonesia (MUI) Abdul Chair dan ahli pidana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Mudzakkir. ANTARA FOTO/Pool/M Agung Rajasa.

tirto.id - Ahli agama dari Pengusus Besar Nahdatul Ulama ( PBNU) menyatakan bahwa pidato Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Kepulauan Seribu sebagai ‘loncat pagar’ atau di luar kapasitas. Hal ini diungkapkan Miftachul Akhyar di Auditorium Kementrian Pertanian pada hari Selasa (21/2/2017).

Menurut Miftachul, apa yang dilakukan Ahok sudah loncat pagar karena ia bukan ahli agama Islam. Selain itu, Miftachul juga menilai bahwa apa yang dilakukan Ahok di Kepulauan Seribu terkait Al-Maidah 51 tidak berhubungan dengan tujuan utamanya, yakni pembudidayaan ikan krapu. Oleh karena itu, Miftachul menilai Ahok sudah berbicara di luar kapasitasnya.

“Sejauh mana boleh tidaknya atau dapat tidaknya seseorang yang bukan beragama Islam menafsirkan Alquran?” tanya ketua Jaksa Penuntut Umum, Ali Mukartono pada Miftachul.

“Jelas tidak boleh, karena bukan ahlinya. Dia [ahli tafsir] harus berhati bersih, adil, jujur, dan tidak ada kepentingan dan [harus memiliki] pemahaman yang mendalam. Ini super hati-hati karena ini firman,” paparnya.

Selain itu ia juga mengatakan bahwa setidaknya ada 15 atau 16 persyaratan dalam menafsirkan Alquran selain hal di atas. Karena itu, Ahok yang beragama Nasrani jelas tidak ada pemahaman untuk menetralkan atau menafsirkan pemahaman yang sudah ada ayat tersebut.

“Kalau disebut menafsirkan ya yang kata membohongi itu, ya arti yang sesat. Ya karena bukan ahlinya, loncat pagar dia,” tegas Miftachul.

Menurutnya, Ahok memakai ayat tersebut dalam rangka kepentingan Pilkada karena ada kata Pilkada dalam video tersebut. Sedangkan perkataan Ahok tentang ‘jangan dibohongi’ disebut sebagai penghinaan terhadap para ulama, karena yang memakai adalah ulama dan para ahli, ataupun umat Islam yang mendengar keterangan dari ulama dan ahli agama.

“Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu, gak bisa pilih saya, ya—karena pake surat Al Maidah surat 51, macam-macam gitu lho,” petikan ucapan Ahok di Kepulauan Seribu 27 September 2016 silam.

Terkait perkataan tersebut, Miftachul berpendapat apabila penyampaian ayat Al-Maidah nomor 51 sudah benar, seharusnya tidak ada yang dibohongi. Dalam ayat itu disebutkan bahwa umat Islam dilarang untuk memilih pemimpin dari agama nasrani atau yahudi, dan menurut Miftachul hal itu sudah benar. Karena itu kata-kata Ahok tentang Al-Maidah 51 dinilai bermasalah.

“Apalagi ada kata-kata jangan percaya. Berarti orang yang sudah percaya, diajak jangan percaya, berarti di situ ada penyesatan,” jelas Miftachul.

“Ya tadi saya katakan kata-kata itu sudah terindikasi penistaan. Kata-kata itu kan cuman sebagai corong hati. Ya kalau orang cuma ngomong ga ada niat itu kan ngelindur namanya. Apalagi di pertengahan dalam penyampian tentang budidaya itu terasa sebagai sesuatu yang penting, begitu,” jelas Miftachul lagi.

Miftachul menuturkan bahwa umat Islam sendiri masih berpegang pada konstitusi. Baginya, bila Ahok tidak menyebut soal Al-Maidah 51, maka situasi Pilkada Jakarta akan berlangsung damai tanpa ada masalah konflik agama.

“Agamamu agamaku. Di dalam Islam ini tidak ada paksaan,kita saling menghormati, jadi akidah masing2, tidak saling intervensi, silakan melakukan itu, tapi di ruang mereka,” terang Miftachul.

Lebih lanjut, Miftachul juga menerangkan bahwa beberapa ulama menganggap awliya (kata yang diterjemahkan sebagai 'pemimpin' dalam ayat Al-Maidah 51) sebagai kata ‘pertemanan’. Bagi Miftachul, pemimpin sendiri sudah lebih lunak dari pertemanan, karena apabila kata awliya dikatakan sebaga pertemanan, maka akan lebih parah.

“Kalau awliya diartikan sebagai teman itu berat sekali, teman saja ga boleh apalagi pemimpin,” pungkas Miftachul.

Ahok sendiri sekarang tengah dikenakan tuduhan dengan dasar pasal 156 dan 156a KUHP dengan hukuman maksimal 5 tahun penjara terkait penodaan terhadap agama.

Baca juga artikel terkait SIDANG AHOK atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Yuliana Ratnasari