tirto.id - Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) berdiri pada 19 April 1930, tepat hari ini 91 tahun lalu. Organisasi ini merupakan salah satu perkumpulan tertua yang memakai kata "Indonesia" dan masih eksis sampai kiwari.
PSSI didirikan oleh tujuh klub Bumiputra, yakni Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB/Persebaya), Voetbal Indonesische Jakarta (VIJ/Persija), Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (BIVB/Persib), Persatuan Sepakbola Mataram (PSM Yogya), Voerslandsche Voetbal Bond (VVB/Persis Solo), Madioensche Voetbalbond (VVB), Indonesische Voetbal Bond Magelang (IVBM/PPSM Magelang). Ketua pertama PSSI adalah Ir. Soeratin Sosrosoegondo.
Menurut Eddi Elison dalam Soeratin Sosrosoegondo, Menentang Penjajahan Belanda dengan Sepak Bola Kebangsaan, ketua pertama PSSI itu keluar dari pekerjaannya di perusahaan konstruksi bangunan milik Belanda dengan gaji besar, demi membangun sepakbola dengan tujuan mendidik kaum Bumiputra melalui olahraga.
Sementara Srie Agustina Palupi dalam Politik dan Sepak Bola di Jawa 1920-1942 menjelaskan, terdapat dua hal penting dalam pendirian PSSI. Pertama, PSSI merupakan organisasi sepakbola yang politis karena didukung oleh organisasi pergerakan Indonesia sebagai tindak lanjut Sumpah Pemuda 1928. Kedua, PSSI adalah organisasi otonom yang tidak menggantungkan diri kepada kerjasama organisasi sepakbola kolonial seperti Nederlandsche Indische Voetbal Bond (NIVB).
Pembuktian itu dapat dilihat dari peristiwa gentlemen’s agreement pada 15 januari 1937 antara PSSI dengan NIVU (Nedherlands Indishe Voetbal Unie), nama baru NIVB. NIVU mengajak PSSI bekerjasama dalam pemantauan perkembangan pemain berbakat. Dalam perjanjian tersebut dijelaskan bahwa kedudukan PSSI dan NIVU secara de facto dan de jure memiliki hak dan derajat yang sama.
Namun menjelang Piala Dunia 1938 terjadi pembatalan gentlemen’s agreement oleh Ir. Soeratin karena perselisihan nama kesebelasan yang akan dikirim ke Prancis. PSSI bersikukuh bahwa wakil timnas di Piala Dunia adalah Timnas Indonesia PSSI bukan NIVU, tetapi FIFA mengakui NIVU sebagai wakil Dutch East Indies. Ir. Soeratin menolak memakai nama itu karena ketika NIVU mempunyai hak, maka komposisi pemain ditentukan oleh orang-orang Belanda secara diskriminatif.
Alat Diplomasi
Setelah proklamasi kemerdekaan, salah satu upaya untuk menunjukkan eksistensi Indonesia adalah melalui sepakbola. Timnas Indonesia diberangkatkan mengikuti serangkaian kejuaraan olahraga bergengsi seperti Olimpiade, Asian Games, dan pertandingan persahabatan internasional dari India sampai ke Eropa Timur.
Nama Indonesia sempat menggemparkan dunia lantaran berhasil menahan imbang Uni Soviet yang diperkuat salah satu kiper terbaik dunia, Lev Yashin, dengan skor kacamata pada Olimpiade Melbourne 1956.
Madjalah Olahraga edisi 5 Desember 1956 melansir pemberitaan salah satu media asing yang di antaranya melaporkan kegemilangan kiper Indonesia, Maulwi Saelan: “Indonesia held hot favorite Russia to a scoreless draw in the first hock result of the Olympic football tournament yesterday.... The Russians were masters everywhere on the filed except where it counted most-in the goal square. Russia sent the ball over the goal line 46 times, forced 23 corner kicks, and compelled keeper Saelan to defend his goal for 20 saves. In all Saelan put the ball back into play 66 times during the 120 minutes of play.”
Prestasi Timnas Indonesia di kejuaraan internasional Asia pada era Sukarno adalah sampai semifinal Asian Games Manila 1954, dan meraih perunggu di Asian Games Tokyo 1958. Raihan prestasi itu sampai saat ini masih menjadi pencapaian tertinggi.
Saat melakukan tur ke Eropa Timur, timnas Indonesia mendapat sambutan yang hangat. Begitu pula pada gelaran Ganefo yang diselenggarakan oleh Sukarno di Jakarta--sebagai tandingan Olimpiade--disambut positif oleh negara-negara yang baru merdeka.
Semakin Meredup
Pada era Orde Baru, Timnas Indonesia tidak mampu memberikan gelar membanggakan selain beberapa kali berhasil meraih medali emas pada gelaran pesta olahraga Asia Tenggara, SEA Games. Sejak medali emas SEA Games Manila 1991, di level Asia Tenggara pun pecinta olahraga si kulit bundar negeri ini kerap dibuat kecewa kerena Timnas Indonesia selalu kalah di final, semifinal, dan bahkan sempat tidak lolos dari fase penyisihan grup.
Alih-alih prestasi, yang sering muncul di PSSI justru konflik kepentingan. Sejak lahir, PSSI memang sarat dengan muatan politik. Namun, saat itu misinya membawa spirit politik kebangsaan, bukan kepentingan individu atau golongan.
Kini, PSSI hanya sebagai organisasi tertua yang memakai nama "Indonesia", karena organisasi seangkatan mereka seperti Perhimpunan Indonesia, Partai Komunis Indonesia, Partai Nasional Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia, dan Partai Sosialis Indonesia, sudah tiada.
Konon, Gus Dur pernah melemparkan guyonan: apabila seseorang sakit gigi, maka untuk mengobatinya harus pergi ke dokter gigi. Begitu juga dengan sepakbola Indonesia, ketika sakit harus diobati oleh orang yang mengerti atau ahli dalam sepakbola. Dulu, nakhoda PSSI kerap dari kalangan tentara, kini diketuai oleh polisi.
Publik tanah air pasti rindu dengan prestasi Timnas Indonesia dan tata kelola sepakbola Indonesia yang baik dan profesional. Masyarakat tidak menginginkan dualisme kepengurusan, juga jadwal kompetisi yang berantakan.
Editor: Irfan Teguh Pribadi