tirto.id - Permaswari Wardani, calon anggota legislatif (caleg) DPRD DKI Jakarta, terdengar tengah mengurus anaknya saat reporter Tirto menghubunginya via telepon, Rabu (6/3/2019) siang. Caleg dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini maju di Dapil 7 Jakarta Selatan yang meliputi Kebayoran, Cilandak, Pesanggrahan, dan Setiabudi.
Permaswari mesti memutar otak untuk berkampanye lantaran minimnya dana yang ia miliki. Di saat caleg lain masih menggunakan baliho besar, ibu tiga anak ini menggunakan cara yang lebih kreatif yakni menggunakan komik untuk kampanye.
"Kebetulan saya juga arsitek lepas. Saya hanya bisa gambar. Jadi saya bikin komik, aja. Kalau pakai komik itu, share kampanye lebih gampang, pakai WA grup atau media sosial. Teman-teman saya juga bisa saling share," kata Permaswari.
Selain ingin mengedepankan kampanye secara visual, Permaswari mengaku cara ini lebih menghemat biaya.
"Kalau hanya tulisan enggak banyak yang baca. Gambar komik, kan, lebih visual. Banyak yang tertarik," ujarnya.
Permaswari menuturkan, dana kampanye selama ini ia sisihkan dari uang bulanan yang ia terima dari suaminya. Untuk tambahan, ia juga membuka jasa di bidang desain arsitektur.
"Caleg, kan, harusnya fokus kampanye, ya. Saya ini sambil cari tambahan dari proyek. Mau gimana lagi namanya enggak siap dana kampanye," kata dia.
Namun proyek tersebut dikerjakan Permaswari bersama teman-temannya, sehingga Permaswari hanya menerima upah bagi hasil.
"Saya enggak punya tabungan khusus buat nyaleg, hanya menyisihkan sedikit-sedikit dari pemberian suami dan proyek desain yang masih saya jalani. Pada masa interview di PSI, saya jujur apa adanya bahwa tidak siap dana kampanye, dan ternyata diloloskan hingga sekarang," ujarnya.
Hingga saat ini, total dana kampanye yang sudah dikeluarkan Permaswari hanya Rp16 juta.
Cerita serupa juga dilakoni Dwi Handoko, caleg DPRD Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Mahalnya biaya kampanye di Indonesia tak membuat tukang sol sepatu ini putus asa.
Caleg Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengklaim belum mengeluarkan uang sepeser pun. Ia mengaku hanya mendapat bantuan stiker dari partai pengusungnya.
"Yang cuma saya lakukan selama ini adalah kampanye di masjid-masjid, tapi bukan dengan khotbah, tapi ikut salat subuh jamaah, saat waktu hening, dan ajak ngobrol para warga," kata Handoko saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (6/3/2019).
Menurut Handoko, cara persuasif seperti itu lebih efektif dan menghemat biaya. Dengan cara ini, Handoko mengatakan bisa lebih dekat dengan masyarakat di daerah pemilihannya sendiri.
Handoko juga memperkenalkan diri kepada pelanggan jasa sol sepatunya. Ia meminta dukungan untuk maju menjadi calon wakil rakyat.
"Lumayan tiap hari kalau ada 2-10 orang yang bisa saya yakinkan," ujarnya.
Penghasilan dari jasa sol sepatu, kata Handoko, hanya cukup untuk menghidupi keluarganya saja. Ia menyadari tak bisa membiayai kampanye dari penghasilannya sehari-hari.
Biaya Politik Mahal
Peneliti CSIS Noory Okthariza membenarkan biaya politik untuk maju sebagai caleg membutuhkan dana yang tidak sedikit. Ia mengatakan salah satu faktornya karena pemilihan legislatif dilakukan serentak dengan pemilihan presiden.
"Masyarakat enggak mau ribet dan akhir lebih condong ke pilpres. Pusat perhatian akan tersedot ke Jokowi-Prabowo," kata Oktha saat dihubungi reporter Tirto.
Kondisi tersebut, menurut Oktha, menuntut para caleg untuk bekerja keras dalam kampanye. "Mereka butuh effort, dan butuh dana lebih besar. Mereka harus mencuri perhatian warga yang sebenarnya sudah ignorance terhadap politik."
Oktha menjelaskan, masyarakat cenderung jenuh terhadap politik karena tiga tahun terakhir dihadapkan dengan pemilu. Kondisi ini membuat para caleg haru keluar tenaga dan uang lebih banyak saat kampanye.
"Tiap tahun bisa dikatakan pasti tahun politik. 2019 ini, 2018 Pilkada, 2017 Pilgub Jakarta yang atmosfernya ke seluruh Indonesia," kata dia.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Gilang Ramadhan