Menuju konten utama

Sejarah Kebencian terhadap Yahudi di Indonesia

Yahudi sering dianggap identik bahkan sama dengan Zionisme dan negara Israel, terutama saat membahas konflik antara Israel-Palestina dan negara-negara Arab di kawasan serta pendudukan di Jalur Gaza. Prasangka anti-Yahudi langgeng di Indonesia.

Sejarah Kebencian terhadap Yahudi di Indonesia
Warga Yahudi ditangkap oleh tentara Jerman saat pemberontakan Ghetto Warsawa, Polandia. FOTO/ Stroop Report

tirto.id - Yudaisme, Yahudi, dan Zionisme bukan sesuatu yang netral. Tetapi ia juga tak bisa seketika disejajarkan atas tindak-tanduk Israel terhadap Palestina.

Yudaisme adalah keyakinan yang dianut orang-orang berdarah Yahudi; orang-orang keturunan Abraham, Ishak, dan Yakov. Sedangkan Zionisme adalah gerakan kebangsaan untuk mendirikan sebuah negara merdeka, yang kita kenal sebagai Israel. Lantaran langkah yang disebutkan belakangan itu, yang memunculkan konflik dengan Palestina dan melanggengkan perseteruan geopolitik di kawasan, mayoritas muslim termasuk di Indonesia menilai bahwa "orang Yahudi" itu jahat dan semua yang merundung Palestina itu "salah Israel."

Menurut data Anti-Defamation League, 26 persen orang dewasa dari 102 negara di seluruh dunia memiliki pemahaman yang keliru tentang Yahudi dan Israel, termasuk 48 persen dari 156,4 juta orang dewasa di Indonesia. Mereka antara lain beranggapan bahwa orang-orang Yahudi hanya memedulikan kaum sendiri dan Israel telah membikin kacau seluruh dunia dengan perang, lobi, dan tipu-tipu.

Baca ulasan dari kami tentang konflik antara Israel dan Palestina: Kisah Sedih, Perang, dan Musuh yang Diciptakan

Dari beberapa keturunan Yahudi di Indonesia yang saya kenal, misalnya, mayoritas menolak sebagai subjek tulisan. Termasuk Rabi Benjamin Meijer Verbrugge, ketua The United Indonesian Jewish Community serta salah seorang pemuka agama Yahudi di Indonesia. Meski bersedia diwawancara, tetapi ia minta agar wajahnya tidak ditampilkan.

Prasangka terhadap Yahudi, dan faktor Indonesia berpenduduk mayoritas muslim, membuat Indonesia dan Israel hingga kini tak punya hubungan diplomatik resmi. Meski begitu, para pengusaha dari kedua negara ini malu-malu menjalin kongsi dagang, dan beberapa kali upaya lobi Israel kepada Indonesia tertangkap radar media massa.

Sentimen kebencian terhadap Yahudi di era politik mutakhir berakar dari Perang Enam Hari pada 1948 ketika Isarel merebut tanah yang didiami oleh Palestina. Sentimen anti-Yahudi makin menguat ketika Israel menduduki Gaza dan Tepi Barat pada 1967. Tahun ini pendudukan itu berumur 50 tahun, termasuk 10 tahun blokade ilegal oleh otoritas Israel yang melarang rakyat Palestina di Gaza bepergian lewat darat, udara, dan laut, serta mayoritas penduduknya telah pergi menjadi diaspora sejak 1948 itu. (Lihat infografik 50 tahun pendudukan Gaza)

Alwi Shahab, wartawan-cum-esais Republika, dalam satu artikel berjudul "Menelusuri Jaringan Yahudi di Indonesia" menjelaskan, pada abad 19 dan 20 serta jelang Belanda hengkang dari Indonesia, ada sejumlah Yahudi yang membuka toko-toko di Noordwijk (kini Jalan Juanda) dan Risjwijk (Jalan Veteran), kedua kawasan elite di Batavia saat itu. Mereka mencari peruntungan dengan menjual-beli emas, perak, berlian, hingga kaca mata.

Namun, romantisme kehidupan Yahudi dan muslim di Jakarta ini tak bertahan lama. Pada 1952, empat tahun setelah Perang Enam Hari, orang-orang Yahudi di Indonesia mulai menutupi identitasnya. Sukarno dalam satu pidatonya secara terbuka menentang berdirinya negara Israel dan menolak semua inisiatif Israel untuk menjalin hubungan dengan Indonesia.

Infografik HL Yahudi di Aceh

Dari Masa Hindia Belanda hingga Era Sukarno

Sentimen terhadap Yahudi di Indonesia bukan hanya saat Israel menduduki tanah Palestina. Tapi sentimen anti-Yahudi ini sudah lama sejak era Hindia Belanda.

Herbert Ivan Bloom dalam The Economic Activities Of The Jews of Amsterdam in the Seventeenth and Eighteenth Centuries (1937) menulis, meski Serikat Dagang Hindia Timur (VOC) ialah usaha patungan saudagar Yahudi, tetapi mereka tak diberikan keleluasaan untuk terlibat sebagai karyawan atau tentara VOC.

Penyebab kebencian itu karena kebanyakan orang Yahudi masih mempertahankan keyakinan menganut dan menjalankan ajaran Yudaisme. Namun, situasi ini berubah ketika meningkatnya perdagangan VOC. Pada 1782, kebijakan itu pun dibuat longgar. Juga lantaran minimnya sumber daya manusia. Ia akhirnya memungkinkan orang-orang Yahudi menjadi karyawan atau tentara VOC. Lewat kiprah VOC sebagai maskapai dagang multinasional pertama di dunia, orang menangkap kesan betapa kuatnya "jaringan orang Yahudi" di Eropa.

Meski mengesankan kekuatan lewat VOC, dan mereka diberi ruang menduduki posisi strategis dalam administrasi, toh ada beberapa lembaga yang menghambat kiprah mereka. Bank Java dan Bank Komersial Hindia Belanda, misalnya, menolak orang Yahudi untuk duduk dalam struktur kepegawaian.

Ketika Jepang menduduki Hindia Belanda selama tiga tahun sejak 1942, kebijakan rasial makin meruncing menargetkan orang-orang Yahudi. Jepang memecah lapisan sosial masyarakat lewat identitas rasial: keturunan kulit putih, murni, campuran, dan orang Asia. Dampaknya sikap yang terbelah terhadap Yahudi-Eropa dan Yahudi-Asia.

Kelompok Yahudi-Eropa segera ditawan dalam kamp-kamp di Tangerang, Ambarawa, Cimahi, dan Batavia. Namun tidak berlaku bagi Yahudi-Jerman, Italia dan Rumania, Yahudi-Indo dan Yahudi-Switzerland sebagai kompanyon Jepang dalam perang melawan pasukan Sekutu. Pada pertengahan 1943, kebijakan itu berubah setelah anggota Partai Nazi Jerman menegur Jepang karena tidak tegas terhadap orang-orang Yahudi di Indonesia. Ini berdampak bagi orang-orang Yahudi-Asia yang segera dihela menuju kamp konsentrasi.

Sejarawan Harry J. Benda dalam The Crescent and Rising Sun: Indonesian Islam Under Japanese Occupation 1942-1945 (1958) menulis, bersamaan kebijakan rasial oleh Jepang atas tekanan Jerman itu, kebencian terhadap Yahudi bergema di kalangan penduduk pribumi. Kebencian itu digaungkan oleh beberapa tokoh Indonesia dengan mengembangkan teori konspirasi soal “peranan Yahudi di balik kolonialisme Belanda”.

Saat Indonesia telah merdeka, pada 1957, sewaktu Sukarno menasionalisasi semua bisnis pengusaha Belanda di Indonesia, langkah itu membawa konsekuensi bagi orang-orang Yahudi meninggalkan Indonesia. Mereka lantas bermigrasi ke Israel, Australia, dan Amerika Serikat.

Di Israel, keturunan Yahudi dari Hindia Belanda mendirikan Yayasan Tempo Dulu. Secara berkala, mereka melakukan pertemuan dan mengenang tempo doeloe saat tinggal di Hindia Belanda; mereka yang pernah lahir di Aceh, Banjarmasin, Kebumen, Semarang, dan kota-kota lain yang kelak menjadi bagian dari negara Indonesia.

Pendeknya, para diaspora Yahudi kelahiran Hindia Belanda ini membawa dua impian: Tanah Air mereka adalah Hindia Belanda dan Israel sebagai Tanah Perjanjian.

Baca juga artikel terkait YAHUDI atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Humaniora
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam