tirto.id - Orang-orang California menganggap medan skateboard bagai ombak laut. Berselancar dengan papan skate, bagi mereka, sama halnya mengendalikan papan selancar di atas ombak.
Anggapan tersebut muncul pada 1950an. Pada masa itu, orang-orang yang tinggal di bagian selatan California, memilih bermain skateboard ketika kondisi ombak laut sedang tidak prima untuk dijadikan tempat berselancar.
Mereka tidak bisa serta-merta menerima keadaan ombak yang datar karena berselancar adalah cara untuk bersenang-senang di waktu luang. Oleh karena itu, menyiapkan aktivitas pengganti yang sensasinya mirip dengan berselancar jadi hal penting.
Tidak jelas betul siapa penemu skateboard. Pada awalnya, benda tersebut dijual di toko penjualan alat-alat selancar di Los Angeles dan sebagian besar pembelinya adalah orang-orang yang hobi berselancar.
Dalam riset Graham Bradley, profesor bidang psikologi terapan dari Griffith University, Australia, yang berjudul “Skate Parks as a Context for Adolescent Development” (PDF, 2010) dijelaskan, permainan skateboard biasanya diminati anak pra remaja hingga dewasa muda karena dianggap sebagai kegiatan yang mengandung nilai kebebasan.
Selain kebebasan dan minim aturan, disebutkan pula bahwa kegiatan bermain skateboard menandakan ekspresi diri serta kerjasama.
“Permainan ini tidak seperti permainan laki-laki konvensional yang biasa mengutamakan nilai-nilai yang dianggap maskulin seperti kekuatan, kompetisi, dan agresi. Perilaku pemain skateboard merefleksikan nilai anti otoritas dan perlawanan,” demikian tulis Bradley.
Pada akhirnya, para skateboarder tidak hanya bermain, tetapi juga membentuk kultur tertentu yang tampak dari segi fesyen. Dimulai dari mengenakan busana yang serupa seperti topi, celana baggy pendek, celana jeans longgar, hingga kaus yang kebesaran.
“Aktivitas bermain skateboard, selera musik, gaya busana, dan minat terhadap karya seni jadi hal-hal yang membentuk identitas para pemain skateboard,” tulis H. Woolley dan R. Johns dalam “Skateboarding: The City as a Playground. Journal of Urban Design” (2001) sebagaimana dikutip Bradley.
Pasang Surut Vans
Sekitar satu dekade pasca munculnya fenomena skateboard, Paul Van Doren, pria asal Anaheim, kota di tenggara Los Angeles, membuka usaha pembuatan sepatu dengan sol karet yang cukup tebal dan harga ramah kantong. Awalnya sepatu dibuat sesuai pesanan. Namun, lama kelamaan, ia mendirikan perusahaan dan memproduksi sepatu secara massal dengan harga $4.49 (sepatu laki-laki) dan $2.29 (sepatu perempuan).
Van Doren memberi nama sepatu tersebut Vans.
Pada pertengahan 1970an, kala skateboard telah menjadi subkultur yang tengah menggeliat di California, Vans jadi barang laris. Hal tersebut terjadi usai seorang pemain skateboard berkunjung ke toko Van Doren dan membeli sepatu Vans di sana. Ternyata desain sol sepatu bikin produk jadi sangat ergonomis untuk digunakan saat bermain skateboard.
Berawal dari situ, pemilik perusahaan mulai aktif menggunakan gimik khas skateboarder--kalimat “off the wall” sebagai materi promosi dan diletakkan pada produk, serta menjadikan motif papan catur sebagai corak sepatu. Mengapa papan catur? Karena motif tersebut kerap digambar anak skate pada area bermain skateboard.
Chicago Tribune mencatat, puncak popularitas Vans pertama muncul pada 1984, kala Sean Penn menggunakan sepatu tersebut pada serial televisi yang dibintanginya. Hal itu segera membuat pendapatan Vans naik dua kali lipat. Van Doren dan tim pun optimistis mengekspansi bisnis dengan menciptakan jenis sepatu lain seperti sepatu basket, sepatu lari, sepatu breakdance, dan sepatu skydiving.
Ironisnya, diversivikasi produk malah bikin bisnis mereka bangkrut.
Memasuki periode 1990an, Vans kedatangan investor baru dan mulai merancang strategi pemasaran baru dengan mempromosikan festival musik Vans Warped Tour. Acara tersebut sempat jadi festival musik yang menampilkan musisi punk baru dan musisi rock idola remaja.
Sayang, usia Vans Warped Tour tidak begitu panjang karena kalah dengan festival musik besar lain di AS seperti Coachella. Namun begitu, setidaknya waktu 23 tahun sudah cukup membuat brand Vans terus tertanam di benak kaum muda. Kini, Vans tetap menggelar acara musik dan menampilkannya pada House of Vans, acara rutin yang digelar Vans di sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Dapat dikatakan, Vans adalah salah satu jenama yang selalu menemukan cara untuk kembali tenar. Pada 2014, Vans dibeli oleh VF Corporation--perusahaan retail yang menaungi Timberland, Jansport, Eastpak, Lee, The North Face. VF Corporation lalu memutuskan mengakuisisi perusahaan Van Doren tersebut setelah melihat perkembangan bisnis mereka dari $750 juta ke $1.7 miliar pada 2008-2013.
Sejak dibeli VF Corporation, Vans menetapkan pendapatan tahunan sekitar $2 miliar dolar. Menariknya, peningkatan signifikan pendapatan Vans juga terbantu karena "pemasaran" tak langsung oleh pemakainya, namun dengan cara-cara yang sepele dan tak terduga.
Tengok, misalnya, video viral Damn Daniel yang dibuat oleh seorang remaja di AS yang iseng merekam kawannya kolektor sepatu Vans. Dalam video yang dibuat pada 2016 itu, sang perekam konsisten berkata "Damn Daniel" dan "hanya" dengan seperti itu video tersebut mendapatkan 45 juta penonton.
Namun, tak hanya itu. Daniel Lara, bintang dalam video tersebut, juga mendapat pasokan sepatu Vans seumur hidup lantaran pihak jenama merasa ia telah memberi efek marketing yang sangat baik bagi perusahaan.
Hal lain yang turut meningkatkan pendapatan Vans adalah penggunaan sepatu tersebut di kalangan pecinta fesyen. Mantan direktur kreatif lini adibusana Celine, Phoebe Philo, misalnya, pernah mengenakan Vans ketika berjalan dalam sesi finale peragaan busana.
Setelah Philo melakukan hal tersebut, sejumlah rumah mode di AS lalu turut memproduksi sepatu dengan desain serupa. Penikmat fesyen pun mulai meniru gaya normcore Philo dan mulai berani memadukan Vans dengan fesyen sehari-hari.
Dan sejak itu, makin banyak selebritas serta model kelas dunia yang menggunakan Vans, seperti Kristen Stewart, Justin Bieber, Alexa Chung, dan Rihanna. Efeknya tentu saja sudah jelas: popularitas Vans terus terjaga.
Harga dan Kenyamanan
Presiden Vans, Kevin Bailey, pernah berkata pada Business of Fashion bahwa dirinya lebih sering berkata tidak pada tawaran proyek kolaborasi. “Sebabnya kami harus memastikan bahwa harga benar-benar ramah kantong. Kunci kami adalah harga yang terjangkau.”
Di Indonesia, harga terjangkau yang dimaksud Bailey tertuang dalam kisaran harga Rp800.000-Rp1.500.000,-. Kini, ketika sepatu Vans--terutama yang tipe klasik--di kalangan milenial dan gen z Ibukota bak sandal jepit Swallow karena begitu banyak yang memakai, harga tersebut patut diduga cukup terjangkau.
Namun, selain harga, faktor kenyamanan dan juga kepraktisan--karena bisa digunakan dalam acara apa pun--, juga menjadi alasan mengapa Vans banyak diminati.
“Kayaknya karena faktor usia juga, ya, jadi butuh sepatu yang empuk dan bikin kaki nggak mudah pegel. Semua Vans yang gue beli punya teknologi bantalan atau insole empuk namanya ultracush. Gue lebih fanatik ke fungsinya, sih, terutama koleksi Vans Ultrarange. Enak banget dipake 24 jam ngapa-ngapain. Gue sengaja beli 3 Vans Ultrarange karena puas banget ama fungsinya,” tutur Aldo Venalosa, yang memiliki 10 sepatu Vans degan kisaran harga Rp1.500.000-Rp2.000.000,- per sepatu.
“Gue pilih Vans karena suka dengan kultur skate yang menurut gue bebas dan kreatif. Dari segi gaya dan musik pun gue banget. Ibarat kata, gue tumbuh ngeliat musisi-musisi favorit gue seperti Rekti Yoewono vokalis The Sigit dan Absar Lebeh, gitaris dan bassist Mooner main skateboard,” kata Indira Listiarini yang menggunakan sepatu Vans untuk berbagai acara, termasuk saat menghadiri pesta pernikahan.
Meski terpikat dengan citra skena skateboard, pada akhirnya, Indira bersikap seperti Aldo yang memilih Vans karena kenyamanan. Ia paling suka dengan desain Vans Varix yang dibeli ketika berlibur ke Cina.
“Desainnya sangat nggak Vans, super unik, juga dilengkapi dengan fitur ultracush jadi nyaman dipakai. Sayangnya ini nggak dijual di Asia Tenggara.”
Editor: Eddward S Kennedy