tirto.id - Salah orang Inggris jika kita sekarang menyoraki atlet macam Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir pada pertandingan-pertandingan bulutangkis. Merekalah yang membawa permainan bulutangkis versi kontemporer dari India dan kemudian mempopulerkannya.
Sebelumnya, sudah ada permainan memukul kok versi purba. Badminton versi lawas, tanpa net, sudah ada di Yunani kuno, Eropa, Inggris, juga India.
Namun, badminton kontemporer bernama 'poon', yang sudah melibatkan net untuk dilalui kok, baru dimainkan di India pada 1800-an. Situsweb bwfbadminton.org mencatat pegawai-pegawai kolonial Britania membawanya ke kampung halaman dan mengenalkannya sebagai permainan bagi tamu-tamu Duke of Beaufort di rumahnya yang bernama “Badminton House”, di Glaucestershire, Inggris.
Pada Maret 1898, pertandingan pertama Open Tournament digelar di Guildfort. Namanya pasti akrab di telinga Anda: All England. Sejak 1930an, Amerika Serikat, Kanada, dan Denmark menjadi peserta setia turnamen ini. Indonesia pun menjadi negara yang mengandalkan cabang olahraga ini. Bukan cuma All England, tapi juga Thomas dan Uber, serta Olimpiade.
Soal popularitasnya sebagai permainan profesional, badminton memang kalah dari saudaranya; tenis. Jika tenis dan sepakbola melejitkan pemain-pemainnya sebagai pesohor internasional, badminton tidak.
Namun, bukan berarti badminton tak istimewa. Terlepas dari rasa memiliki orang Indonesia yang tinggi terhadap bulutangkis, permainan ini memang unik. Beda dengan permainan-permainan lain, badminton tak menggunakan bola bulat, baik pejal maupun berongga. Permainan ini memakai kok: berbentuk gabus setengah bola ditempeli bulu-bulu unggas.
Bulu-bulunya berjumlah 16, disusun sedemikian rupa sehingga membentuk seperti rok terbuka atau corong. Meski bentuknya bukan bola, kok ternyata bisa terbang dengan kecepatan mendekati 500 km per jam. Ini dibuktikan oleh pebulutangkis Malaysia Tan Boon Hoeng, yang pada 2013 meraih kecepatan smash pada 493 km/jam. Tan saat itu sedang mencoba sebuah raket.
Untuk rekor resmi dalam pertandingan, olympic.ca mencatat rekor tercepat dipegang oleh atlet Cina Fu Haifeng, yang melakukan smash dengan kecepatan 332 km/jam pada Piala Sudirman 2005. Bandingkan dengan permainan tenis yang rekor resmi kecepatan tertingginya ada pada angka 251 km/jam, dipegang oleh petenis Kroasia Ivo Karlovic dalam Davis Cup.
Itulah bola bulu-bulu bulutangkis. Ia terbang dengan cepat, melebihi bola tenis ataupun kriket ataupun squash. Soal ini, Dr. Qin “Arthur” Zhu, ahli kinesiologi dari University of Wyoming punya jawabannya.
"Ini bentuk proyektil yang unik dibandingkan dengan bola pada olahraga lain," kata Dr. Qin Zhu, kepada pri.org. "Semua bola olahraga lainnya diciptakan agar terbang lebih cepat. Kok justru dibuat agar melambat setelah dipukul."
Dr. Zhu meneliti semua aspek ayunan pemain bulutangkis dan merekam semua gerakannya secara detail. Ia mempelajari sudut raket semua pemain, baik pemula, yang rekreasional, juga yang ahli. Zhu menemukan bahwa sudut 71,6 derajat saat memukul adalah yang paling optimal untuk menghasilkan kecepatan paling tinggi pada kok. Namun, sudut itu sulit dicapai, kecuali Anda pemain profesional macam Tontowi dan Liliyana.
Anda juga bisa sedikit licik. Dr Zhu bilang, jika ingin kok melesat lebih cepat, ujung-ujung bulu bisa agak ditekuk ke bagian dalam. Tujuannya agar hambatan udara bisa dikurangi saat kok terbang. Namun, jangan coba-coba melakukannya jika Anda bermain dalam pertandingan profesional.
Kok pada Olimpiade
Ada dua jenis kok, berbahan plastik dan bulu angsa. Pada iopscience.iop.org, dijelaskan bahwa jarak tempuh yang bisa dicapai kok plastik dan kok bulu berbeda. Dengan sudut awal dan kecepatan yang sama, jarak yang dicapai kok plastik bisa lebih jauh.
Perbedaannya sekitar 1 meter atau 10 persen dari jarak keseluruhan. Selain disebabkan desainnya yang berbeda, massanya juga lebih besar sehingga angka panjang aerodinamisnya lebih tinggi.
Pemain profesional, atau setidaknya pemain yang cukup berpengalaman, biasanya memilih kok bulu yang lebih rapuh itu. Wajar, sebab sebagai proyektil, kok bulu akan memiliki kecepatan awal yang lebih cepat dan akan melewati net dengan cepat tanpa melewati garis lapangan.
Dengan memakai kok bulu, pemain dapat melakukan smash pada kecepatan lebih tinggi, yang memungkinkan sedikit waktu bagi lawan untuk bereaksi. Kok berbulu inilah yang juga dipakai pada pertandingan macam Olimpiade.
Di Rio, misalnya, cabang bulutangkis disuplai kok produksi Yonex F-90 dari dekat Tokyo, yang jumlahnya hampir 15 ribu. Yonex menyediakan empat jenis kok, dari yang lambat sampai cepat. Masing-masing dipakai dengan memperhatikan kondisi tempat pertandingan, baik suhu maupun kelembaban.
Saat udara padat, kok akan terbang lebih lambat. Maka, official pun akan memilih kok yang lebih cepat atau lebih berat untuk menyesuaikannya. Demikian pula sebaliknya.
Para atlet profesional akan tahu apa kekurangan kok yang disodorkan padanya. Dalam Olimpiade, biasanya tiap pertandingan menghabiskan dua lusin kok. Kebanyakan kok yang diganti, sekitar 90 persen, sebenarnya tak bermasalah. Atlet kerap minta ganti kok untuk mempersiapkan diri atau untuk merusak ritme lawan.
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti