Menuju konten utama

Siasat Politik Berbasis Masjid FIS di Aljazair

Dalam sebuah rekaman video, konsultan politik Eep Saefulloh Fatah menunjukkan bagaimana partai FIS di Aljazair menggunakan masjid sebagai tempat menggaungkan seruan politik.

Siasat Politik Berbasis Masjid FIS di Aljazair
Mural FIS (Front Islamique du Salut) disudut kota Aljir, Aljazair pada tahun 1992. FIS merupakan partai politik di Aljazair berideologi Islam. FOTO/AFP

tirto.id - Eep Saefulloh Fatah tidak keliru menyebut contoh pembangunan gerakan politik melalui masjid sebagaimana dilakukan partai Islamis FIS di Aljazair pada akhir 1980an. Bahkan sebetulnya, tidak ada yang mengagetkan dalam resep yang diberikan Eep sebagai konsultan politik.

Terlepas dari benar atau salah, etis atau tidak etis, memicu arus sektarian atau tidak, pengorganisasian massa melalui mesjid telah menjadi taktik utama berbagai kelompok Islamis di berbagai belahan dunia sekurang-kurangnya sejak menjelang Revolusi Iran (1978-1979).

Pada Januari 1992, Presiden Aljazair Chadli Benjedid mengundurkan diri. Militer mengambil alih kekuasaan dan membatalkan hasil pemilu yang dimenangkan oleh FIS (Front Islamique du Salut, Front Keselamatan Islam). Para pemimpin dan anggota kunci partai yang baru berdiri pada 1989 ini segera digiring ke Gurun Sahara dan diinterogasi secara kejam. Sebagian lainnya masuk ke bawah tanah dan mulai mempersiapkan gerilya.

Pemilu multipartai Aljazair yang digelar pertama kali semenjak merdeka dari Perancis (1962) itu mengawali episode panjang perang sipil yang baru berakhir pada akhir dekade 1990an, melibatkan tentara nasional dan sejumlah kelompok gerilya Islamis serta memakan korban 250 ribu penduduk sipil.

Krisis Sosialisme Negara

Pada awal 1970an, banyak pihak memandang Aljazair sebagai salah satu mercusuar sosialisme Dunia Ketiga. Negeri berpenduduk 14 juta jiwa yang terletak di timur Afrika itu merupakan salah satu sekutu utama Soviet di Timur Tengah. FLN (Front Liberation National, Front Pembebasan Nasional) berkuasa sebagai partai tunggal.

Ekonomi dijalankan dengan perencanaan sentralistik tanpa keterlibatan swasta. Industrialisasi mulai dijalankan pada 1966 setelah negara melakukan nasionalisasi berbagai sektor. Proyek industrialisasi besar-besaran itu mencapai impasnya pada pertengahan dan meninggalkan utang luar negeri yang menumpuk. Pada dekade setelahnya, sebagian besar ekonomi Aljazair bertumpu pada minyak. Dengan turunnya harga minyak secara global pada akhir dekade 1990an, ekonomi pun terpukul.

Kelas menegah Aljazair memang tumbuh subur, didukung pesatnya pertumbuhan kampus-kampus selama periode 1960an dan 1970an. Namun, sistem ekonomi yang didominasi elit lama yang berbahasa Perancis dan berafiliasi dengan partai tidak memungkinkan kelas baru ini untuk berkembang dari segi ekonomi. Pada 1980an, pengangguran terdidik membludak di perkotaan. Puncaknya, pada Oktober 1988, kerusuhan pun meletus. Anak-anak muda menguasai jalan-jalan di ibukota Aljir.

Kerusuhan terbesar setelah kemerdekaan Aljazair itu segera meruntuhkan sistem partai tunggal. Dalam waktu kurang dari lima tahun, negara dituntut menyelenggarakan pemilu. Konstitusi baru disusun dan mencantumkan Aljazair sebagai “Negeri Islam”. Sebelum itu, sekalipun Islam disebut dalam konstitusi lama diposisikan sebagai agama negara, baru pada kesempatan inilah kaum agamawan diberikan peluang untuk duduk di pemerintahan.

FIS terbentuk pada 1989. Otak di baliknya adalah Abbassi Madani, seorang Doktor lulusan Departemen Psikologi Universitas London dan Ali Belhadj, seorang guru sekolah dan khatib masjid. Pada pemilu Desember 1991, selain FIS terdapat sejumlah partai Islamis lain seperti Hamas, Al-Nahda, Al-Umma, Jaza'irat al-Muslimat al-Mu'asira, serta Hizb al-Tajdid al-Jaza'iri.

Namun hanya FIS yang merepresentasikan spektrum politik Islamis secara luas. Besarnya kekuatan FIS merefleksikan derajat tekanan negara atas kelompok-kelompok Islam selama bertahun-tahun, kekecewaan massa-rakyat dan segelintir elit bekas FLN terhadap partai yang berkuasa tunggal itu.

Pemilu legislatif pertama dan diikuti 49 partai politik. FIS nyaris memenangkan dua per tiga (47,3 persen) kursi di parlemen. Jika tidak ada intervensi militer, dengan perolehan suara sebanyak itu FIS bisa menggandeng kekuatan-kekuatan Islamis yang lebih kecil untuk mengubah konstitusi Aljazair menjadi negara Islam.

Sampai di sini muncul satu pertanyaan: bagaimana tiba-tiba FIS mencuat sebagai kekuatan politik yang sangat diperhitungkan?

Musim Dingin Pan-Arabisme dan Koneksi Afganistan

Dalam Modernizing Women: Gender and Social Change in the Middle East (1993), Valentine Moghadam menuturkan bahwa platform FIS lebih mengetengahkan isu-isu kebudayaan yang tidak berbeda dengan Revolusi Iran: syariat Islam dan pengaturan peran perempuan. Kampanye kebudayaan ini menarik perhatian konstituen kelas bawah.

Dengan slogan “Membuat orang miskin kaya tanpa memiskinkan orang kaya” program ekonomi FIS sebetulnya tidak cukup terang di tengah utang luar negeri dan IMF. Namun, retorika membuka pasar selebar-lebarnya mendatangkan daya tarik tersendiri untuk kaum pedagang dan kalangan borjuis kecil, yang selama ini terasing dari sentralisme ekonomi negara.

Politik lintas kelas dengan platform ekonomi yang kabur FIS ini merupakan gejala global dan regional dari perubahan lanskap ideologi politik menjelang krisisnya Sosialisme Negara ala Soviet. Narasi bahwa sosialisme merupakan senjata pembebas Dunia Terjajah mulai kehilangan tajinya, terlebih pasca keruntuhan Tembok Berlin.

Bersamaan dengan itu, Pan-Arabisme yang dekat dengan sosialisme Dunia Ketiga pun pelan-pelan kehilangan daya tariknya setelah kematian Nasser di Mesir, meletusnya Revolusi Iran, invasi Soviet ke Afganistan pada 1979, serta mulai menonjolnya peran organisasi-organisasi Islamis seperti Hamas dan Jihad Islam pada Intifada Pertama di Palestina (1987-1993). Islam, sebagai ideologi alternatif di luar demokrasi liberal dan sosialisme, terangkat ke panggung politik dunia melalui peristiwa-peristiwa tersebut.

Perubahan ini bukannya tidak disadari oleh negara. Kate Zebiri dalam “Islamic Revival in Algeria: An Overview” (1993) mencatat bahwa ada awal 1970an, pemerintah Aljazair sebetulnya mulai menekan kelompok-kelompok Islamis (yang terbesar adalah Al-Qiyam) yang menginginkan agar Islam mengambil peranan yang lebih signifikan dalam pengaturan masyarakat.

Pada saat bersamaan, untuk membatasi gerak kelompok-kelompok Islamis, negara mulai mengeluarkan banyak undang-undang yang mengakomodir kepentingan kelompok-kelompok tersebut, misalnya memperbanyak jumlah masjid dan konten agama dalam kurikulum sekolah, penyelenggaraan seminar-seminar internasional tentang keislaman, meningkatkan jumlah acara keagamaan di stasiun TV nasional, serta menggeser akhir pekan ke hari Jumat.

Sebagai perbandingan, kooptasi politik Islam ke dalam pemerintah dan promosi “Islam Negara” juga ditemukan dalam masa pemerintahan Anwar Sadat di Mesir, periode akhir pemerintahan Saddam Hussein di Irak, serta Suharto di Indonesia pada tahun 1990an.

Militansi Islamis di Aljazair pada periode 1980an juga merupakan limpahan dari koneksi Afganistan.

Dalam Jihad: The Trail of Political Islam (2000), Gilles Kepel menurutkan bahwa konflik bersenjata antara Soviet dan Afganistan mendorong ratusan anak muda Aljazair ikut menjalani pelatihan mujahidin di Peshawar, yang berbatasan dengan Afganistan. Sekembalinya dari medan perang, anak-anak muda ini bergabung dalam FIS dan sejumlah kelompok militan lainnya. Posisi pemerintah Aljazair sebagai sekutu Uni Soviet menjadi sasaran empuk kaum Islamis yang mulai mempropagandakan pemerintah sebagai musuh umat.

Infografik Riwayat FIS

Dari Masjid

Lagi-lagi, pengorganisasian massa melalui masjid memegang peranan vital, seperti halnya di Iran menjelang revolusi dan Indonesia pada era 1980an. Peningkatan aktivitas masjid ditandai dengan jumlah bangunan masjid yang melonjak drastis.

J. Landousies dalam “Chretiens et Musulmans en Algerie” (1991) menyuguhkan data pertumbuhan masjid di seantero Aljazair, dari yang awalnya berjumlah 2.000 (1962), ke 5.289 (1980), dan akhirnya 11.221 masjid pada 1990. Jumlah yang sebenarnya bisa lebih besar dari hitung-hitungan resmi pemerintah.

Ada empat kelompok masjid pada waktu itu: masjid rakyat, masjid bebas (yang dikuasasi Islamis), masjid privat (didirikan pengusaha), serta masjid negara. Sejak 1986, mulai memperketat aturan terkait literatur apa saja yang boleh masuk dalam perpustakaan masjid. Pada 1991, kementerian agama negara mengeluarkan peraturan yang memperketat kontrol pemerintah atas pembangunan masjid, pengaturan fungsi masjid, serta siapa saja yang boleh mengurus masjid.

Bersamaan dengan itu, antara 1990-1992, perebutan masjid-masjid rakyat yang oleh para pengikut dan simpatisan FIS dimulai dengan penolakan atas imam serta pengurus masjid yang ditunjuk oleh negara.

Tentu yang perlu diingat pula adalah peran bacaan. Ketika masjid menjadi pusat aktivitas politik, ia diisi oleh literatur-literatur Islamis yang laku pasca-Revolusi Iran, mulai dari karya-karya Sayyid Qutb, Ibn A’la Mawdudi, hingga Ahmed Deedat. Ulama Mesir Yusuf Al-Qaradawi juga tercatat pernah menghabiskan waktu di Aljazair pada tahun-tahun itu.

Kampanye kebudayaan yang sama bisa ditemukan di Indonesia pada tahun 1980an ketika literatur-literatur Islam politik mulai diterjemahkan dan laris. Ditambah lagi dengan kaset-kaset ceramah para ulama, jangkauan massal literatur ini pun akhirnya punya peran menghubungkan masjid dengan rumah tangga, dan menyentuh kaum perempuan yang tidak seaktif laki-laki di Masjid.

Setelah intervensi militer pada 1992, kesuksesan pengorganisasian dari masjid ini lambat laun berakhir dengan digunakannya masjid sebagai pusat aktivitas-aktivitas penopang gerilya Islamis pasca-kudeta militer.

Baca juga artikel terkait MASJID atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Politik
Reporter: Windu Jusuf
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Maulida Sri Handayani