tirto.id - “Setelah menikah ya harus segera program hamil, dong!”
Mungkin kamu sering mendengar kalimat di atas diucapkan oleh pasangan yang baru saja memulai bahtera rumah tangga—atau diserukan oleh keluarga dan teman mereka.
Well, penting diingat bahwa keharusan demikian tidak bisa disamaratakan pada semua orang.
Bagi beberapa angkatan Milenial dan generasi Z, keputusan untuk child free maupun menunda punya anak bisa jadi pilihan. Di lain sisi, mereka yang sudah berniat punya anak pun bukan berarti bebas dari rasa takut.
Seperti para artis pada umumnya, Hailey Bieber menjadi sorotan publik yang kerap dihinggapi rumor. Beberapa waktu silam, istri Justin Bieber ini disangka sedang hamil.
Hailey, yang tahun lalu mengumumkan dirinya memiliki kista di ovarium sebesar buah apel, saat ini mengaku sangat ingin punya anak. Hanya saja, ada satu perasaan lain yang mengganjal.
Apa itu?
Ia khawatir bagaimana anaknya kelak diperlakukan oleh khalayak sebagaimana dirinya dikritisi lekat-lekat selama ini.
Perubahan pola makan Hailey saja berpotensi jadi bahan bully netizen yang sulit mengendalikan jarinya. “Bagaimana kalau anak kami nanti jadi bahan omongan,” ujarnya.
Bukan hanya Hailey yang berani menikah namun ragu atau takut punya anak. Banyak alasan mengapa kehadiran anak menjadi ketakutan tersendiri dan butuh persiapan.
Ardian dan Stella (28) adalah pasangan yang menunda punya anak sejak menikah dua tahun lalu. Apa alasannya?
“Kami ingin berduaan dulu sampai puas sepuas-puasnya. Umur 30 punya anak kan masih dalam batas sehat. Buat apa buru-buru? Menjadi ibu bukan soal deadline, tapi komitmen seumur hidup. Kehidupan perempuan akan berubah saat jadi ibu. Saya belum siap,” kata Stella.
Hmm, kenapa ya beberapa perempuan merasa galau untuk menghadirkan anak?
Harmeet Kaur dari CNN mencoba mencari jawaban mengapa saat ini lebih banyak perempuan memilih untuk tidak punya anak. Ia mewawancarai seorang perempuan muda, seorang pegawai pemerintahan di San Francisco, Diyanna Volek.
Sejak kecil, Volek sudah bersumpah tidak mau punya anak. Alasannya, ia melihat ibunya kurang santai dalam bekerja—melakukan tiga pekerjaan sekaligus untuk menghidupi dua anak karena situasinya sebagai single mom.
Volek siap untuk menjadi apa saja—asalkan bukan menjadi ibu.
Maka, ketika menikah, ia bersepakat dengan suaminya untuk child free. “Supaya bisa bebas traveling tanpa memikirkan keselamatan anak,” adalah salah satu alasannya.
Ketakutan menghadirkan anak ke dunia seperti yang dirasakan Volek di atas bisa dikaitkan dengan inner child.
Carl Gustav Jung, psikiater asal Swiss dianggap sebagai penemu konsep inner child seratus tahun lalu. Inner child adalah bagian metaforis dari seseorang yang membeku di masa kanak-kanak, masih melekat pada emosi, keyakinan, dan kenangan yang diyakininya saat itu.
Kita semua memiliki inner child. Banyak riset telah menunjukkan bahwa kualitas masa kanak-kanak kita berkaitan dengan hasilnya di kemudian hari.
Shari Botwin, seperti dikutip Angela Haupt dalam Time menyatakan bahwa meski kita tumbuh dan bertambah dewasa dengan otak yang menjadi lebih logis, kita tidak akan mampu mampu menghapus pikiran, perasaan, atau ingatan dari masa kanak-kanak.
Masih menurut Botwin, kalau kamu mengalami masa kecil yang bahagia dan sehat, diasuh oleh pengasuh yang menghindarkan dari stres, secara alami dan selaras kamu akan dapat menerima inner child-mu.
Sebaliknya, orang-orang yang mengalami kesulitan di masa kecilnya seperti perceraian, kemiskinan, terlantar—dan tidak punya kapasitas untuk memproses pengalaman itu—akan kesulitan untuk menerima inner child mereka.
Psikolog Rayna yang juga aktif di Hope Psychology Center, Semarang mengungkap kemungkinan lain, yaitu karena perempuan zaman sekarang cenderung memprioritaskan pertumbuhan pribadi, gaya hidup sehat, pengalaman baru, dan pendidikan lebih tinggi.
“Ada juga kondisi medis seperti tokophobia, yaitu fobia yang membuat wanita takut hamil dan melahirkan, yang dapat menjadi alasan bagi sebagian perempuan untuk menolak kehamilan,” jelas Rayna.
Alasan lainnya berkaitan dengan finansial. Alice (29) mengaku ingin punya anak dan rela berhenti bekerja karena pernah keguguran sebelum kehamilannya sekarang.
“Dulu double income, sekarang single income. Meski sudah ada gambaran besarnya kebutuhan, tapi pada kehamilan yang lalu baru 10 minggu lalu keguguran. Kehamilan sekarang sudah bulan ke-8, dan ternyata banyak pengeluaran tak terduga berkaitan dengan treatment selama kehamilan ini. Lumayan deg-degan,” papar Alice.
“Kata orang, rezeki itu akan selalu ada. Dengan berdoa dan mencari dukungan keluarga dan teman, aku menghalau ketakutanku dengan mengembangkan spiritualitas. Yakin bahwa yang Tuhan kasih itu nggak mungkin salah. Dan itu memang benar,” pungkas Alice, dalam usahanya mengusir ketakutannya soal keuangan menjelang melahirkan.
Sebagian dari kamu bisa jadi menganggap ‘Kapan punya anak?’ sebagai momok setelah pertanyaan ‘Kapan nikah?’.
Masuk akal, kok. Kebanyakan perempuan tidak siap dengan pertanyaan di atas karena tekanan untuk membangun keluarga berbanding lurus dengan membangun karier.
Seperti dilansir Forbes, generasi Millenial membangun karier mereka saat krisis dunia melanda. Bagi banyak perempuan, pilihannya adalah menunda punya anak.
Faktor sosial dan budaya, seperti tekanan keuangan dan peran gender tradisional, juga dapat memengaruhi keputusan perempuan dalam menunda atau menolak untuk menjadi ibu.
Lalu, kiat apa saja yang dapat membantu untuk mengatasi perasaan galau itu semua?
“Hadapi rasa takut itu dengan bicara dengan orang terpercaya seperti pasangan, keluarga atau teman. Cari informasi yang akurat tentang kehamilan, persalinan dan perawatan anak. Siapkan diri dengan ilmu, fisik dan mental, dapatkan dukungan emosional dan praktis dari pasangan, keluarga maupun profesional. Yang terakhir, persiapkan diri secara finansial,” pungkas Rayna yang juga konselor layanan konseling daring ibunda.id.
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Sekar Kinasih