Menuju konten utama

Sejarah Hari Ayah di Indonesia, Apa Relevansinya?

Hari Ayah Nasional diprakarsai oleh paguyuban kecil di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Ilustrasi hari ayah. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Sejarah Hari Ibu yang jatuh tiap 22 Desember telah umum diketahui. Tapi bagaimana dengan Hari Ayah? Sejak kapan ia digagas dan dirayakan?

Hari Ayah nampaknya sudah dirayakan sejak abad pertengahan. Dalam masyarakat katolik, ada Hari Santo Yusuf yang jatuh tiap 19 Maret. Santo Joseph, seperti ditulis Greg Tobin dalam Holy Holidays: The Catholic Origins of Celebration (2011:44), diberi gelar "Pelindung Gereja Katolik" oleh Paus Pius IX (1792-1878). Bagi orang Katolik, gereja adalah keluarga. Sebagai pelindung gereja atau keluarga, Santo Yusuf layaknya seorang ayah dalam sebuah keluarga.

Setidaknya Amerika Serikat sudah punya Hari Ayah sejak abad lalu. Sebagaimana yang dicatat oleh Huffington Post dalam "Remembering The Bittersweet History Of Father’s Day" (19/06/18), petisi untuk mengadakan Hari Ayah pertama diajukan oleh Grace Golden Clayton, seorang penduduk negara bagian Virginia Barat yang kehilangan ayahnya dalam sebuah kecelakaan di pertambangan pada Desember 190. Sebanyak 360 orang tewas dalam kecelakaan tersebut. Tak hanya Grace Golden Clayton saja yang kehilangan ayah, ada sekitar 1.000 anak yang jadi yatim saat itu. Namun, Hari Ayah versi Clayton itu hanya dirayakan di Virginia Barat saja.

Masih menurut catatan Hufftington Post, di kota Spokane, Washington, Sonora Smart Dodd juga mengampanyekan Hari Ayah pada 1910, setahun setelah Hari Ibu resmi diumumkan oleh Gereja Methodist di Grafton, Virginia Barat. Buku Encyclopedia of American Folklore (2006:137) yang disusun Linda S. Watts, menyebutkan bahwa Sonora Smart Dodd ingin mengenang ayahnya, seorang veteran Perang Sipil Amerika bernama William Jackson Smart yang telah seorang diri membesarkan Dodd dan saudaranya. Pada 19 Juni 1910, para pendeta Spokane berkhotbah untuk menghormati ayah pada hari itu. Pesan mereka pun bergema ke seantero negeri.

Pada Hari Ayah, anak-anak memberi hadiah kepada ayah. Tak heran, seperti ditulis Leigh Eric Schmidt, dalam Consumer Rites: The Buying and Selling of American Holidays(1997: 286), Hari Ayah menjadi semacam Natal Kedua.

Encyclopedia of American Folklore (2006:137) mencatat bahwa pada 1916 Presiden Woodrow Wilson sepakat agar hari Ayah diliburkan. Presiden Calvin Coolidge, yang memerintah dua tahun setelah Wilson, juga mendorong perayaan Hari Ayah pada 1924. Pada 1966, Presiden Lyndon Johnson menetapkan Hari Ayah jatuh pada minggu ketiga bulan Juni tahun itu. Pada 1972, Richard Nixon, sebelum tumbang oleh skandal Watergate, mengesahkan Hari Ayah pada minggu ketiga itu sebagai hari libur permanen.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/11/12/hari-ayah--mild--quita-01.jpg" width="860" alt="Infografik Hari ayah" /

Di tahun-tahun setelah Nixon menetapkan Hari Ayah sebagai hari libur nasional, seorang pemuda dari Pacitan mendarat di Amerika. Dia tidak sedang belajar teknik industri atau manajemen ekonomi kapitalis, melainkan masuk Sekolah Lintas Udara (terjun Payung) dan Sekolah Ranger di Fort Benning, negara bagian Georgia. Kala itu, sang pemuda Pacitan belum jadi ayah.

Pada 2006, pemuda Pacitan ini tak hanya jadi ayah, tapi juga sudah dua tahun menjabat presiden. Anaknya sudah dua dan semuanya laki-laki. Putra tertuanya kala itu berdinas di militer, sementara si putra bungsu belakangan masuk partai politik. Ia adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Di era pemerintahan SBY inilah Hari Ayah Nasional dicetuskan di Indonesia. Sumber Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan Hari Ayah Nasional dideklarasikan pertama kali di Solo pada 12 November 2006 serta diprakarsai Paguyuban Satu Hati dan Perkumpulan Putra Ibu Pertiwi (PPIP).

Seperti juga kebanyakan hari perayaan lain di Indonesia—yang disahkan lewat deklarasi, kadang berdasarkan Surat Keputusan Presiden atau pejabat negara lainnya—Hari Ayah tidak ditarik dari sebuah peristiwa penting yang berkaitan menggambarkan perjuangan atau pengorbanan seorang ayah untuk masa depan anaknya. Tak seperti Hari Ibu yang maknanya diperebutkan baik oleh yang membatasi peran perempuan hanya di dapur, sumur, kasur, maupun yang merayakan peran ibu di ranah privat dan publik.

Namun, perebutan makna atas peran laki-laki tak terjadi dalam Hari Ayah. Pasalnya, peran laki-laki di ruang publik terlanjur telah diamini sebagian besar orang sehingga laki-laki memang tak butuh diemansipasi.

Melacak relevansi Hari Ayah secara historis pun sulit. Tak seperti Hari Pahlawan tiap yang jelas ditarik dari pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Apa Indonesia tidak punya kisah bagaimana seorang ayah berjuang, bahkan hingga terbunuh atau terluka, demi menjaga anaknya? Tentu banyak dan sudah dipromosikan pada 10 November lalu, bukan dua hari setelahnya.

Baca juga artikel terkait HARI AYAH atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Windu Jusuf
-->