tirto.id - Jika pendakian berjalan lancar, Kami Rita Sherpa tidak hanya akan berdiri di puncak Gunung Everest; ia juga akan berdiri, seorang diri, di puncak daftar orang-orang yang paling sering mencapai puncak gunung tertinggi di dunia itu.
Rekor keberhasilan mencapai puncak Everest saat ini dipegang tiga orang: Apa Sherpa, Phurba Tashi Sherpa, dan Kami Rita. Kami Rita baru bergabung di kelompok elite ini pada 27 Mei tahun lalu, saat ia menyelesaikan pendakiannya yang ke-21 pada pukul 08.15 waktu setempat.
Sementara Apa dan Phurba Tashi telah pensiun dari profesinya sebagai pemandu pendakian Everest, Kami Rita yang kini berusia 48 tahun akan memulai perjalanan terbarunya pada Minggu (8/4) nanti. Kami Rita, yang bekerja untuk Alpine Ascents, akan memimpin sebuah tim beranggotakan 29 pendaki dari seluruh dunia.
“Saya kembali berusaha untuk mencetak sejarah dan membuat seluruh komunitas Sherpa dan negara saya bangga,” ujar Kami Rita.
Kami Rita pertama kali mencapai puncak Everest pada 1994 dan ia tak akan berhenti dalam waktu dekat. Menjadi orang pertama yang mencapai puncak Everest sebanyak 22 kali tak akan membuatnya puas, karena targetnya adalah 25 kali berdiri di ketinggian 8.848 meter.
Menceburkan Diri ke Sungai Uang
Sebelum terjadi pergeseran makna, kata Sherpa hanya memiliki satu arti: orang-orang dari Timur. Dalam Through A Sherpa Window: Illustrated Guide to Traditional Sherpa Culture (2008), dijelaskan bahwa kata Sherpa berasal dari bahasa mereka, shar berarti timur, dan wa berarti orang. Ini merujuk pada daerah asal mereka, yakni timur laut Tibet.
Suku Sherpa adalah sekelompok orang yang bermigrasi ke Nepal dari Tibet Timur pada abad ke-13 dan ke-14. Adalah industri pariwisata Everest yang membuat kata sherpa (dengan s kecil, untuk membedakan) sinonim dengan porter. Pergeseran makna Sherpa benar-benar terjadi karena perkembangan industri pariwisata Everest karena bagi orang-orang Sherpa, gunung tertinggi dunia itu adalah tempat suci. Chomolungma—Gunung Dewi Ibu—ada untuk dihormati dari jauh, bukan untuk ditaklukkan.
Namun pada akhirnya, mereka yang tinggal di sekitar Everest tak punya pilihan selain ikut mendaki. Aaron Huey, fotografer National Geographic yang mendokumentasikan kehidupan Suku Sherpa, berujar: “Mereka sebenarnya tidak ingin melakukan pekerjaan ini. Mereka melakukannya karena ada sungai uang yang mengalir lewat desa mereka dan satu-satunya cara untuk mendapatkannya adalah dengan menceburkan diri dan ikut hanyut sampai Everest.”
Mereka yang menjalani profesi sherpa melakukannya untuk uang—untuk menjaga dapur tetap ngebul dan untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke Kathmandu atau ke tempat yang lebih jauh, agar mereka tak perlu menjadi sherpa seperti orang tuanya.
Manusia Super Nan Efisien
Tugas seorang sherpa, tentu saja, bukan hanya membawakan barang-barang para pendaki yang menyewa jasa mereka. Lebih dari itu, seorang sherpa bertindak sebagai pemandu dan pemimpin ekspedisi yang multifungsi: mendirikan kemah, memastikan keamanan rute pendakian, memasang tali-temali, sampai berlari mendahului regu agar teh panas tersedia tepat ketika para pendaki tiba di pos pemberhentian.
Dalam perkembangan industri pendakian Everest, pemimpin regu tak selalu seorang Sherpa. Orang Barat yang cukup berpengalaman bisa bertindak sebagai sherpa, namun di bidang ini, tidak ada suku yang lebih cocok ketimbang Suku Sherpa sendiri. Ribuan tahun hidup di dataran tinggi Himalaya membuat Suku Sherpa menjadi manusia super yang bisa dengan mudah mengatasi segala kesulitan bertahan hidup di wilayah dengan kadar oksigen rendah.
Denny Levett, salah satu pendiri Xtreme Everest, organisasi kesehatan yang berhubungan dengan pendakian, mengatakan bahwa ia ingat betapa perkasanya kaum sherpa.
"Dari puncak lalu turun ke ketinggian 2.000 meter, mereka melakukannya hanya dalam waktu dua jam, padahal tim kami, paling banter bisa melakukannya dalam setengah hari lebih," kata Levett. "Bahkan si sherpa itu sempat ngaso untuk minum teh."
Levett dan timnya pula yang membuat penelitian bertajuk Xtreme Everest 2, sebuah penelitian ilmiah yang mencari tahu tentang ketahanan manusia di ketinggian. Penelitian yang dilakukan pada 2013 ini dilakukan pada 180 relawan, 116 dari daerah rendah, dan 64 lainnya adalah kaum Sherpa.
Hasilnya, ternyata mitokondria --sel mahluk hidup yang tempat berfungsinya fungsi pernapasan dan sekaligus menghasilkan energi-- kaum sherpa ternyata lebih efisien dalam menggunakan oksigen. Bagi orang normal di ketinggian, darah mengalir lebih pelan. Pada kaum Sherpa, aliran darah mereka tetap lancar.
"Mitokondria sherpa seperti mobil yang super efisien dalam bahan bakar. Jadi mereka bisa dapat energi lebih banyak dengan oksigen yang lebih sedikit," ujar Levett.
Namun bahkan dengan keunggulan itu, tidak semua orang Sherpa bisa mencapai puncak Everest. Semakin tinggi titik pendakiannya, semakin berat pekerjaan yang harus dilakukan dan semakin besar risiko kematiannya.
Risiko kematian Sherpa yang bekerja di atas Base Camp Everest jauh lebih tinggi ketimbang nelayan dan tentara AS dalam empat tahun pertama Perang Irak—menjadikan sherpa pekerjaan nonmiliter paling berbahaya di dunia. Hingga 2014 saja, 174 orang Sherpa meninggal dalam pendakian.
“Sebagai statistik keamanan kerja, 1,2 persen kematian itu parah sekali,” tulis Grayson Schaffer, editor majalah Outside. “Tidak ada industri jasa lain di dunia yang lebih sering membunuh dan mencederai pekerjanya demi klien.”
Sementara itu Jon Krakauer, penulis buku Into Thin Air, menulis di New Yorker: “Sherpa melakukan semua pekerjaan berat di Everest—secara harfiah dan sebagai kiasan—dan karenanya meringankan risiko para pemandu dan anggota regu Barat, yang ranselnya jarang sekali berisi lebih dari botol minum, sebuah kamera, jaket tambahan, dan makan siang.”
Memimpin pendakian Everest berarti menghadapi kematian. Kami Rita Sherpa sudah 21 kali selamat dari maut, dan ia masih ingin menantangnya beberapa kali lagi.
Penulis: Taufiq Nur Shiddiq
Editor: Nuran Wibisono