tirto.id - Perang Dunia II mengandaskan impian Ali Sadikin. Kakak-kakaknya sempat dibawa pamannya ke Pasar Gambir—sebuah pesta niaga dan pameran, serta keriaan—di Batavia secara bergantian. Saat gilirannya tiba, perang keburu pecah. Pasar Gambir terhenti. Ali Sadikin hanya menikmatinya lewat surat kabar Java Bode.
“Cuma dongengnya saja sempat dengar, atau terbaca di koran Bandung Java Bode bahwa Pasar Gambir itu keramaian yang menyenangkan. Kenangan itulah yang membuka pikiran saya untuk mengadakan Jakarta Fair,” ungkapnya dalam Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).
Kenangan Ali Sadikin tentang Pasar Gambir tentu bukan kenangan yang menyenangkan. Toh, ia tak sempat menikmatinya selain dari koran dan cerita dari saudara-saudaranya. Jakarta Fair yang ia gagas, yang namanya kemudian menjadi Pekan Raya Jakarta, lebih tepat disebut “balas dendam” atas impian masa remajanya yang rerak berhamburan.
Memperingati Penobatan Sang Ratu
Pasar Gambir sebagai cikal bakal Pekan Raya Jakarta dimulai sejak 1906 untuk memperingati penobatan Ratu Wilhelmina pada 31 Agustus 1898. Penyelenggaraan setiap tahun dengan durasi waktu kira-kira dua pekan, yakni mulai akhir Agustus sampai pertengahan September.
Sebelum Pasar Gambir lahir, menurut Zeffry Alkatiri dalam Pasar Gambir, Komik Cina & Es Shanghai: Sisik Melik Jakarta 1970-an (2010), terlebih dulu hadir sebuah pameran etnografi dan kerajinan tangan yang diadakan pada 1853 di Batavia. Pasar Gambir adalah penerus pameran itu.
Selain itu, sebelumnya juga telah ada pasar malam di daerah Cikini, tepatnya di depan rumah pelukis Raden Saleh. Namun, Pasar Gambir yang pelaksanaannya selalu besar dan meriah, menjadi pasar yang paling ditunggu warga Batavia dan sekitarnya.
Selain Pasar Gambir di Batavia, kegiatan serupa juga ada di Bandung yang bernama Jaarbeurs, dan Jaarmarkt di Surabaya.
Hiburan dan Menanti Tema dengan Debar
Dalam catatan Zeffry Alkatiri, penjualan pelbagai produk di Pasar Gambir diprakarsai Departement van Onderwijs Eeredients en Nijverheid atau Departeman Pendidikan, Agama, dan Kerajinan Pemerintah Hindia Belanda.
Dan mulai 1918, hal tersebut diambil alih oleh panitia khusus pameran Pasar Gambir. Penyelenggara baru ini kemudian menambahkan pelbagai acara hiburan, sehingga Pasar Gambir semakin semarak.
Hiburan tersebut di antaranya pemutaran film di bioskop terbuka dan tertutup, permainan ketangkasan, boksen, konkurs keroncong, dan konser musik.
Dari acara konkurs keroncong inilah muncul sejumlah penghibur kenamaan pada zamannya seperti Miss Riboet, Annie Landouw, Bram Titaley atau Bram Aceh, dan Abdullah.
Sementara dari gelanggang boksen hadir sejumlah petinju terkenal, di antaranya Kid Bellel, Kid Darlin, Kid Yusuf, Young Sattar, dan Boby Nyo.
“Mereka menjadi lebih lebih dikenal karena sering adu jotos di ring boksen yang disediakan setiap malam Minggu,” tulis Alkatiri.
Sejak awal 1920-an, sebagaimana ditulis Setiadi Sopandi dalam Friedrich Silaban (2017), perancangan penampilan Pasar Gambir ditangani J.H. Antonisse (bapak angkat dan guru Friedrich Silaban). Di tangannya, Pasar Gambir hadir dengan semangat estetik yang rancang bangunnya tak jarang diasosiasikan dengan etnis atau daerah tertentu.
“Pelbagai bangunan bertemakan representasi elemen arsitektural dari pelbagai daerah atau negara dikemas dengan interpretasi tertentu,” imbuhnya.
Sebagai contoh, tahun 1922 Pasar Gambir hadir dengan tema arsitektur bergaya Siam. Lalu pada 1924 bergaya Jepang, 1928 bergaya Minang, 1929 bergaya Bali, 1931 bergaya Minang dan Dayak, 1932 bergaya Lombok, 1934 bergaya Cina. Dan tak jarang beberapa gaya dicampur menjadi satu.
Perubahan tema gaya arsitektur pada Pasar Gambir sempat disinggung dalam sebuah roman karya N. Riantiarno bertajuk Primadona (2006). Dalam kisah itu disebutkan bahwa salah satu daya tarik Pasar Gambir adalah pintu gerbangnya, yang selalu berubah-ubah setiap tahun penyelenggaraan.
“Kotapraja merekrut para insinyur dan mengumpulkannya dalam sebuah tim. Tugas tim, mensurvei bangunan-bangunan tradisional, memodifikasi, lalu menjadikannya sebagai bangunan pintu gerbang utama Pasar Gambir. Setiap tahun masyarakat sering bertanya: ‘Apa bentuk bangunan Pasar Gambir tahun ini?’ Mereka menunggu dengan hati berdebar-debar,” tulisnya.
Namun, jika melihat catatan Setiadi Sopandi dalam Friedrich Silaban (2017), masyarakat yang berdebar-debar menanti bentukan bangunan eksostis yang didirikan dengan kayu dan bambu itu ternyata hanya segelintir. Mereka adalah masyarakat Eropa yang memandangnya sebagai “liyan”, dan serta orang-orang yang dalam kategori kolonial disebut "Timur Asing" (Cina, Arab, dan sebagainya).
Perang danHidup Kembali
Sebagaimana penuturan Ali Sadikin, juga menurut Alwi Shahab dalam Betawi: Queen of the East (2002), Pasar Gambir berakhir saat Perang Dunia II pecah, atau saat Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942. Sementara Zeffry Alkatiri menyebutnya lebih awal, yakni pada 1939.
Setelah kaum penjajah hengkang, tepatnya pada peringatan kemerdekaan RI yang ke-5, di lapangan Gambir sempat diadakan pasar yang bernama “Pasar Malam Kenang-kenangan” yang berlangsung mulai 17 Agustus sampai 17 September 1950.
Saat itu membawa pulang kerak telur dan martabak setelah keliling pasar malam merupakan ciri khas. Sementara hiburan musiknya berkurang karena diganti dengan lotre.
“Hiburan lainnya yang juga menjadi daya tarik adalah akrobat dan tong setan yang meneruskan tradisi crossboy Indo bermain motor. Selain itu, muncul hiburan orang kate (orang pendek) yang menjajakan jamu kuat dari suatu pabrik jamu,” tulis Alkatiri.
Sedangan dalam catatan Edi Sedyawati dan kawan-kawan dalam Sejarah Kota Jakarta 1950-1980 (1987), hiburan lain dalam pasar malam tahun 1950 itu di antaranya lenong, cokek, dan gambang kromong.
Memasuki akhir 1960-an, yakni ketika Ali Sadikin menjadi Gubernur Jakarta, kegiatan niaga dan hiburan besar seperti Pasar Gambir mulai dihidupkan kembali dengan nama Jakarta Fair.
Acara ini kemudian rutin diadakan setiap tahun untuk merayakan ulang tahun kota Jakarta. Setelah bandara dipindahkan ke Cengkareng, Jakarta Fair yang semula di Gambir kemudian dipindahkan ke Kemayoran.
Ihwal pergantian nama Jakarta Fair menjadi Pekan Raya Jakarta, dalam biografinya yang ditulis Ramadhan K.H., Ali Sadikin menerangkan, “Ya, ada masanya saya kumandangkan suara saya untuk mempergunakan lebih banyak sebutan-sebutan dalam bahasa Indonesia dan mengurangi sebutan-sebutan dalam bahasa asing.”
Editor: Ivan Aulia Ahsan