tirto.id - Saloth Sâr atau Pol Pot menjadi Perdana Menteri Kamboja pada 1976. Ketika berkuasa, ia banyak membantai rakyatnya. Kekejamannya itu membuat masa pemerintahannya dianggap sebagai periode paling kelam sepanjang sejarah Kamboja.
Kisahnya bermula ketika ia bersentuhan dengan ideologi komunis di masa remaja. Saat usinya belum genap 25 tahun, Pol Pot berangkat dari Saigon ke Prancis untuk melanjutkan sekolah. Di sana, ia tidak hanya belajar di kelas tapi juga bergabung menjadi anggota aktif French Communist Party (PCF)--partai Marxist-Leninist terbesar di Prancis.
Keputusannya bergabung dengan partai komunis diambil pada momentum yang tepat. Kala itu, komunisme sedang naik daun di banyak penjuru dunia. Partai Komunis Cina, misalnya, belum lama menduduki puncak kekuasaan bersama Mao Zedong. PCF sendiri menguasai 25 persen perolehan suara di parlemen Prancis.
Setelah tiga tahun menjadi anggota PCF, Pol Pot kembali ke Saigon. Ia kemudian bergabung dengan Khmer Việt Minh, organisasi asal Vietnam yang berideologi Marxis-Leninist. Dari Saigon ia bergerilya melawan Norodom Sihanouk yang baru saja membawa Kamboja merdeka dari Prancis, tapi gagal.
Pada 1954 Khmer Việt Minh terdesak dan terpaksa mundur ke Vietnam Utara. Pol Pot kemudian pergi ke Phnom Penh dan bekerja sebagai guru sambil tetap menjadi anggota utama gerakan Marxist-Leninist, terutama sejak ikut meresmikan Kampuchean Labor Party.
Belakangan, partai buruh itu mengubah namanya menjadi Communist Party of Kampuchea (CPK) yang kemudian direpresi oleh pemerintah Kamboja. Pol Pot meyingkir ke hutan. Dalam pengasingan itu ia menjadi pemimpin CPK terhitung sejak 1963.
Lima tahun sejak menjadi pemimpin CPK, Pol Pot kembali melancarkan perang melawan pemerintahan Sihanouk. Selain Pol Pot, Sihanouk juga punya lawan politik yang sama-sama merepotkan, yakni Marsekal Lon Nol. Konon, Lon Nol telah mendekati Amerika Serikat untuk meminta dukungan mengembangkan kekuatan militernya dan mengambil alih kekuasaan Sihanouk.
Pada 1970, Lon Nol melakukan kudeta militer terhadap Sihanouk. Di tengah kisruh politik itu, Pol Pot bersabar sambil terus menggalang kekuatan. Bertahun-tahun persiapan akhirnya dibayar tuntas pada 1975.
Para pemberontak CPK membangun dua belas divisi. Seratus batalion bergerak di Phnom Penh, termasuk Divisi ke-11 dan 12 yang dipimpin oleh Vorn Vet. Dibantu milisi Việt Cộng yang sejak lama telah menjalin hubungan baik dengan Pol Pot, serta pasukan Vietnam Utara, pasukan Khmer Merah yang dipimpin Pol Pot berhasil menguasai seluruh Kamboja.
Di Bawah kepemimpinannya, Kamboja dengan cepat bertransformasi menjadi negara satu partai yang disebut Democratic Kampuchea. Visi Pol Pot menciptakan masyarakat sosialis-agraris yang diyakininya akan berkembang menjadi masyarakat komunis. Untuk mewujudkannya, ia memindahkan penduduk kota ke perdesaan. Mereka dipaksa bekerja secara kolektif di sektor pertanian.
Pemindahan penduduk secara besar-besaran itu diputuskan pada bulan Februari. Para pemimpin menggunakan “nama panggung”. Misal brother no. 1 untuk Pol Pot, dan brother no. 2 untuk Nuon Chea, Deputi Sekretaris Jenderal.
Pol Pot menghapus uang sebagai alat tukar dan mengeluarkan aturan berpakaian yaitu baju serba hitam dengan model yang sama. David Chandler, sarjana AS yang pernah bertugas di Phnom Penh, sempat mengumpulkan dokumen rapat komite pusat CPK. Dalam tulisan pengantar salah satu dokumen yang sempat tidak dipublikasikan, Chandler menceritakan detail proyeksi CPK untuk empat tahun ke depan sejak 1976.
“Antara 21 Juli hingga 2 Agustus 1976, anggota komite utama CPK yang beranggotakan sepuluh orang itu mengadakan pertemuan membahas rencana empat tahun. Dari 110 halaman teks hasil pertemuan, delapan puluh lima halaman pertama didedikasikan khusus untuk isu agrikultur,” tulis Chandler dalam Pol Pot Plans the Future: Confidential Leadership Documents from Democratic Kampuchea, 1976-1977 (1988:36).
Dalam periode inilah pembunuhan besar-besaran terhadap rakyat Kamboja terjadi. Bulan Juli 1975, sebuah pertemuan digelar di Phnom Penh. Dalam pertemuan ini Pol Pot benar-benar diakui sebagai pemimpin besar dengan bergabungnya seluruh elemen pasukan militer dari berbagai wilayah. Sejarah Kamboja mencatat pertemuan ini sebagai peristiwa pembentukan Revolutionary Army of Kampuchea.
Dalam pertemuan itu pula Pol Pot berpidato dengan penuh percaya diri di hadapan tiga ribu anggota perwakilan pasukan revolusioner di komite pusat CPK.
“Kita telah memenangkan peperangan dengan total dan bersih tanpa adanya keterlibatan pihak asing dan koneksi lain. Kita telah berani berjuang dengan pendirian yang sama sekali berbeda dengan revolusi lain di dunia. Di manapun di seluruh dunia, sejak dimulainya perang revolusioner dan sejak lahirnya imperialisme AS, tidak ada negara maupun orang yang mampu mengusir kaum imperialis sampai ke titik terakhir dan mencetak kemenangan total seperti kita,” kata Pol Pot dalam pidatonya seperti dikutip Ben Kiernan dalam The Pol Pot Regime: Race, Power, and Genocide in Cambodia under the Khmer Rouge, 1975-79 (1998:94).
Kemerdekaan atas kekuatan asing dan kedaulatan sebagai negara satu partai itu harus dibayar mahal. Di sepanjang masa pemerintahannya, rezim Pol Pot menyebabkan kematian 1,5 hingga 2 juta jiwa. Dengan angka itu, persentase kematian mencapai 25 persen dari seluruh penduduk Kamboja.
Hampir dua tahun sejak pertemuan itu, Kamboja kembali terseret ke dalam situasi darurat perang. Pol Pot mengeluarkan perintah kepada CPK untuk mempersiapkan perang gerilya jangka panjang. Democratic Kampuchea menyatakan perang dengan Vietnam yang dianggapnya sedang melakukan ekspansi sehingga menjadi ancaman bagi Kamboja. Masalah di perbatasan negara semakin genting karena pada waktu yang relatif bersamaan mereka juga berperang melawan Laos.
Dalam situasi seperti itu Pol Pot terbang menuju Beijing. Lalu melanjutkan kunjungan ke Korea Utara untuk menemui Kim Il Sung dan berhasil mendapatkan dukungan diktator Korea utara itu. Dukungan internasional pun terus ia himpun untuk melawan Vietnam.
Namun, pada 25 Desember 1978 pasukan Vietnam menggempur dengan kekuatan penuh. Setelah membuat tentara Khmer kocar-kacir melarikan diri ke hutan-hutan Kamboja, mereka menduduki ibukota Phnom Penh. Sebagian rakyat Kamboja menganggap pendudukan Vietnam sebagai jalan keluar dari pemerintahan diktator Pol Pot. Vietnam mengubah bentuk Democratic Kampuchea menjadi People’s Republic of Kampuchea.
Setelah Vietnam akhirnya keluar dari Kamboja, Pol Pot meninggal di tahanan pada 15 April 1998, tepat hari ini 23 tahun lalu.
Editor: Irfan Teguh Pribadi