tirto.id - Para pemerhati pendidikan menyatakan keprihatinannya terkait ketiadaan naskah soal Ujian Nasional (UN) SMA/SMK sederajat yang menggunakan huruf braille di sejumlah daerah di Indonesia. Hal itu dinilai sebagai bentuk diskriminasi pemerintah terhadap penyandang disabilitas.
Laporan ketiadaan naskah soal huruf braille tersebut berdasarkan pengaduan yang berasal dari Mataram, Jakarta, Karanganyar, Sidoardjo, dan Makassar yang masuk ke posko pengaduan UN Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).
"Hal ini bentuk diskriminasi pemerintah terhadap penyandang disabilitas," cetus Sekretaris FSGI Retno Listyarti, di Jakarta, Rabu (6/4/2016).
Sementara itu pemerhati pendidikan penyandang disabilitas Sabar Gorky mengatakan, "Kami sangat menyesalkan ketiadaan naskah Braille saat UN. Bagaimana negara mau maju, kalau ada hambatan seperti ini. Padahal penyandang disabilitas juga memiliki kesempatan yang sama dengan yang lainnya."
Sabar menjelaskan pengawas ujian memang membacakan soal ujian kepada peserta disabilitas, namun peserta tetap merasa kesulitan karena soal-soal yang disertai gambar, simbol, dan grafik tidak bisa dijelaskan oleh si pengawas, sehingga peserta tuna netra dipaksa berimajinasi.
"Seharusnya siswa yang memegang naskah soal, bukan pengawas," kata Sabar.
Menurut dia, seharusnya setiap daerah peduli dengan UN terutama naskah Braille karena hal itu berurusan dengan generasi mendatang. "Bisa jadi ada penyandang disabilitas yang handal tetapi kalau tidak dikasih fasilitas UN braille, maka kesempatannya menjadi terpotong," katanya.
Selain itu, Sabar juga mempertanyakan dana yang dialokasikan pemerintah untuk pengadaan naskah soal braille saat UN tersebut.
Terkait biaya pengadaan naskah soal braille, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Retno Listyarti mengakui biaya yang dibutuhkan memang mahal. "Soal braille cukup mahal, diperkirakan Rp500.000 per soal. Tapi seharusnya, harga tidak menjadi halangan bagi pemerintah," kata Retno. (ANT)