Menuju konten utama

Setelah Vans Tak Ada lagi

Tutupnya beberapa toko resmi vans di Jakarta membuat penggemarnya memutar otak.

Ilustrasi kotak sepatu Vans. FOTO/Getty Images

tirto.id - Pada 16 Februari tahun lalu, penyanyi rap Allan Kingdom tampil beda saat menghadiri malam penganugerahan Grammy Awards. Tamu lain terlihat mentereng dengan pakaian dari desainer terkenal dan jelas mahal, seperti Chanel atau Gucci. Kingdom, sementara rapper berusia 22 tahun itu menggunakan setelan dari Joseph Abbiud dengan kemeja Avion Clothiers. Saat penyanyi atau pesohor lain menggunakan necis, Kingdom menggunakan sepasang sneaker Vans Sk8-Hi.

“Aku tak mau menggunakan sepatu pesta untuk datang ke Grammy,” katanya. “Aku ingin menggunakan sneaker, sesuatu yang santai untuk menjelaskan kepribadianku,” kata Kingdom.

Kisah Kingdom dan sepatu Vans yang ia pakai, ditulis oleh Karizza Sanchez sebagai ode untuk Vans, merek sepatu yang sangat akrab dengan sub kultur punk dan skateboard.

Di Indonesia Vans memiliki penggemarnya sendiri. Toko resmi mereka pertama kali buka pada 2013. Empat tahun kemudian, pemilik lisensi mereka PT Gagan Indonesia menerima status pailit dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Status pailit ini diterima usai mereka gagal berdamai dengan para krediturnya dalam proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), seperti yang dikutip via Kontan.

Gagalnya perdamaian yang berujung pada kepailitan mereka didasari lantaran mayoritas kreditur Gagan Indonesia menolak proposal perdamaian. Berdasarkan hasil pemungutan proposal perdamaian yang dilaksanakan Selasa (23/5) lalu, 86,11% para kreditur yang mewakili tagihan Rp273,96 miliar tidak menyetujui proposal. Sementara 13,88% menyetujui poposal. Ketua majelis hakim PN Jakpus Endah Detty Pertiwi mengatakan, pemungutan suara itu tidak memenuhi Pasal 281 ayat 1 UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU.

Kreditur juga menilai penawaran Gagan Indonesia juga tidak realistis. Sebab, perusahaan tidak mencari investor untuk melanjutkan usaha, tetapi masih mengandalkan aset perusahaan yang ada. Tapi di sisi lain, nilai aset perusahaan terbilang jauh dari total utang perusahaan yang senilai Rp281,41 miliar dari 50 kreditur. Sebagai gambaran total aset perusahaan yang saat ini diketahui hanya senilai Rp80,39 miliar. Aset itu di antaranya inventori barang Rp51,21 miliar dan piutang Rp3,17 miliar.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/06/09/vans-bangkrut--MILD--02--SABIT.jpg" width="860" alt="Infografik Vans Bangkrut" /

Distributor Vans di Indonesia sudah tidak ada. Lantas bagaimana nasib para penggemar Vans di Indonesia?

Saat peluncuran 50 Tahun Vans pada 2016, tokoh-tokoh besar komunitas musik dan skateboard memberikan testimoni bagaimana sepatu ini membentuk identitas fashion mereka. Dalam film yang dinarasikan oleh sejarawan olah raga ekstrem dan pemain skateboard Sjeff grosso, bercerita bagaimana Tony Alva dan Stacy Peralta mendesain sepatu ikonik Vans Era yang dibuat pada 1976. Baru pada sepatu Era inilah, logo Off The Wall pertama kali digunakan.

Berbagai seniman seperti Ray Barbee, Chuck D of Public Enemy dan ikon fashion Chloe Sevigny membahas bagaimana Vans membentuk kebudayaan populer di kalangan anak muda khususnya fashion jalanan. Desain ikonik Vans Slip On Checkerboard menjadi sepatu yang sangat terkenal karena dipakai oleh anggota Iron Maiden, the Foo Fighters dan the Ting Tings. Saat ini nilai perusahaan Vans global mencapai lebih dari 900 juta dolar.

Arham Arsalan, 30 seorang Social Media Manager di sebuah digital agency Jakarta, menyebut bahwa ia memiliki sedikit kekawatiran karena tutupnya gerai Vans di Indonesia. Ia sendiri mengaku suka Vans sejak lama. Bagi para penggemarnya Vans memang punya pesona magis sendiri, nyaris sejak dirilis pada 16 Maret 1966 Vans di Anaheim, California, mereka tak banyak mengubah desain. “Gue suka vans waktu SMP, awal-awal main skateboard. Sejak itu sampe sekarang gue selalu beli sepatu Vans. Enggak pernah merek lain,” katanya.

Aam, begitu ia disapa, merasa bahwa sebelum toko resmi mereka buka di Indonesia para kolektor merasakan sensasi eksklusif karena bisa memiliki sepatu tersebut. Sebelum luasnya jaringan layanan internet, pengetahuan tentang Vans terbatas dari komunitas ke komunitas, para pemakainya juga jarang karena tak ada gerai resmi. Mereka mesti membeli di luar negeri via kiriman atau titip teman yang sedang melancong. Tapi bagi Aam, ia merasa Vans dekat dengan kebudayaan populer skateboarding dan punk rock.

Kedekatan Vans dan kancah Punk bisa dilihat saat mereka menggelar even musik Vans Warped Tour yang mengundang band-band punk rock. Mereka juga mensponsori atlet skateboard muda dan mendukung berkembangnya komunitas skateboard melalui pembangunan taman skate di berbagai tempat. Ini yang kemudian membuat relasi antara Vans dan para penggemarnya dekat, Aam sebagai penggemar sepatu ini di Indonesia merasa sedih saat tau Vans di Indonesia mesti tutup sementara. “Sekarang gue mulai nyari-nyari akun Instagram yang emang jual Vans ori,” katanya.

Meski secara finansial ia mampu membeli sepatu merek lain Aam mengaku belum ada merek lain yang membuatnya merasa puas setelah memiliki dan memakai sepatu selain Vans. “Gue kolektor dan pemakai sih. Yang pasti gue pake sepatu itu buat sehari-sehari, karena kebetulan gue ngoleksi,” katanya. Dengan tutupnya toko resmi Vans mulai banyak penjual sepatu di Instagram yang menjual sepatu merek ini dengan harga lebih mahal. Ini tidak membuat dia berhenti mengkoleksi. “Ya abis mau gimana lagi ya, mahal dikit gapapa. Asal masih masuk akal,” katanya.

Perubahan harga ini juga diamini oleh Herdiyan Adi Prasetia, penjual sepatu online via instagram yang tinggal di Denpasar. Ia mengaku penggemar Vans saat ini sedang semangat-semangatnya membeli dan mengoleksi. Ia sadar betul bahwa tutupnya gerai Vans berimbas pada suplai yang sedikit sementara permintaan sepatu ini tetap ada dan terus meningkat. Untuk menyiasati perang harga, Dian sengaja menjual sepatu Vans yang tidak generik atau dijual secara retail.

Dian menjual sepatu Vans yang tidak secara resmi dirilis di Indonesia. Seperti seri kolaborasi antar seniman dan merek street wear luar. Keputusan ini ia pilih secara sadar dan membuat toko Instagramnya Footcovershoes menjadi berbeda dengan yang lain. “Ada seri-seri Syndicate, terus seri Pro yang nggak rilis di sini, 50th anniv, yang basic malah jarang. Ya intinya kita coba sediain yang di toko Vans sini nggak ada sih. Kalo jual barang yang sama, nanti jadinya cuma perang harga. Enggak ada esensinya,” jelas Dian.

Dalam penelusuran Tirto, saat ini banyak akun instagram yang menjual sepatu-sepatu Vans dengan label super atau premium yang bermakna ganda. Label itu digunakan untuk menjelaskan bahwa sepatu Vans yang mereka jual bukan sepatu asli produk pabrik Vans, tetapi bajakan dengan kualitas yang nyaris mirip dengan Vans asli. Dian menolak memberi komentar tentang fenomena ini, namun menurutnya mereka yang membeli Vans palsu karena tak bisa mengakses sepatu yang asli atau memang suka dengan kualitas yang seperti itu.

Aam sendiri mengaku ia tak mau memakai vans Palsu. Selama ini ia jatuh cinta dengan desain Vans klasik karena ada konsistensi, desain yang sama malah membuat sepatu Vans menjadi ikonik. “Karena 'itu-itu' ajanya itu yang bikin gue ngerasa vans konsisten. Beda sama yang lain (skateboarding shoes), contohnya Airwalk, yang sekarang ngedrop karena nyoba buat otak-atik desainnya,” katanya. Untuk saat ini ia memilih membeli Vans asli dari reseller online, walaupun lebih mahal, ini sebagai bentuk penghargaan dari sejarah panjang sub kultur yang membentuk punk rock dan skateboarding.

Baca juga artikel terkait VANS atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Hobi
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti