Menuju konten utama
Carlos the Jackal

Sebelum Teroris Berkedok Agama Marak, Ada Carlos the Jackal

Mengenal sepak terjang Carlos the Jackal, revolusioner marxis pembela Palestina dan anti Israel.

Sebelum Teroris Berkedok Agama Marak, Ada Carlos the Jackal
Carlos the Jackal. FOTO/AFP

tirto.id - Sebelum terorisme berkedok agama marak, dunia lebih dulu mengenal Carlos the Jackal, seorang Marxis revolusioner dari Venezuela.

Ia terlahir dengan nama asli Ilich Ramírez Sánchez. Ayahnya, José Altagracia Ramírez Navas, seorang pengacara berhaluan Leninis, menakik nama Illich dari Vladimir Ilyich Lenin. Dua saudara Carlos yang lain pun diberi nama Vladimir dan Lenin. Sementara itu, nama Carlos diberikan oleh Bassam Abu Sharif, salah seorang petinggi Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (Popular Front for the Liberation of Palestine-PFLP) sebagai kode ketika ia merekrutnya pada tahun 1970.

Lalu dari mana julukan The Jackal? Hal ini berawal dari pemberitaan dari The Guardian, di mana suatu ketika dalam sebuah penggeledahan, aparat menemukan novel The Day of the Jackal karya Frederick Forsyth sebagai salah satu barang yang dimiliki pria kelahiran 12 Oktober 1949 itu.

Carlos sempat kuliah di Universitas Patrice Lumumba di Moskow, tetapi kemudian dikeluarkan karena alasan yang kurang jelas. Ia lalu berangkat ke Beirut, Lebanon, dan bergabung dengan PFLP di bawah komando Wadie Haddad. Sejak itu, ia terus menjadi seorang Marxis militan yang menempuh jalan kekerasan demi mewujudkan misinya. Tercatat beberapa kali ia terlibat dalam serangkaian serangan bersenjata maupun bom terhadap berbagai pihak yang berkaitan dengan Israel serta simbol-simbol kapitalisme global.

Serangan terhadap markas OPEC di Wina, Austria, pada tahun 1975, dapat dikatakan merupakan puncak aksi Carlos. Kala itu, bersama enam orang kawannya, Carlos menyandera para perwakilan negara-negara OPEC. Mereka juga memaksa pemerintah Austria membacakan pernyataan yang sudah disiapkan serta sebuah pesawat menuju Baghdad.

Hanya saja, mereka tetap gagal menjalankan misi utama: mengeksekusi Menteri Keuangan Iran, Jamshid Amusgar, dan Menteri Perminyakan Arab Saudi, Ahmad Zaki Yamani. Kegagalan ini ternyata berbuah pertentangan antara Carlos dengan Haddad. Carlos dituding telah menerima uang tebusan sebesar 20 juta hingga 50 juta USD dari Arab Saudi. Namun, ia menganggap uang tersebut dipergunakan untuk jalan revolusi. Haddad yang tetap tidak terima lantas mengeluarkan Carlos dari PFLP.

Setelah keluar dari PFLP, ditambah dengan kematian Haddad akibat diracun oleh agen Mossad, Carlos menjadi seorang pelancong dari negara ke negara: mulai dari Suriah, Yordania, dan berakhir Sudan. Carlos ditangkap di Sudan oleh angkatan bersenjata negara tersebut yang pura-pura memberinya pengamanan istimewa. Ia lalu diterbangkan ke Perancis, dan usai diadili, ia dijebloskan ke dalam penjara Clairvaux.

Pergulatan Carlos dengan ide-ide revolusioner tak berhenti kendati ia telah hidup dalam bui. Bahkan di sana, Carlos menerbitkan sebuah buku berjudul “L'islam révolutionnaire” atau “Islam Revolusioner”. Buku tersebut berisikan dukungan kepada Osama Bin Laden atas usahanya melawan imperialisme AS dan juga kepada Saddam Husein yang ia anggap sebagai “ksatria terakhir dunia Arab”.

Tiga Kali Hukuman Seumur Hidup

Fondasi Marxisme telah dienyam Carlos sejak ia masih SMA di sekolah Liceo Fermin Toro di Caracas. Di sana, ia kemudian bergabung dengan gerakan pemuda Partai Komunis Venezuela. Bersama ayahnya, Carlos juga menghadiri Konferensi Trikontinental Ketiga pada Januari 1966. Setelah itu ia menghabiskan musim panas di Camp Matanzas, sebuah sekolah perang gerilya yang dijalankan oleh DGI (Badan Intelejen) Kuba di Havana.

Ketika orang tuanya bercerai, Carlos beserta saudaranya yang lain dibawa ibunya tinggal di London. Di sana ia sekolah di Stafford House College di Kensington dan London School of Economics. Ayahnya kemudian sempat mendaftarkan Carlos dan saudaranya ke Universitas Sorbonne di Paris, tetapi Carlos memilih masuk ke Universitas Patrice Lumumba di Moskow. BBC menyebut, itu adalah "sarang jahat untuk merekrut komunis asing ke Uni Soviet".

Namun demikian, Carlos tidak berhasil menyelesaikan pendidikannya di universitas tersebut lantaran ia dikeluarkan pada tahun 1970. Sejak itu, Carlos melanglang buana. Dari Moskow, ia menuju Beirut, Lebanon, dan mendaftarkan diri menjadi relawan untuk PFLP lalu dikirim ke kamp pelatihan di pinggiran Amman, Yordania. Setelah lulus, ia diberi kode H4 dan bekerja bersama militer Irak di dekat perbatasan Suriah-Irak.

Carlos memiliki peran penting bagi PFLP selama konflik Black September 1970 di Yordania dan karenanya ia pun dianggap sebagai salah satu pejuang yang militan. Namun setelah PFLP dibubarkan di Yordania, Carlos kembali ke Beirut. Di sinilah ia kemudian dilatih khusus oleh Wadie Haddad, seseorang yang bertanggung jawab untuk perekrutan anggota. Di sela-sela itu, ia sempat mengikuti kursus di Polytechnic of Central London (sekarang dikenal sebagai University of Westminster).

Infografik Carlos the Jackal

Infografik Carlos the Jackal. tirto.id/Fuad

Pada tahun 1973, Carlos melakukan upaya pembunuhan terhadap Joseph Sieff, seorang pengusaha Yahudi dan wakil presiden British Zionist Federation. Kala itu, ia mendatangi langsung rumah Sieff di Queen's Grove dan memerintahkan pelayan untuk membawanya ke Sieff. Usai melihatnya di kamar mandi, Carlos menembak Sieff dengan pistol Tokarev 7.62mm miliknya.

Sialnya, peluru yang ia tembakkan sekadar memantul dan hanya membuat Sieff pingsan. Setelah berupaya menembak kembali, pistol tersebut macet dan Carlos pun melarikan diri. Kendati demikian, kabar penyerangan tersebut telah tersebar dan dianggap sebagai pembalasan atas ulah Mossad yang membunuh Mohamed Boudia, salah seorang pemimpin PFLP, di Paris.

Carlos terus menjadi seorang milita PFLP yang progresif di tahun-tahun berikutnya. Ia, misalnya, bertanggung jawab atas serangan bom yang gagal di Bank Hapoalim di London serta serangan bom mobil terhadap tiga kantor surat kabar Perancis yang dianggap condong kepada Israel. Carlos juga menjadi pelempar granat di sebuah restoran sebagai bagian dari serangan kepada Kedutaan Besar Perancis di Den Haag tahun 1974. Dua orang tewas dan 30 lainnya terluka akibat serangan tersebut.

Pada Januari 1975, dua kali Carlos dan rekan-rekannya berupaya meluncurkan roket granat ke pesawat Israel di bandara Orly di Prancis, namun tidak berhasil. Dalam serangan kedua, ia turut menyandera beberapa orang, termasuk Menteri Dalam Negeri Perancis kala itu, Michel Poniatowski, selama 17 jam. Setelah terdesak, Carlos kemudian berhasil melarikan diri sementara rekan-rekan PFLP lainnya terbang ke Baghdad.

Pada 26 Juni 1975, Carlos dijebak oleh rekannya, Michel Moukharbal, hingga ia sempat ditangkap dan diinterogasi oleh dua agen kontra-intelejen Perancis dari Direction de la Surveillance du Territoire (DST) di sebuah rumah di Paris. Saat Moukharbal mengungkapkan Identitas Carlos, ia segera menembak ketiga orang tersebut, lalu kabur ke Brussel, Belgia, sebelum akhirnya kembali ke Beirut.

Puncak aksi Carlos terjadi pada 21 Desember 1975, kala ia memimpin serangan teror dalam pertemuan para menteri negara anggota OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries ) di Wina, Austria. Bersenjatakan senapan mesin, Carlos bersama rekan-rekannya dari Arab dan Jerman yang menamakan diri ‘Arm of the Arab Revolution’, menyerbu acara tersebut hingga menewaskan tiga orang, serta menyandera 63 orang, termasuk di antaranya 11 menteri negara OPEC.

Carlos menuntut pernyataan politik anti-Israel disiarkan secara langsung lewat radio. Selain itu, ia juga meminta disediakan bus dan pesawat jet bagi para teroris dan sandera. Permintaan tersebut dikabulkan oleh pihak berwenang Austria, hingga semua sandera pun dapat dilepaskan dengan selamat di Aljazair. Selepas serangan tersebut, OPEC tidak lagi mengadakan pertemuan selama 25 tahun.

Setelah berkali-kali lolos, pada tahun 1994 Carlos akhirnya betul-betul tertangkap di Khartoum, Sudan, oleh para agen Perancis. Ia kemudian diekstradisi secara diam-diam lalu dipenjara di Perancis dan tiga tahun setelahnya, ia pun diadili atas dakwaan kasus pembunuhan. Hukumannya: kurungan penjara seumur hidup.

Pada tahun 2011, Carlos kembali dijatuhi hukuman serupa terkait sejumlah dakwaan: serangan di stasiun kereta di Marseille dan kantor sebuah koran di Paris pada tahun 1982 dan 1983 serta serangan yang menewaskan 11 orang dan melukai 150 orang. Enam tahun berselang, lagi-lagi Carlos dijatuhi hukuman seumur hidup atas serangan mematikan di salah satu pusat pertokoan di Paris pada tahun 1974.

Vonis ketiga tersebut membuat Carlos murka. Ia bahkan menudingnya sebagai "pengadilan yang tidak masuk akal", serta "upaya memanipulasi keadilan". Salah satu alasan Carlos adalah karena tidak ada bukti konkret yang memastikan keterlibatannya dalam serangan yang terjadi 45 tahun silam tersebut. Sikap yang sama juga diungkapkan oleh pengacaranya, Isabelle Coutant-Peyre. Ia menyebut persidangan itu hanya buang-buang waktu dan uang.

"Apa gunanya menggelar sidang lama setelah kejadiannya berlalu?" ucapnya.

Baca juga artikel terkait MARXISME atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Politik
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti