Menuju konten utama

Sejarah Aliran Qadariyah, Tokoh Pendiri, dan Doktrinnya

Qadariyah adalah aliran dalam Islam yang  muncul di zaman Dinasti Umayyah. Bagaiamana sejarahnya, tokoh yang mempelopori, dan bedanya dengan Jabariyah?

Sejarah Aliran Qadariyah, Tokoh Pendiri, dan Doktrinnya
Ilustrasi Buku. tirto.id/iStockphoto

tirto.id - Qadariyah adalah salah satu aliran teologi yang tertua dalam Islam. Aliran ini menjadi antitesis dari aliran Jabariyah. Bagaiamana sejarah kemunculannya dan tokoh yang mempelopori?

Kemunculan aliran Qadariyah tidak semata karena dinamika pemikiran dalam Islam. Di sisi lain, aliran tersebut hadir akibat gejolak politik pada masa Dinasti Umayyah I (661-750 M).

Pokok pemikiran para tokoh aliran Qadariyah yang paling masyhur dalam sejarah ialah pandangan bahwa manusia memiliki kehendak bebas (free will) untuk memutuskan perbuatannya sendiri. Hal ini membuat Qadariyah bertentangan dengan aliran Jabariyah.

Apa yang dimaksud Aliran Qadariyah?

Keyakinan bahwa manusia bebas berkehendak dan bertindak melatarbelakangi penamaan aliran ini dengan istilah Qadariyah. Secara etimologis, Qadariyah dalam bahasa Arab berakar pada kata qadara, yang berarti memiliki kekuatan atau kemampuan. Qadara pun bermakna menentukan atau menetapkan.

Ahmad Ismakun Ilyas, dalam "Sejarah Perdebatan Hakikat: Sebuah Telaah Deskriptif Analitik" yang terbit di Jurnal Al-Turas (Vol 10, No. 1, 2004), menjelaskan, pengikut Qadariyah meyakini manusia merupakan sang "pencipta" bagi perbuatannya masing-masing.

Karena itu, dalam doktrin Qadariyah, kekufuran dan perbuatan maksiat diyakini bukan bagian dari takdir Allah SWT. Sumber dari takdir tersebut berdasarkan atas kehendak bebas manusia sendiri

Sejarah Munculnya Aliran Qadariyah

Sejarah aliran Qadariyah dipelopori Ma'bad Al-Juhani dan Ghaylan Al-Dimasyqi selepas pergantian Kekhalifahan Rasyidin ke Dinasti Umayyah. Tepatnya, masa tersebut berada setelah perpecahan umat Islam karena terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib.

Saat Dinasti Umayyah berdiri, muncul khalifah baru. Ia adalah sahabat Muawiyah bin Abu Sufyan yang menjadi khalifah pertama dari Dinasti Umayyah.

Saat itu, banyak masyarakat muslim tidak setuju dengan gaya politik Muawiyah. Ia menerapkan kebijakan yang bertolak jauh dari pemerintahan Kekhilifahan Rasyidin.

Muawiyah kerap memojokkan oposisi politiknya. Anak Muawiyah, Yazid bin Muawiyah, melalui kekuasaannya telah membunuh Husein bin Ali di Karbala. Gusein bin Ali adalah cucu Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

Saat tekanan politik menerpa pemerintahan, Muawiyah memberikan pernyataan. Jika ia tidak layak menjadi pemimpin umat Islam, maka biar Allah yang memutuskan penggantinya sebagai khalifah.

Di waktu itu, pemikiran Muawiyah tersebut sejalan dengan aliran Jabariyah (fatalisme) yang menyatakan bahwa segala urusan yang terjadi di dunia ini sudah ditentukan oleh takdir. Muawiyah menganggap kedudukannya sebagai khalifah, merupakan karena ketetapan Allah subhanahu wa ta'ala. Jika Allah menghendaki untuk mencopot jabatannya, maka ia tak memiliki kuasa melawan-Nya.

Mengutip Jurnal Ilmu Pendidikan Muhammadiyah Kramat Jati Volume 5 No. 1 (2024), aliran Qadariyah mulai berkembang pada Dinasti Umayyah sekira pertengahan abad pertama hijriah, tepatnya tahun 70H (689 M). Aliran ini dibawa oleh Ma'bad Al-Juhani bersama muridnya, Ghaylan Ad-Dimasyqi, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M).

Paham Qadariyah adalah mengedepankan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak sendiri, mendapat respon positif dan diterima oleh sebagian besar penduduk Irak. Di sisi lain, Ma'bad dikenal pula sebagai ulama terkemuka.

Pemikiran tersebut dipastikan menyerang fondasi teologis yang menjadi legitimasi kekuasaan Dinasti Umayyah. Akhirnya, Ma'bad dan pengikutnya ditangkap Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Ma'bad lalu dijatuhi hukuman mati di Damaskus pada tahun 80H (690H)

Sejarah munculnya aliran Qadariyah lalu dilanjutkan Ghaylan Al-Dimasyqi. Ia meneruskan dakwah Qadariyah dari gurunya di Damaskus. Namun, paham tersebut ditentang oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dakwah aliran itu pun sempat surut.

Setelah Khalifah Umar bin Abdul Aziz wafat, Ghaylan kembali meneruskan untuk mengajarkan aliran Qadariyah pada penduduk. Aksinya ini diketahui oleh Hisyam bin Abdul Malik. Setelah melalui perdebatan antara Ghaylan dan Al Auza' yang turut dihadiri Hisyam, dijatuhkanlah hukuman mati untuk Ghaylan.

Tokoh-Tokoh Aliran Qadariyah

Sosok utama yang dikenal sebagai tokoh aliran Qadariyah adalah Ma'bad Al-Juhani dan Ghaylan Al-Dimasyqi. Ma'bad adalah guru dari Ghaylan.

Ma'bad Al-Juhani (Ma'bad ibn Kalid al-Juhanī) lahir di Basrah dan menjadi bagian dari suku Juhaynah. Ma'bad masih termasuk generasi tabiin dan dikenal sebagai muhaddits (ahli hadis). Ia pernah berguru pada ulama besar Hasan Al Basri.

Ma'bad mendapat paham Qadariyah dari Sinbuya (Abu Yunis Sinbuya Asvari). Sinbuya menjadi pencetus doktrin kehendak bebas. Orang Persia yang menjadi pasukan kavaleri elit Sassania (Asvaran) ini lantas dihukum mati oleh Khalifah Abdul Malik, atau dalam riwayat lain oleh Al Hajjaj bin Yusuf.

Sepeninggal Sinbuya, Ma'bad mengajarkan doktrin dari Sinbuya di Damaskus sekira akhir abad ke-7. Ajaran Qadariyah dari Ma'bad lantas dinyatakan sesat oleh sebagian sahabat Nabi Muhammad shallalahu 'alaihi wa salam seperti Abdullah bin Umar.

Ma'bad lantas dihukum mati atas perintah Khalifah Abdul Malik bin Marwan di Damaskus pada tahun 80 hijriah (690 masehi). Pemikirannya lalu dilanjutkan Abū Marwan Gaylan ibn Muslīm ad- Dimasyqi an-Nabati al-Qībtī alias Ghaylan Al-Dimasyq.

Ghaylan Al-Dimasyqi lahir di Damaskus. Ia kesohor sebagai orator sekaligus ahli debat ulung. Di zamannya, dakwah aliran Qadariyah juga mendapatkan pertentangan dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Meski sempat surut, dakwah Qadariyah dari Ghaylan bangkit kembali sepeninggal Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Namun, kali ini ia mendapat perlawanan dari Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Ghaylan lalu dihukum mati.

Doktrin dan Pokok Pikiran Aliran Qadariyah

Inti pemikiran aliran Qadariyah adalah kehendak bebas manusia. Artinya, manusia memiliki daya untuk memutuskan keinginannya secara mandiri, terlepas dari takdir Allah SWT.

Di saat bersamaan, aliran Qadariyah memandang bahwasanya Allah menganugerahkan akal agar manusia mempertimbangkan dengan bijaksana setiap laku yang akan diperbuatnya.

Para pengikut aliran Qadariyah memosisikan akal sebagai instrumen penting; ia adalah penimbang keputusan manusia. Pandangan bahwa akal (rasio) adalah hal krusial dalam laku beragama kelak mempengaruhi aliran yang lahir di era kemudian, yakni Mu'tazilah pada 723 M.

Sebagaimana dikutip dari buku Akidah Akhak(2020) yang ditulis Siswanto, berikut ini dua doktrin aliran Qadariyah:

1. Melawan kezaliman dengan tangan sendiri

Aliran Qadariyah berpandangan bahwa manusia bertanggung jawab untuk menegakkan kebenaran dan melawan kezaliman dengan tangannya masing-masing.

Paham Qadariyah memuat keyakinan bahwa Allah SWT sudah memberi daya dan kekuatan kepada manusia untuk melawan kezaliman. Jika tidak melakukannya maka manusia telah berdosa karena melanggar perintah Allah SWT.

Perintah melawan kezaliman ini juga tergambar dalam sabda Nabi Muhammad SAW: “Barang siapa melihat kemungkaran maka lawanlah dengan tangannya. Jika tak sanggup maka dengan lisannya. Jika tak sanggup, maka dengan hatinya. Dan itu [melawan dengan hati] adalah selemah-lemahnya iman,” (H.R. Muslim).

Karena paham ini, pengikut aliran Qadariyah menjadi oposisi bagi kebijakan Dinasti Umayyah yang dinilai melampaui batas-batas syariat. Disebabkan kritik dari Qadariyah itu, para pentolan aliran ini ditangkap dan dipenjarakan oleh penguasa Dinasti Umayyah.

2. Keadilan Allah SWT dari kehendak bebas

Manusia diciptakan Allah SWT dengan kehendak bebas. Maka, ia mempunyai kemampuan mandiri untuk memutuskan perbuatan yang akan dilakukan.

Pemikiran aliran Qadariyah tersebut didasari alasan bahwa Allah SWT memberikan pilihan kepada manusia untuk melakukan kebaikan dan keburukan, beriman atau tetap pada kekafiran. Karena itu, manusia akan dihakimi, diberi pahala atau diganjar dosa, berdasarkan pilihannya sendiri.

Dalil mereka bersandar pada firman Allah SWT di surah Al-Kahfi ayat 29:

“Barang siapa menghendaki [untuk menjadi orang beriman] maka berimanlah, dan barang siapa menghendaki [untuk menjadi orang kafir] maka kafirlah,” (QS. Al-Kahfi [18]: 29).

Aliran Qadariyah merupakan antitesa dari paham Jabariyah yang memandang bahwasanya semua perbuatan manusia sudah ditentukan oleh takdir.

Penganut Qadariyah menilai, jika paham Jabariyah itu benar maka berarti Allah telah berlaku tidak adil dengan menghukum manusia. Padahal, Allah SWT adalah Tuhan yang Maha Adil.

Dalam keyakinan penganut aliran Qadariyah, Allah SWT tidak mungkin memberi hukuman neraka atau menganugerahkan surga untuk perbuatan yang terjadi bukan karena kehendak manusia itu sendiri.

Oleh karena itu, aliran Qadariyah berpendapat bahwasanya keadilan Allah tercapai melalui pilihan dan kehendak bebas dari manusia itu sendiri.

Mengapa Aliran Qadariah bertentangan dengan Jabariyah?

Aliran Qadariyah tidak bisa disatukan ajarannya dengan Jabariyah. Keduanya memiliki perbedaan pada cara memandang takdir yang Allah turunkan bagi umat manusia,

Menurut paham Qadariyah, semua tingkah laku manusia terjadi karena kehendaknya sendiri. Allah tidak turut campur pada urusan tindakan manusia, meski menetapkan kelahiran hingga kematian. Oleh sebab itu, paham Qadariyah menganggap manusia akan bertanggung jawab penuh terhadap perbuatannya, baik terpuji atau pun jahat, yang dilakukan sepanjanng hidupnya.

Sebaliknya, paham Jabariyah berpendapatan bahwa manusia tidak merdeka dalam menjalani hidupnya. Semua tindakannya bagian dari qada dan qadar dari Allah sehingga tinggal menjalaninya.

Aliran jabariyah meyakini manusia tidak mempunyai andil saat melakukan perbuatannya. Dengan demikian, manusia pun dianggap tidak bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan karena semua telah ditetapkan Allah padanya.

Dampak kedua paham tersebut juga berpengaruh pada persoalan hidup di akhirat. Bagi kaum Qadariyah, surga dan neraka menjadi balasan atas perbuatan manusia di dunia dengan mengesampingkan faktor lainnya seperti rida Allah.

Adapun untuk kaum Jabariyah, masuknya manusia ke surga dan neraka sudah ditetapkan sejak awal. Manusia tidak memiliki hak untuk mengupayakan yang terbaik bagi kehidupan akhiratnya.

Baca juga artikel terkait ILMU KALAM atau tulisan lainnya dari Abdul Hadi

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Abdul Hadi
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Addi M Idhom
Penyelaras: Ilham Choirul Anwar, Ilham Choirul Anwar & Ilham Choirul Anwar