Menuju konten utama

Sejarah Pemilu 1997: Menjelang Kejatuhan Soeharto dan Orde Baru

Pemilu 1997 tercatat dalam sejarah sebagai pemilu terakhir rezim Orde Baru kendati Golkar tetap menang telak dan Soeharto menjadi presiden lagi.

Soeharto. FOTO/gahetna.nl

tirto.id - Pemilihan Umum 1997 adalah pemilu ke-6 di masa Orde Baru dan pemilu ke-7 dalam sejarah sejak Indonesia merdeka. Golkar menang lagi, Soeharto kembali berkuasa. Namun, Pemilu 1997 ternyata menjadi pemilu terakhir rezim Orba karena pada 21 Mei 1998, Soeharto tumbang dari kursi kepresidenan yang telah sekian lama ia kuasai.

Seperti pemilu-pemilu sebelumnya, Pemilu 1997 merupakan ajang untuk memilih anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kotamadya, bukan untuk memilih presiden dan wakil presiden.

Atmosfer protes di masyarakat terhadap rezim Soeharto mulai menghangat kala itu. Orde Baru sedang berada dalam titik jenuhnya. Situasi ini membuat PPP dan PDI lebih leluasa melontarkan kritik selama kampanye.

Selain banyak praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang kian kentara di tubuh rezim, sumber protes lain adalah peran politik ABRI. Golongan militer kala itu menduduki 100 dari 500 kursi di parlemen.

Rezim Soeharto berusaha meredam protes itu dengan menerbitkan Undang-Undang No. 5/1995 tentang Susunan dan Kedudukan MPR baru. Dalam UU ini, jumlah kursi ABRI di DPR dikurangi, dari 100 menjadi 75.

Namun, upaya ini dianggap belum bisa membuat demokrasi di Indonesia menjadi lebih baik. Pasalnya, Golkar masih menjadi kendaraan politik Orde Baru. Ormas berlambang pohon beringin ini selalu meraih kemenangan telak di setiap pemilu berkat campur-tangan pemerintah.

“Dalam praktek, pemerintah masih saja berat kepada Golkar. Aparat pemerintah tetap mengemban misi memenangkan Golkar, sehingga berbagai rekayasa yang berbau kekerasan politik terus berlangsung,” tulis Tim KPU dalam Pemilu Indonesia dalam Angka dan Fakta (2000).

Golkar terus mengulang materi kampanye tentang pembangunan dan klaim prestasi semu pemerintah di bawah kepemimpinan Soeharto. Di sisi lain, PPP dan PDI tentu saja melancarkan kritik kendati belum benar-benar punya keberanian untuk menyerukan perubahan.

“Penguraian lebih jauh tentang bagaimana proses pembaruan dan atau perubahan ini akan dilaksanakan tampaknya tidak terungkap dalam pemberitaan media massa,” demikian tertulis dalam buku Pemilihan Umum 1997: Perkiraan, Harapan, dan Evaluasi (1997) karya J. Kristiadi dan kawan-kawan.

“[...] atau memang ketiga OPP [Organisasi Peserta Pemilu] belum mempunyai konsep tentang cara dan ke mana arah proses pembaruan dan atau perubahan akan dilangsungkan. Akibatnya, terkesan ketiga OPP hanya mengumbar janji-janji yang sloganistis,” imbuhnya.

Dinamika kampanye Pemilu 1997 terutama disebabkan oleh dua hal, yakni meningkatnya kerusuhan dan munculnya “koalisi” Mega-Bintang. Kekerasan dan keberingasan massa meningkat kala kampanye memasuki putaran-putaran terakhir. Insiden sering terjadi di antara massa pendukung OPP atau bahkan antara massa dengan aparat keamanan.

Fenomena Mega-Bintang mulanya disulut oleh pecahnya internal PDI, antara PDI pimpinan Soerjadi dan PDI pimpinan Megawati Sukarnoputri. Kabar yang beredar kala itu menyebut bahwa kubu Megawati mendekat dan akan mengalihkan suara pendukungnya ke PPP.

Kendati demikian, antusiasme atas munculnya isu koalisi “Mega-Bintang” ini tampak hanya terjadi di Jawa. Pimpinan pusat PPP pun menolak secara resmi adanya koalisi ini.

Pemungutan suara diselenggarakan pada 29 Mei 1997. Golkar kembali menjadi pemenang dengan perolehan suara 74.51 persen. PPP ada di urutan kedua dengan 22.43 persen suara. Sementara itu, PDI yang dilanda perpecahan internal merosot drastis dengan hanya meraup 3,06 persen suara.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Politik
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Iswara N Raditya