tirto.id - Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) memicu penolakan banyak pihak, mulai dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), GP Ansor, hingga para purnawirawan. Tudingan mereka terhadap peraturan ini beragam, dari mulai yang spekulatif seperti membangkitkan komunisme, hingga dianggap terlalu sekuler atau bahkan tidak ada urgensinya sama sekali.
Lalu bagaimana asal usul rancangan peraturan yang muncul pada masa pandemi ini? Siapa yang mengusulkannya?
Kepada wartawan Tirto, Senin (15/6/2020) pagi, Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian Dewan Inosentius Samsul mengatakan RUU tersebut merupakan usulan Badan Legislasi DPR RI. "Naskah akademik dan draf pun Baleg yang bikin," katanya. "Kebetulan di Baleg tenaga ahli cukup banyak, sehingga sebagian besar RUU itu dikerjakan oleh pihak Baleg, termasuk RUU HIP."
Ini unik karena biasanya BKD bertugas membuat Naskah Akademik dan draf RUU sesuai arahan Alat Kelengkapan Dewan (AKD).
Inosentius tak mau banyak berkomentar perkara kritik-kritik publik karena "BKD enggak buat naskah akademiknya... kami enggak ikut." Ia juga menegaskan kalau BKD "hanya ikut terlibat saja, hanya menugaskan orang saja."
Merujuk laman resmi DPR, RUU HIP setidaknya sudah dibahas tujuh kali. Satu rapat tak jelas dihadiri oleh siapa dan apa pembahasannya walaupun bersifat terbuka; sedangkan dua rapat bersifat tertutup.
Dua rapat perdana, 11-12 Februari 2020, adalah rapat dengar pendapat umum yang dilaksanakan Baleg dengan mengundang para pakar. Kedua rapat tersebut dipimpin langsung oleh Wakil Ketua Baleg DPR RI Fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka.
Pada 11 Februari, rapat mengundang Jimly Asshiddiqie dan Adji Samekto. Dalam rapat itu Jimly mengatakan ia menyambut positif peraturan ini, tetapi meminta agar isinya tidak terlalu detail atau konkret. Dengan kata lain, multitafsir.
Rapat pada 12 Februari agendanya paparan dari tim ahli. Tak dijelaskan bagaimana isi paparan itu dan siapa saja tim ahli yang ikut membentuk Naskah Akademik dan draf RUU.
Mulai 8 April 2020, rapat RUU HIP sudah menggunakan nama Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU HIP. Itu artinya Panja sudah terbentuk dan diketahui langsung oleh Rieke Diah Pitaloka--kader PDIP. Hal tersebut juga sudah dikonfirmasi oleh Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Atgas.
Dua rapat berikutnya, 13 dan 20 April 2020, berjalan tertutup. Publik tak bisa memantau pembahasan dan tak ada kesimpulan isi rapat yang bisa diakses. Hanya ada informasi kalau dua rapat itu dipimpin oleh Rieke.
Dua hari setelahnya, 22 April 2020, Baleg mengadakan rapat dalam rangka Pengambilan Keputusan Fraksi atas RUU itu. Lagi-lagi dipimpin oleh Rieke. Hampir semua fraksi setuju. Hanya PKS yang menolak karena RUU ini tak mengakomodasi TAP MPRS tentang pelarangan komunisme.
"FPKS menyatakan dapat menerima hasil kerja Panja dan menyetujui RUU tersebut setelah dilakukan penyempurnaan kembali," tertulis dalam kesimpulan rapat.
Pada 12 Mei, DPR RI resmi menetapkan RUU itu menjadi inisiatif DPR dan menunggu surpres persetujuan Presiden Joko Widodo untuk pembahasan selanjutnya.
Apa Tujuan RUU HIP?
Tujuan utama perumusan RUU HIP masih belum jelas. Problem lainnya adalah redaksional pasal-pasal yang sangat normatif dan multitafsir.
Ketua Panja RUU HIP Rieke Diah Pitaloka enggan menjawab ketika ditanya tujuan utama perumusan RUU HIP itu. Ia melemparkan soal ini ke Ahmad Basarah, kader PDIP yang ditunjuk sebagai juru bicara partai khusus RUU ini. "Dari PDIP, jubirnya Mas Basarah," kata Rieke, Senin siang.
Hingga Senin sore, tak ada jawaban apa pun dari Basarah ke wartawan Tirto. Pesan singkat Whatsapp tak dibalas dan nomornya tak aktif ketika ditelepon.
Basarah pernah menjadi Wakil Sekretaris Jenderal PDIP. Saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua MPR RI Fraksi PDIP. Di dalam Naskah Akademik yang wartawan Tirto terima, bahkan salah satu buku karangan Basarah, Bung Karno, Islam dan Pancasila (2017), banyak dikutip menjadi catatan kaki.
Di dalam Naskah Akademik itu dijelaskan kalau RUU HIP dibuat "sebagai pedoman bagi Penyelenggara Negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila." (Hal. 59). RUU HIP juga dianggap layak dirancang karena "hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum yang mengatur Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara." (Hal. 96).
RUU HIP Tak Penting
Selain banyak ditentang ormas Islam, banyak akademisi mengkritisi rancangan peraturan tersebut terutama terkait hal-hal substantif.
Pengajar hukum tata negara di Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti mengatakan RUU HIP banyak mengandung pasal-pasal yang tidak lazim, yaitu hanya bersifat pernyataan, definisi, hingga political statement.
"Norma hukum biasanya mengatur perilaku dan juga kelembagaan. Di dalam UU, ada pasal 'siapa melakukan apa' dan bukan pernyataan-pernyataan. Memang biasanya ada pasal definisi dan asas, namun setelahnya ada pasal-pasal mengatur perilaku. Ini tidak lazim," kata Bivitri dalam sebuah seminar daring, 8 Juni lalu.
Ia juga mengatakan kalau RUU ini tidak mendesak. "Pancasila tentu amat sangat penting, tapi masalah riil yang kita hadapi adalah pandemi COVID-19."
Ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar juga mempermasalahkan isi RUU itu. Ia menilai banyak pasal yang isinya multitafsir dan akhirnya mubazir. "Misalnya pasal tujuh yang menjelaskan Pancasila bisa diperas jadi tiga sila dan diperas lagi jadi satu sila, yakni gotong royong. Buat apa isi pidato Sukarno dijadikan bunyi pasal?" katanya saat dihubungi wartawan Tirto, Senin siang.
Zainal juga menyoroti bagian pendirian Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang menurutnya sama seperti Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) di era Soeharto. "Kalaupun Jokowi dianggap orang baik, siapa yang menjamin Pancasila enggak akan dimonopoli sama presiden selanjutnya? Tafsiran pembina utama kalau di tangan presiden macam Soeharto bisa jadi alat macam-macam."
Oleh karena itu, dirangkum Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, RUU HIP tak mendesak sama sekali.
"Ini berpotensi mengendalikan hak kebebasan berekspresi. Persis seperti Orba. Karena terlihat sekali ada upaya memonopoli tafsir Pancasila," katanya kepada wartawan Tirto, Senin siang.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino