Menuju konten utama

Siapa Romo Franz Magnis Suseno dan Kesaksian di Sidang Bharada E

Profil Romo Franz Magnis Suseno yang jadi saksi meringankan Bharada E.

Siapa Romo Franz Magnis Suseno dan Kesaksian di Sidang Bharada E
Portrait tokoh kebudayaan Franz Magnis Suseno saat ditemui tim Tirto.id di ruangannya sebagai guru besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, Jakarta pada Senin (26/8/19). tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Romo Franz Magnis Suseno menjadi salah satu saksi meringankan untuk terdakwa Bharada E atau Richard Eliezer di sidang pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua alias Brigadir J pada Senin (26/12/2022).

Dalam persidangan kali ini, pihak penasehat hukum Eliezer menghadirkan tiga orang ahli mulai dari ahli filsafat moral, psikolog forensik dan psikolog klinis dewasa.

Tiga orang tersebut adalah Franz Magnis Suseno, guru besar filsafat moral; Lisa Marelly, psikolog klinik dewasa; dan Reza Indragiri Amril, psikolog forensik.

Siapa Romo Franz Magnis Suseno?

Franz Magnis Suseno adalah seorang Romo atau Imam Katolik. Ia memiliki gelar R.P. (Reverendus Pater), gelar resmi bagi seluruh imam Gereja Katolik Roma yang mengucapkan kaul sebagai seorang religius dalam suatu ordo, serikat, tarekat, atau kongregasi yang diakui Gereja.

Reverendus Pater berasal dari Bahasa Latin yang artinya "bapa yang terhormat".

Pria bernama lengkap Maria Franz Ferdinand Graf von Magnis ini lahir pada 26 Mei 1936 di Eckersdorf, Silesia, Jerman (kini Bożków, Nowa Ruda, Polandia).

Selain sebagai imam Katolik, Romo Magnis merupakan pengajar filsafat, dan juga penulis. Magnis merupakan anggota ordo Serikat Yesus (SJ). Ia mulai berkarya di Indonesia sejak 1961 sebagai seorang misionaris.

Pada tahun 1977, ia menjadi warga negara Indonesia. Ia mempelajari filsafat, teologi dan teori politik di Pullach, Yogyakarta, dan Munchen. Romo Magnis mengambil doktorat dalam filsafat 1973 dari Universitas München dan sejak 1969 menjadi dosen tetap dan guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta.

Romo Magnis pernah menjadi pengurus asrama siswa dan guru agama di Kolese Kanisius di Jakarta. Pada tahun 1967 ia ditahbiskan imam oleh Kardinal Justinus Darmojuwono.

Kemudian, pada 1968 ia ditugaskan ikut membangun suatu tempat studi filsafat di Jakarta yang kemudian diberi nama Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (diambil dari nama alm. R.P. Prof. Dr. Nicolaus Drijarkara, SJ).

Sekolah Tinggi itu membuka kuliah pertama kali pada 1969 dengan delapan mahasiswa. Sekarang jumlah mahasiswa hampir 400, baik di tingkat sarjana, magister maupun doktor.

Sejak 1975 ia juga mengajar di Universitas Indonesia dan kemudian selama sembilan tahun di Universitas Katolik Parahyangan di Bandung.

Pada 1977 ia memperoleh kewarganegaraan Indonesia dan sejak itu menamakan diri Franz Magnis-Suseno. Magnis banyak memberi ceramah, muncul dalam talkshows di TV dan aktif dalam dialog antar agama.

Sampai sekarang ia telah menulis lebih dari 700 karangan populer maupun ilmiah serta 44 buku, kebanyakan dalam bahasa Indonesia. Ia menulis di bidang etika, filsafat politik, budaya Jawa, dan filsafat ketuhanan.

Kesaksian Romo Magnis di Sidang Bharada E

Dalam kesaksiannya, Franz Magnis Suseno melihat adanya dilema moral yang dialami Richard Eliezer saat akan menembak rekan kerjanya, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.

Dilema moral itu, menurut Franz Magnis disebabkan adanya tekanan dari atasannya yaitu eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo.

"Suara hati [Eliezer] mengatakan apa pada saat itu, bisa saja dia bingung karena berhadapan dengan dua norma, yang satu mengatakan menembak mati orang tidak bisa dibenarkan, titik. Yang kedua dia juga diberi perintah oleh orang yang berhak memberi perintah yang wajib ditaati supaya melakukannya, lalu dia harus mengikuti yang mana," kata Franz Magnis dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (26/12/2022).

Romo Magnis mengatakan bahwa dilema moral tidak hanya disebabkan perbedaan pangkat yang jauh dengan pemberi perintah, melainkan juga keterikatan dengan norma institusi seperti kepolisian yang mewajibkan untuk menaati instruksi atasan.

"Bagaimana kalau misalnya perintah diberikan dalam rangka militer dalam operasi militer atau dalam rangka kepolisian atau Brimob kalau mau di dalam situasi itu melaksanakan perintah adalah budaya yang ditanamkan di dalam orang-orangnya (yang tergabung dalam institusi tersebut). Kita di Indonesia tahu sering pakai istilah 'laksanakan', atau 'siap'," kata Romo Magnis.

Melihat kondisi tersebut, Romo Magnis berpendapat bahwa pelaksanaan perintah yang demikian dapat mengurangi kebersalahan jika ditinjau dari kaca mata etika.

"Itu tidak berarti sama sekali tidak ada kesalahan, tetapi itu jelas menurut etika sangat mengurangi kebersalahan, saya berpendapat tentu orang mestinya tahu tidak bisa (membunuh orang) tetapi situasi bingung dalam budaya perintah laksanakan (di institusi Polri), berhadapan dengan atasan yang sangat tinggi, mungkin ditakuti," kata Romo Magnis.

Baca juga artikel terkait AKTUAL DAN TREN atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Iswara N Raditya