Menuju konten utama

Setelah TikTok Dijegal, Terbitlah Para Peniru

Catatan: yang meniru justru sering menguntungkan yang asli.

Setelah TikTok Dijegal, Terbitlah Para Peniru
Ilustrasi seorang pria membuka aplikasi media sosial 'TikTok'. AP / Anjum Naveed, File

tirto.id - September 2019 silam, tatkala warga maya melakukan pencarian dengan kata kunci #hongkong di Twitter, muncul unggahan-unggahan protes warga Hong Kong menuntut pencabutan RUU (Amandemen) Pelanggar Hukum Buronan dan Bantuan Hukum Bersama dalam Urusan Pidana 2019. Produk hukum yang memungkinkan Beijing meminta Hong Kong menyerahkan orang yang dianggap telah melanggar hukum. Otoritas ini awalnya tak dimiliki Cina meskipun secara de jure Hong Kong adalah bagian Cina sejak diserahkan Inggris pada 1997.

Protes mencuat di mana-mana. Warga Hong Kong khawatir undang-undang tersebut hanyalah dalih bagi pemimpin tertinggi Cina Xi Jinping guna membungkam demokrasi.

Uniknya, meskipun 6,5 juta warga Hong Kong tercatat pula sebagai warga maya, , tak ada unggahan-unggahan berbau protes ketika “#hongkong,” dicari di TikTok. Alih-alih, yang muncul adalah video-video pendek lucu nan menggemaskan terkait Hong Kong. Ketika “#HongKongProtestors” dicari, sistem TikTok hanya menampilkan tulisan: “tidak menemukan apapun terkait tagar ini.” Padahal, di platform media sosial lain, Instagram, misalnya, ditemukan lebih dari 34.000 unggahan berlabel #antielab, tagar lain yang digunakan warga Hong Kong menyebarkan kecemasan mereka atas Beijing.

Dalam laporan berjudul “TikTok’s Beijing Roots Fuel Censorship Suspicion as It Builds a Huge U.S. Audience” yang dipublikasikan The Washington Post pada 2019, TikTok dikabarkan menginstruksikan moderatornya untuk menyensor video yang dianggap sensitif oleh pemerintah Cina. TikTok sendiri mengklaim platform buatan mereka digunakan untuk tujuan hiburan, bukan politik. Sayangnya, Amerika Serikat berpikiran berbeda.

Tak lama setelah laporan itu dirilis, Senator Marco Rubio, Chuck Schumer, dan Tom Cotton menghendaki penyelidikan menyeluruh atas TikTok, khususnya terkait seberapa jauh tangan Xi Jinping bisa menjangkau dan memanipulasi data pengguna TikTok, khususnya data-data pengguna di AS. Kekhawatiran AS atas TikTok bertambah karena Beijing, merujuk Undang-Undang Intelijen Nasional 2017 dan Undang-Undang Anti-Spionase 2014, punya kuasa memerintahkan berbagai perusahaan di negerinya, termasuk TikTok, untuk ”mendukung, membantu, dan bekerja sama dengan badan intelijen negara Cina sesuai hukum.”

Masuklah Presiden Donald Trump. Usai sukses mengusik Huawei, Trump kemudian menghendaki TikTok menjual unit bisnisnya di AS kepada perusahaan negeri Paman Sam dalam tempo 90 hari. TikTok pun melawan balik, menggugat perintah Trump yang dianggap tidak konstitusional.

Sayangnya, di tengah ketidakjelasan siapa yang akan menjadi pemenang dalam pertarungan Trump vs TikTok, korban pertama pun muncul. Kevin Mayer, mantan petinggi Disney yang disebut-sebut lebih layak menjadi CEO Disney dibandingkan Bob Chapek setelah Bob Iger turun tahta, mundur dari posisinya sebagai CEO TikTok.

Dalam surat yang ia kirimkan pada anak buahnya, Mayer menyatakan: “Karena lingkungan politik telah berubah secara drastis, saya telah melakukan refleksi signifikan tentang (kepemimpinan) seperti apa yang dibutuhkan atas perubahan struktur perusahaan [...] Dengan latar belakang ini, dan karena kami berharap dapat segera mencapai resolusi, dengan berat hati saya ingin memberitahu Anda semua bahwa saya telah memutuskan untuk keluar dari perusahaan.”

Zhang Yimin, pendiri sekaligus CEO ByteDance, perusahaan pencipta TikTok, dalam surat yang juga ia kirim ke anak buahnya, menyebut Mayer bergabung pada “waktu yang paling menegangkan,” dan menyatakan keputusan Mayer bisa dipahami.

Pertempuran dengan Trump, ditambah dengan mundurnya sang CEO, jelas memberatkan bagi TikTok. Di lain sisi, perusahaan yang tengah diserang negara adikuasa ini juga memperoleh serangan lain: para peniru.

Para Peniru TikTok: Masalah atau Berkah?

Pada 2012, tatkala Snapchat digandrungi remaja Amerika Serikat, Mark Zuckerberg berusaha membeli perusahaan itu dari tangan Evan Spiegel. Ingin mencontoh sikap Zuck yang menolak tawaran Yahoo, Spiegel menghiraukan keinginan Zuckerberg. Tak patah arang, tak sampai setahun kemudian Zuckerberg kembali menawar Snapchat senilai USD 3 miliar, setelah mengetahui salah satu fitur unggulan Snapchat, yakni Stories, laku keras. Tawaran Zuck berakhir sia-sia.

Dalam buku yang berjudul Facebook: The Inside Story (2020) Steven Levy, editor-at-large pada majalah Wired melaporkan Zuckerberg semakin berhasrat mengalahkan Snapchat dengan cara berbeda: menduplikasi Stories--fitur andalan Snapchat. Zuckerberg, yang pernah gagal meniru fitur milik Snapchat (yakni pesan yang dapat menghilang selepas dikirim), tidak ingin dipermalukan dua kal. Ia mendelegasikan tugas menduplikasi Stories kepada Kevin Systrom, pendiri Instagram. Stories kemudian diciptakan sebagai fitur di Instagram, bukan Facebook. Tak disangka, Stories laku keras. Fitur ini kemudian diboyong ke aplikasi Facebook dan WhatsApp.

Tujuh tahun berselang, Systrom mendapat tugas yang sama: menduplikasi TikTok.

Infografik Politikus Sibuk Main TikTok

Infografik Politikus Sibuk Main TikTok. tirto.id/Sabit

Jawaban kepopuleran TikTok dari Facebook adalah fitur bernama Reels, fitur yang tersemat dalam aplikasi Instagram. Sayangnya, Brian X. Chen, jurnalis teknologi The New York Times yang mencoba Reels bersama sekantornya Taylor Lorenz, jurnalis sekaligus penikmat TikTok, menyebut bahwa Reels “membingungkan” dan “buruk”. Lebih spesifik, Lorenz menyatakan Reels “mengerikan". Reels, demikian Chen, "tidak hanya gagal menduplikasi TikTok, tetapi juga membuat frustasi (penggunanya), khususnya soal navigasi”.

TikTok, singkat cerita, memiliki kepribadian berbeda dengan Instagram. Di Instagram, pengguna menekan tombol “follow” terlebih dahulu untuk melihat unggahan. Foto atau video pendek yang dilihat pengguna Instagram di feed Instagram adalah konten-konten yang berasal dari yang mereka kehendaki. TikTok berbeda. Tanpa perlu “follow”, kecerdasan buatan TikTok memilihkan video-video pendek seperti apa yang mungkin disukai penggunanya, dari pengguna “random.”

TikTok tak hanya ditiru Facebook melalui Reels, tetapi juga segudang aplikasi serupa dari India.

Ananya Bhattacharya, dalam laporannya untuk Quartz, menulis bahwa TikTok tak hanya diusik di AS, tetapi juga di India. Bahkan, TikTok telah resmi dilarang di sana dengan alasan yang serupa di AS. Padahal, sebagai salah satu negeri berpenduduk terbanyak, India menyumbang 200 juta pengguna aktif. Saking besarnya, muncul tiruan-tiruan TikTok bikinan India: Chingari, Mitron, Roposo, Bolo Indya, Moj, HiPi, HotShots

Sayangnya, tutur Ananya, aplikasi-aplikasi peniru itu gagal. Alasannya sederhana, dengan memanfaatkan sentimen anti-Cina, aplikasi peniru melabeli diri “TikTok of India” atau “TikTok made in India.” Bagi anak-anak gen Z dan Y, label itu “norak”.

Munculnya aplikasi-aplikasi peniru TikTok membuat TikTok terancam, dengan melihat kasus kesuksesan Stories ala Facebook. Namun, Beibei Li, peneliti pada Carnegie Mellon University, berpendapat berbeda. Dalam studi berjudul “Zoom in iOS Clones: Examining the Impact of Copycat Apps on Original App Downloads” (2014), Li meneliti 10.100 game bikinan 5.141 developer yang dipajang di App Store. Li menyatakan bahwa dalam kondisi tertentu, si peniru sesungguhnya menguntungkan aplikasi yang asli.

Dari 10.100 game yang ditelitinya, Li menyebut 58,98 persen lahir dari ide orisinal, asli. Sisanya adalah game peniru. Masalahnya, game peniru lahir bukan hanya demi mengejar kesuksesan game orisinil. Ada banyak yang diciptakan untuk memperdaya dan menipu pengguna iPhone. Jumlah ini mencapai 4,84 persen dari game yang diteliti Li. Peniru dengan motivasi menipu jelas merugikan. Namun, para peniru yang bertujuan untuk menciptakan game yang lebih baik menuntut pencipta ide asli untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Menurut Li, pasar bergejolak tatkala ada pengembang yang meniru ide. Penawaran meningkat dan membuat para pengembang (baik aplikasi asli maupun peniru) menurunkan harga. Dalam hitung-hitungannya, ketika game asli ditantang game peniru, terjadi penurunan harga hingga 25 persen dari titik awal. Ketika margin menipis, satu-satunya cara pemilik ide asli untuk tetap dapat bertahan adalah terus berinovasi. Sebagai pencipta ide, tentu pengembang aplikasi asli punya keunggulan.

Lahirnya peniru tak hanya memacu inovasi, Tetapi juga membuat aplikasi orisinil makin dikenal. Sederhana: Apa yang Anda pikirkan tentang Reels? Selain menjawab “Instagram”, tentu sangat mungkin Anda juga menjawab "TikTok". Dengan kata lain, ini bisa menciptakan Efek Streissand, mirip kasus Costeja González, yang melalui pengadilan Uni Eropa, menuntut right to be forgotten (hak untuk dilupakan). Ia meminta Google menghapus sebuah kalimat sepanjang 36 kata yang termuat dalam satu artikel yang diindeks Google. Artikel itu menyebut rumah Gonzales disita dan dilelang bank karena utang.

Apa yang terjadi kemudian? Kisah González malah mendunia, dikabarkan oleh BBC dan The Guardian, ditelaah oleh Stanford University, hingga Cambridge University.

Ketika banyak aplikasi-aplikasi peniru TikTok bermunculan, nama TikTok kian melambung.

Baca juga artikel terkait TIKTOK atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf