Menuju konten utama

Semarak Voli di Perdesaan

Di tengah semakin menyusutnya ketersediaan lapangan sepakbola, dan badminton mesti dimainkan di dalam gedung, voli menjadi olahraga dan hiburan favorit di perdesaan.

Semarak Voli di Perdesaan
Ilustrasi pertandingan bola voli. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - “Bola-bola bundar melayang di udara / tangan-tangan tengadah / berdebar detak jantung menunggu datangnya / tak sabar aku tuk menyentuh kulitnya.”

Tahun 1995, di album pertamanya yang bertajuk “Bumi”, Nugie menyanyikan lagu berjudul “Bola Volley”. Barangkali tak ada yang menyangka jika adik Katon Bagaskara itu kepikiran menyanyikan lagu tersebut. Tapi tunggu dulu, sebab jika diteruskan, lirik lagu itu ternyata menceritakan permainan bola voli pantai.

“Pantai putih harum semerbak aroma,” lanjutnya. Pantai, laut, surya, eksotika, kiranya dianggap masih mewakili tema “Bumi” yang diusung. Di luar hal itu, lagu “Bola Volley” dari Nugie nyaris tak didengar dan dilupakan penguping musik Indonesia. Nasibnya jauh berbeda dengan, misalnya, lagu “Badminton” yang ciptaan Mang Koko dan dinyanyikan oleh Benyamin Sueb.

Dalam berbagai narasi nostalgia, permainan bola voli jarang ditulis oleh banyak orang untuk misalnya mengenang keindahan masa bocah. Voli tak pernah digadang-gadang sebagai permainan indah. Namun kiwari, terutama di perdesaan, saat lapangan sepakbola berebut dengan sawah dan pabrik yang perlahan mendesak, juga badminton yang masuk ke gedung-gedung olahraga, voli masih kerap dimainkan di lapang-lapang pinggir jalan: hampir tiap sore, ditingkahi sorak sorai penonton yang terhibur.

“Di Nyalindung [voli] masih ramai,” ujar Putri, mahasiswi UIN Sunan Gunung Jati yang berasal dari Kabupaten Sukabumi kepada Tirto (13/4/2018)

“Di sana mah suka kayak ada dari kampung lain datang, atau kampung urang (saya) datang ke kampung batur (orang lain),” sambung Putri.

Putri yang hanya menempuh pendidikan di kampung sampai usia SMP, merasa heran ketika ia melanjutkan sekolah di kota dan tak menemukan permainan voli.

Hal senada disampaikan oleh Elmi Rahmatika. Alumni Universitas Pendidikan Indonesia yang berasal dari Kalipucang, Kabupaten Pangandaran ini mengatakan bahwa di kampungnya, voli lebih diminati warga daripada sepakbola. Ia menambahkan bahwa voli dimainkan tiap sore dan kerap digelar turnamen.

“Sepakbola lapangnya jarang, jadi turnamennya hanya digelar musiman kalau ada momen tertentu saja. Sementara lapangan voli tiap RW ada,” tambah Elmi.

Di Situraja, Kabupaten Sumedang, menurut Sari—karyawan swasta yang bekerja di Bandung, di kampung halamannya voli masih menjadi primadona. Setiap hari voli rutin digelar. Pemuda-pemudi, bapak-bapak, ibu-ibu, semuanya aktif baik sebagai pemain maupun sebagai penonton

“Malahan tiap menjelang Agustus suka ada pertandingan antar RW se-kecamatan. Kampung yang jadi tuan rumah dihias sepanjang jalan pakai bendera,” ujarnya.

Ridwan Hutagalung, pegiat Komunitas Aleut yang sering bepergian dengan motor ke kampung-kampung di seantero Priangan, menambahkan bahwa voli memang masih menjadi olahraga favorit di berbagai perkampungan yang didatanginya.

Infografik ayo main voli

Kuliah Kerja Nyata yang masih ada dalam kurikulum di beberapa kampus di Indonesia, yang mengirim mahasiswanya ke desa-desa, di sejumlah tempat menjadikan voli sebagai sarana bersosialisasi dengan warga. Hal ini menunjukkan bahwa voli adalah olahraga favorit selain sepakbola yang masih hidup di perdesaan.

Juli 2013, sejumlah mahasiswa Unpad yang KKN di Desa Cigalontang, Tasikmalaya, mengadakan turnamen voli yang diikuti warga desa setempat. Di lapangan agak becek yang dikelilingi jala, warga desa dari berbagai dusun berlomba menjadi yang terbaik.

Sementara di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, turnamen voli digelar dalam rangka hari jadi desa tersebut.

Di Bali lebih semarak lagi. Di Desa Perean, Tabanan, warga menggelar turnamen voli antarkampung yang penontonnya bisa mencapai ribuan orang. Pertandingan digelar malam hari selepas pukul 19.00 WITA. Warga berduyun-duyun dari berbagai wilayah, seperti Tabanan, Mengwi Badung, Kuta, Gianyar, dan bahkan dari Klungkung.

“Liga voli tarkam adalah ajang adu gengsi, ajang pencarian bakat, ajang pencarian penghasilan tambahan bagi pemain pro, ajang penggalian dana bagi desa penyelenggara, dan tentu bisa menjadi ajang politik pejabat daerah. Liga voli ini sudah ngetrend sejak sekitar sepuluh tahun lalu, dan hingga kini sudah bisa dianggap sebagai ‘gaya hidup’ warga kampung, atau warga pinggiran kota,” tulis Eddy Wedadinata.

Turnamen ini digelar secara bergantian di sejumlah wilayah perdesaan di Tabanan dan Badung yang lokasinya berdekatan, seperti Perean, Marga, Mengwi, Banjar Sayan, Luwus, dan Kukuh. Hal yang sama juga diadakan di desa-desa di kawasan Gianyar dan Klungkung, juga Buleleng.

Sistem yang digunakan dalam turnamen voli di Bali biasanya lokal, semi open turnamen, dan open turnamen. Pada sistem lokal, semua pemain dari tim yang bertanding diharuskan warga lokal dengan cakupan tergantung kesepakatan: bisa kampung atau desa.

Sementara semi open turnamen adalah tiga pemain lokal dan tiga pemain sewaan, baik pemain Porda, Porprov, Prapon, atau pemain Proliga Nasional sekalipun. Dan pada open turnamen lebin bebas lagi, tim yang bertanding tidak diwajibkan menggunakan pemain lokal. Semuanya boleh memanfaatkan pemain sewaan, tergantung kekuatan dana masing-masing tim.

Semarak voli antarkampung di perdesaan di Bali dijalankan, dibiayai, dan dinikmati oleh warga yang membeli tiket pertandingan, sehingga keberlangsungannya dapat terus dijaga.

“Dalam hal ini, bolehlah negara dianggap berhutang pada turnamen voli antarkampung. Selain ikut membantu negara mengembangkan olahraga dengan caranya sendiri, turnamen antarkampung ini juga mendidik warga untuk mandiri: menggelar ajang olahraga sendiri, menonton sendiri, bayar tiket sendiri,” tambah Eddy Wedadinata.

Baca juga artikel terkait TURNAMEN atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Olahraga
Reporter: Irfan Teguh
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti