Menuju konten utama
Obituari

Shintar Ishihara, Ia yang Penuh Ujaran Kebencian dan Permusuhan

Politikus ultranasionalis yang pernah menjabat Gubernur Tokyo, Shintarō Ishihara, meninggal dunia. Semasa hidupnya ia begitu lekat dengan kontroversi.

Shintar Ishihara, Ia yang Penuh Ujaran Kebencian dan Permusuhan
Gubernur Tokyo Shintaro Ishihara, ketua Dewan Tokyo 2020, berbicara dalam konferensi pers di Tokyo Kamis, 24 Mei 2012, setelah mengetahui ibu kota Jepang terpilih di antara tiga finalis dalam pengumuman kota calon Olimpiade dan Paralimpiade 2020 di Quebec Kota, Kanada. (AP Photo/Koji Sasahara)

tirto.id - Jepang baru saja kehilangan figur yang pernah cukup populer, Shintarō Ishihara. Politikus nasionalis yang menjabat Gubernur Tokyo sejak 1999 sampai 2012 ini meninggal dunia di usia 89 pada awal Februari silam.

Ishihara kerap disorot publik gara-gara tindakan atau ujarannya yang provokatif dan ceplas-ceplos, bernuansa kebencian sampai xenofobia. Ishihara tahu betul bahwa ia memang kerap bikin sensasi dan tak berniat berubah. “Sampai akhir hayat, saya akan ucapkan dan lakukan apa saja yang saya mau,” katanya saat pensiun dari politik pada 2014 lalu.

Lebih dari itu, ia juga mengatakan “ingin mati dibenci orang.

Ishihara lahir di kota pelabuhan Kobe pada 1932. Ia tumbuh dewasa menyaksikan Jepang bangkit dari keterpurukan Perang Dunia II sekaligus merasakan hidup di bawah pendudukan militer asing yang dipimpin Amerika Serikat (1945-1952). Tapi ia tidak seperti warga lain yang patuh membungkuk hormat kepada mereka. Hal ini membuatnya dirumorkan pernah punya pengalaman buruk dengan prajurit AS. Ishihara dikisahkan tetap berlenggang santai makan es krim saat serdadu lewat. Tentara yang kesal mengerjainya hingga terjatuh lantas mengambil es krimnya.

Ishihara pertama-tama tidak mendulang pamor di dunia politik. Ia meraih popularitas sebagai penulis novel dan sempat berkiprah di dunia perfilman.

Menjelang lulus dari universitas pada 1955 atau saat berusia 23, Ishihara merilis novel berjudul Taiyō no kisetsu yang menceritakan kultur pemberontakan pemuda Jepang pascaperang yang sarat unsur seks dan kekerasan. Novel ini membuatnya jadi salah satu pemenang termuda penghargaan sastra bergengsi Akutagawa.

Ishihara kemudian menekuni dunia tersebut, menerbitkan banyak buku, cerpen, dan esai. Karya-karyanya kerap diangkat jadi film atau serial televisi. Beberapa kali ia ikut menulis skenario, tampil langsung di layar kaca, atau menjadi produser.

Adik laki-laki Ishihara, Yujiro, meniti karier sebagai aktor dengan memerankan tokoh-tokoh dalam cerita rekaan abangnya.

Di puncak ketenaran, Ishihara dikirim oleh jaringan koran terbesar Jepang, Yomiuri Shimbun, untuk meliput gencatan senjata Perang Vietnam menjelang Natal 1966. Selama satu bulan, Ishihara juga berdialog dengan masyarakat di ibu kota Vietnam Selatan, Saigon. Ia terkesan dengan warga setempat yang terdidik dan intelektual, namun mengaku sudah lelah dengan perang sampai tampak tak lagi peduli dengan masa depan bangsanya.

Pertemuan tersebut mengingatkan Ishihara pada “sikap politik di kalangan yang disebut-sebut sebagai kaum intelektual di Jepang.” Ia mulai khawatir bahwa “suatu hari nanti, tanah air Jepang juga akan tergerus dan runtuh oleh sistem liberal.”

Pulang dari Vietnam, Ishihara jatuh sakit karena hepatitis. Ia sempat mendapat dukungan dari kolega sastrawan, aktor, dan pemimpin gerakan milisi nasionalis garis keras Yukio Mishima agar memanfaatkan waktu istirahat untuk berpikir ulang tentang dunia. Di momen inilah Ishihara merefleksikan pengalamannya di Vietnam dan menjadi titik tolak untuk mulai mengekspresikan diri lewat aktivitas politik.

Terjun ke Politik

Pada musim panas 1968, Ishihara berhasil duduk di parlemen sebagai anggota sangi in atau Majelis Tinggi dengan perolehan suara terbanyak, 3 juta. Ia mendapat dukungan partai berhaluan konservatif, Partai Demokrat Liberal (LDP). Tak lama kemudian Ishihara maju dan terpilih sebagai anggota Majelis Rendah atau DPR.

Kala itu Ishihara vokal menentang normalisasi hubungan diplomatik antara Jepang dan Republik Rakyat Cina, yang resmi terjalin sejak 1972. Bersama segelintir politikus LDP, Ishihara mendirikan Seireikai, grup sayap kanan yang mewadahi ide-ide dan kebijakan antikomunis, yang manifestonya harus ditandatangani dengan darah—sekilas mengingatkan pada ritual kaum samurai. Di forum tersebut, Ishihara gencar mendorong Jepang agar lebih dekat dengan diktator Korea Selatan Park Chung-hee dan rezim nasionalis Chiang Kai-shek di Taiwan.

Kontroversinya yang lain adalah terang-terangan menganggap kejahatan perang oleh militer Jepang di Nanking, Cina pada 1937 sebagai hoaks. “Orang-orang bilang bahwa Jepang sudah melakukan Holocaust, tapi itu tidak benar. Itu cuma cerita buatan orang Cina. Hal yang sudah menodai citra Jepang, tapi tetap saja kebohongan," ujarnya saat diwawancarai majalah Playboy pada 1990.

Selain aktif di DPR, Ishihara juga pernah diminta menakhodai Departemen Lingkungan di bawah administrasi Perdana Menteri Takeo Fukuda. Salah satu tugasnya adalah menghadapi tuntutan kompensasi dari warga yang keracunan merkuri dalam insiden Minamata. Alih-alih meresponsnya baik-baik, ia justru menyebut mereka “pasien palsu,” “orang-orang ber-IQ rendah,” dan “kurang punya motivasi bekerja.” Tentu ia diprotes dan pada 1977 bersujud meminta maaf di hadapan korban yang sakit parah.

Ishihara sempat menjabat sebentar jadi Menteri Transportasi di kabinet PM Noboru Takeshita pada 1987, lalu kembali ke kursi DPR sembari melanjutkan aktivitas menulis. Pada 1989, bersama bos perusahaan elektronik Sony, Akio Morita, Ishihara menerbitkan kumpulan esai yang berangkat dari pidato-pidato lama berjudul No” to ieru Nihon (Jepang yang Tidak Bisa Bilang “Tidak”).

Karya ini diterbitkan ketika muncul gesekan dengan AS seiring ekonomi dan industri Jepang berkembang pesat. Di mata Ishihara, Jepang sudah jadi mitra yang lembek alias terlalu bergantung pada AS. Menurutnya, bangsa Jepang lebih unggul—baik di kualitas pendidikan dan pekerja sampai komoditas komersialnya—daripada orang-orang Amerika. Ishihara bahkan mengklaim Jepang mampu memproduksi dan menjual semikonduktor untuk kepentingan rudal nuklir Uni Soviet.

Ishihara bahkan menarik jauh relasi Jepang-AS dengan menariknya ke Perang Dunia II. Menurutnya AS sudah bertindak rasis karena memilih mengebom dengan atom Hiroshima dan Nagasaki alih-alih kota-kota di Jerman.

Jadi Gubernur Tokyo

Ishihara memutuskan pensiun sebagai anggota dewan pada 1995. Empat tahun kemudian, kala berusia 67, ia maju dalam Pemilu Gubernur Tokyo sebagai calon independen dan terpilih. Jabatan tersebut berhasil dipertahankan sampai 2012 atau saat usianya 80 tahun. Suara yang menyokongnya di setiap periode selalu jauh di atas lawan politik (maksimum pernah dapat 70 persen suara).

Salah satu kebijakannya selama memimpin kota terpadat di Jepang tersebut adalah menambah pemasukan seperti dengan menarik pajak baru untuk hotel dan bank, juga menyewakan dan menjual properti pemerintah. Ia menuai pujian karena kebijakan prolingkungan seperti pembatasan kendaraan berbahan bakar diesel.

Ishihara juga memprakarsai berdirinya bank milik pemerintah kota, ShinGinko Tokyo, untuk menyalurkan kredit UMKM. Sayangnya ShinGinko sempat bangkrut. Polisi Tokyo memperkirakan sepuluh persen pinjaman macet di sana melibatkan pihak-pihak dalam kelompok kejahatan terorganisasi seperti Yakuza.

Seperti saat menjadi anggota dewan, kontroversi tetap menjadi nama tengah sang gubernur. Tahun 2000, misalnya, Ishihara menyambut hari peringatan Pasukan Bela Diri Jepang (Self-Defense Force) dengan berpidato, “Sankokujin dan orang asing sudah berkali-kali melakukan kejahatan kejam sehingga kita perlu bersiap-siap menghadapi kemungkinan kerusuhan yang mereka picu ketika terjadi bencana gempa bumi.” Sankokujin—orang dari dunia ketiga—adalah sebutan beraroma rasialis untuk orang-orang asal Korea, Cina, Taiwan yang menetap untuk bekerja di Jepang jauh sebelum Perang Dunia II meletus.

Ucapan Ishihara mengingatkan pada pandangan ngawur yang melatarbelakangi pembantaian enam ribu warga Korea yang dituduh sebagai biang kerusuhan setelah gempa besar melanda Kantō oleh orang-orang Jepang pada 1923.

Ishihara juga dikenal seksis. Pada 2001, dia mengutip pandangan profesor asal Universitas Tokyo, Takafumi Matsui, dengan menyatakan perempuan menopause “tidak berguna” lagi karena sudah tidak punya fungsi reproduktif (termasuk melahirkan anak sebagai calon tenaga kerja). Ia juga mengaku setuju pada ucapan Matsui yang menyamakan perempuan dengan binatang dan perempuan tua sebagai beban.

Kendati demikian, Matsui—disokong oleh organisasi perempuan—mengelak pernah berpandangan demikian dan menyebut semuanya bualan Ishihara. Dalam surat terbuka yang ditandatangani 400-an perempuan, Ishihara diminta untuk minta maaf.

Ishihara pun terang berpandangan anti-LGBT dengan menyebut kaum homoseksual “abnormal”.

Pandangannya pun remeh terkait jugun ianfu atau budak seks perempuan di koloni Jepang. Dilansir dari Korean Herald, pada 2012 silam Ishihara mengklaim tidak ada bukti bahwa perempuan Cina dan Korea dipaksa menyediakan layanan seks kepada tentara Jepang selama era perang. Menurutnya, “prostitusi adalah cari yang sangat baik untuk mencari penghidupan bagi perempuan kala itu dan mereka memilih perdagangan [seks] tanpa merasa enggan.” Atas dasar itu Ishihara menganggap pemerintah Jepang tak perlu meminta maaf atas episode kelam tersebut.

Bahkan Ishihara menjustifikasi aneksasi Korea ke dalam teritori Jepang (1910-1945) dengan menyebut rakyat Korea sendiri yang memilih bergabung dengan Jepang karena adanya ekspansi Dinasti Qing dan Kekaisaran Rusia.

Ishihara termasuk pejabat yang rutin berkunjung ke Kuil Yasukuni, tempat mendoakan arwah serdadu Jepang dan para kriminal Perang Dunia II. Aksi ini dianggap mencerminkan ketidakpekaannya terhadap penderitaan yang pernah dialami para subyek koloni Jepang. Karena itu pula setiap kali figur politik Jepang berkunjung ke Yasukuni, selalu muncul protes dari masyarakat Korea dan Cina.

Namun demikian ia justru berharap Kaisar dan Perdana Menteri ikut melakukan ritual tersebut (Kaisar terakhir yang pernah mengunjungi Yasukuni adalah Hirohito pada 1975, sedangkan PM Shinzo Abe terakhir melakukannya pada 2013).

Pandangan Ishihara terhadap negara-negara jiran juga penuh kecurigaan dan permusuhan. Tahun 2011, ia pernah mengutarakan pentingnya Jepang mengembangkan senjata nuklir untuk menghadapi “musuh-musuh” di sekeliling mereka: Cina, Korea Utara, dan Rusia.

Ishihara berkali-kali menyebut Shina—bahasa Jepang untuk sebutan negara Cina—yang bernuansa merendahkan dan lekat asosiasinya dengan era kolonial alih-alih Chūgoku. Pada 2014, Ishihara bahkan mengaku ingin “melawan dan menang dalam perang dengan Cina” apabila dirinya dapat kesempatan jadi perdana menteri.

Saat gempa bumi dan tsunami melanda Tōhoku pada 2011, ia mengatakan bencana tersebut adalah “hukuman ilahi” atas sifat “rakus” masyarakat Jepang.

Setahun kemudian, pada April 2012, ia menyulut eskalasi konflik diplomatik dengan menggalang donasi sampai ratusan miliar agar pemerintah metropolitan Tokyo dapat membeli Kepulauan Senkaku/ Diaoyu yang kepemilikannya disengketakan dengan otoritas Cina.

Ia ingin Jepang menguasai Kepulauan Senkaku/Diaoyu yang dimiliki secara pribadi oleh satu keluarga Jepang dan membangun galangan kapal di sana, padahal daerah tersebut terletak nun jauh dari ibu kota—persisnya di Laut Cina Timur, dekat dengan Okinawa. Ishihara berwacana pembelian akan menggunakan uang sumbangan publik.

Rencana itu mengundang protes anti-Jepang di Cina dan patroli kapal Cina di sekitar perairan Jepang. Pemerintah pusat di bawah administrasi PM Yoshihiko Noda khawatir rencana Ishihara bisa memicu masalah lebih besar. Maka dari itu, PM Noda turun tangan dengan menasionalisasi Senkaku pada September.

Infografik Shintaro Ishihara

Infografik Shintaro Ishihara. tirto.id/Fuad

Pada Oktober 2012, Ishihara akhirnya mengundurkan diri dari jabatan gubernur dan memutuskan kembali jadi anggota DPR. Meski usianya sudah 80, ia masih semangat mendirikan partai baru bernama Partai Matahari Terbit. Partai ini lantas dileburkan dengan Partai Restorasi Jepang—cikal bakal Nippon Ishin no Kai, partai konservatif berhaluan kanan yang segelintir perwakilannya duduk di parlemen pada hari ini.

Jejak Ishihara dalam spektrum politik sayap kanan juga terdapat di Nippon Kaigi, grup ultranasionalis terbesar di Jepang sejak 1997 yang bercita-cita “merestorasi Jepang yang indah dan membangun bangsa yang membanggakan.” Grup ini mengadvokasi kebijakan-kebijakan untuk mendorong Jepang kembali jadi bangsa yang berorientasi pada Kaisar. Caranya tak lain dengan melakukan revisi pada Konstitusi sampai reformasi pendidikan lewat buku-buku teks yang isinya mendistorsi sejarah tentang agresi dan kejahatan perang oleh militer Jepang.

Satu dekade silam, Ishihara menekankan patriotismenya dengan berkata, “Saya tidak mau mati sampai Jepang—yang sudah dibodohi Cina dan digoda layaknya gundik oleh AS—mampu berdiri lagi sebagai bangsa yang lebih kuat, lebih indah.”

Ketika Ishihara tutup usia, dunia pers Jepang yang relatif konservatif memberitakannya sebagai “tragedi nasional”, tulis jurnalis Jake Adelstein di Asia Times. Koran berhaluan tengah-kanan Yomiuri Shimbun menutupi kegagalan dan riwayat ujaran kebenciannya. Adelstein juga mengamati kebanyakan koran besar menyanjung kariernya di dunia sastra dan menonjolkan “semangat keberanian”-nya, sementara stasiun televisi kurang berani menyinggung kesalahan-kesalahannya saat menjadi pejabat pemerintahan.

Baca juga artikel terkait JEPANG atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino