Menuju konten utama

Sejarah Singkat Batik Solo Beserta Penjelasan Ciri Khas Motifnya

Berikut ini sejarah Batik Solo dan penjelasan mengenai ciri khas motifnya. Batik Solo memiliki motif yang dipengaruhi oleh Kasunanan Surakarta.

Sejarah Singkat Batik Solo Beserta Penjelasan Ciri Khas Motifnya
Proses pembuatan produksi rumahan kain batik tulis dan batik cap di Laweyan, Solo. tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Sejarah batik solo dapat ditarik ke belakang hingga era Raja Paku Buwono III. Motif khas batik solo muncul pertama kali pada masa Raja Kasunanan Surakarta itu memerintah pada 1749-1788.

Lahir di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta, batik solo kemudian dikembangkan para perajin dari luar istana. Pada abad 19, kerajinan batik telah dikenal luas oleh masyarakat Jawa Tengah.

Sejarah batik di Indonesia sebenarnya masih terus diteliti. UNESCO memang sudah mengakui dan menetapkan batik sebagai Warisan Budaya Tak Benda dari Indonesia sejak 2 Oktober 2009. Hanya saja, asal-usul batik hingga kini diketahui secara pasti.

Sejarah Asal-usul Batik Menurut para Ahli

Jauh sebelum Kasunanan Surakarta berdiri, batik sudah dikenal oleh masyarakat di Jawa. Busana dari kain berlukiskan motif tertentu ditengarai sudah dikenal semasa Kerajaan Kediri (1042-1222). Sebagian peneliti sejarah bahkan menduga batik adalah produk budaya asli masyarakat nusantara, meski ada pula yang menyebut ia bagian dari pengaruh kultur India.

Roosmalawati Rusman dkk. dalam Sejarah Kebudayaan Indonesia 8: Sistem Pengetahuan (2007), mengutip pendapat dari arkeolog Belanda J.L.A. Brandes yang menduga seni batik sudah dikuasai nenek moyang bangsa Indonesia sebelum kebudayaan India menyebar di nusantara.

Hasil penelitian terbaru lainnya memperkirakan seni batik, atau melukis kain busana dengan motif tertentu, telah ada di Jawa pada Abad 12 M. Menurut Adi Kusrianto melalui makalah "Menelusuri Asal-usul Batik" yang tersaji di Seminar Nasional IKJ 2022 [PDF], salah satu buktinya terlihat dari Arca Ganesha di Candi Panataran yang mamakai kain motif warongrong, serupa simbol mandala.

Candi Panataran diduga berdiri pada awal Abad 12 (sekitar 1197 M). Namun, tulis Kusrianto, motif busana Ganesha di Panataran identik dengan pahatan relief Candi Prambanan yang dibangun pada pertengahan Abad 9 M.

Makna istilah 'batik' dan akar bahasanya sampai sekarang juga masih menjadi perdebatan. Dalam buku Batik: Warisan Adiluhung Nusantara (2011) karya Asti Musman dan Ambar B. Arini, terdapat penjelasan bahwa istilah 'batik' berasal dari 2 kata dari bahasa Jawa, yakni 'mbat' dan 'tik'.

Di bahasa Jawa, 'mbat' dapat diartikan sebagai ngembat atau melempar berkali-kali, sedangkan 'tik' berasal dari kata titik. Jadi membatik bermakna melempar titik-titik berkali-kali di kain untuk membentuk motif tertentu.

Rumusan etimologi tadi dinilai kurang tepat oleh Adi Kusrianto melalui bukunya, Menelusuri Asal-usul Batik: Benang Merah antara Sejarah, Dongeng Panji hingga Hasil Riset Modern (2021). Dia meyakini, kata batik baru muncul pada era Sultan Agung memimpin Mataram Islam, yakni 1613-1645 M.

Merujuk pada studi peneliti asal Belanda, Gerret Pieter Rouffaer (1860-1928), Kusrianto mencatat kata 'batik' lebih dekat maknanya dengan 'serat'. Rouffaer menemukan kata 'batik' (sebagai kata benda) dan 'ambatik' (sebagai kata kerja) di naskah Babad Sangkala yang ditulis pada 1738-1740.

Menurut Kusrianto, kosakata 'ngembat" tidak dikenal dalam bahasa Jawa. Kata tersebut di bahasa Sunda bermakna "jalan lurus." Bagi masyarakat Betawi, 'ngembat' bahkan terkait dengan aktivitas mengambil atau mencuri. Maka itu, Kusrianto lebih mendukung pemaknaan 'batik' yang mengacu pada aktivitas menulis, seperti menggoreskan canting di kain.

"Dalam bahasa Jawa Kromo (bahasa Jawa untuk strata atas), 'batik' artinya 'serat' (kata benda) yang berarti tulisan, dan 'ambatik' artinya 'nyerat' (kata kerja) yang berarti menulis," terang Adi Kusrianto (2021:106).

Sejarah Singkat Batik Solo

Kerajinan batik ditengarai sudah dikenal masyarakat Solo dan sekitarnya sejak periode Kesultanan Pajang. Namun, pusat kerajaan ini lenyap karena gempuran Mataram Islam semasa Sultan Agung, dan wilayahnya sempat dikosongkan. Kampung Batik Laweyan yang sudah ada sejak Abad 14 kini diyakini sebagai penerus tradisi batik Pajang.

Batik Solo yang dikenal sampai sekarang baru muncul setelah Perjanjian Giyanti dibuat pada tahun 1755. Perjanjian yang difasilitasi oleh VOC ini membelah Kerajaan Mataram Islam menjadi 2, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Muslichah Erma Widiana melalui bukunya, Monograf Manajemen Usaha Batik Nusantara (2020:38), menerangkan, setelah ada Perjanjian Giyanti, Raja Kasunanan Surakarta Paku Buwono III memberi perintah agar para abdi dalem membuat motif batik motif batik Gagrak Surakarta. Motif batik baru itu untuk membedakan dari corak khas Mataram Islam yang dipakai Keraton Yogyakarta.

Banyak warga Surakarta kemudian berlomba-lomba membuat banyak corak batik baru. Agar tidak banyak ragam corak muncul, Paku Buwono III membakukan motif kain batik yang boleh dikenakan di istana Kasunanan Surakarta. Dari perintah itulah diduga motif khas Batik Solo muncul.

Menukil catatan Muslichah Erma Widiana (2020:39), beberapa motif yang kala itu boleh dipakai di istana Surakarta adalah: batik sawat; batik parang; batik cemukiran yang ujungnya serupa paruh burung podang, bagun tulak, minyak teleng, serta berwujud tumpal; dan batik cemukiran dengan ujung mirip lung (daun tumbuhan yang menjalar di tanah).

Kain batik dengan motif-motif tersebut cuma boleh dikenakan oleh para pejabat tinggi dan kerabat Kerajaan Surakarta. Masyarakat umum (kawula) dilarang mengenakan jenis-jenis batik tersebut.

Kain-kain batik yang dikenakan para petinggi dan kerabat Kasunanan Surakarta dibuat oleh banyak abdi dalem. Mereka tinggal di luar Keraton Surakarta. Aktivitas para abdi dalem itu lantas memicu kemunculan komunitas perajin batik di luar istana, seperti Kratonan, Kusumodiningratan, Kauman, dan Pasar Kliwon.

Pamor Batik Solo semakin meluas ketika Kasunanan Surakarta mengembangkan usaha batik pada awal abad 20 hingga mencapai kejayaan pada era 1970-an. Banyak pengusaha di Solo kemudian juga sukses mengembangkan bisnis batiknya hingga sekarang.

Ciri Khas Motif Batik Solo

Ciri khas dari batik solo dapat disimak pada corak garisnya, batik Solo cenderung lebih tipis dan kecil. Dari segi motifnya, batik Solo cenderung menggunakan latar berwarna coklat atau warna gelap lainnya. Pemilihan warna tersebut melambangkan kerendahan diri, kesederhanaan, dan sifat membumi.

Namun, di luar ciri khas umum tersebut, setiap kotif batik solo mempunyai makna dan filosofinya tersendiri. Misalnya, batik motif Sidomukti, yang dianggap menyimbolkan kesejahteraan, harapan, dan kemuliaan. Kemudian, ada juga batik motif parang yang menggambarkan semangat yang tak pernah padam.

Anita Chairul Tanjung dalam bukunya, Pesona Solo (2013) menerangkan, dari segi motifnya, Batik Solo mengadopsi pola geometris maupun non-geometris yang berlaku dominan di Jawa. Karakter khas Batik Solo, sebagaimana diterangkan keluarga Danar Hadi, terbentuk dari pesan filosofi yang tertuang di motif-motifnya.

Misalnya, pola batik Parang Canthel yang digunakan untuk para gadis saat menjalani upacara haid pertama. Polanya serupa kait karena mencerminkan pesan agar anak gadis yang sudah melewati haid pertama lekas kecanthel atau mendapatkan jodoh.

Contoh yang lainnya ialah pola Semen Rante, motif batik yang dikenakan perempuan saat sedang menjalani prosesi lamaran. Pola batik Semen Rante melambangkan bahwa gadis pemakainya akan segera terikat dalam pernikahan.

Baca juga artikel terkait EDUKASI DAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Mohamad Ichsanudin Adnan

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Mohamad Ichsanudin Adnan
Penulis: Mohamad Ichsanudin Adnan
Editor: Addi M Idhom