Menuju konten utama

Sebatas Palang Hitam: Sendu di Hari Lebaran Tanpa Keluarga

Telepon genggam menjadi alat satu-satunya untuk berbincang bersama keluarga saat Lebaran tiba. Sam mengakui sering meneteskan air mata saat bertatap layar.

Sebatas Palang Hitam: Sendu di Hari Lebaran Tanpa Keluarga
Sam duduk di meja kerjanya, lantai dua kantor Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta, Jalan Aipda KS Tubun, Petamburan, Jakarta Pusat, Selasa (26/3/2024). (Tirto.id/Fransiskus Adryanto Pratama)

tirto.id - Nursumsuria (50), harus rela tidak melewati momen Lebaran bersama keluarga. Menjadi petugas harian lepas Palang Hitam yang sudah dijalankan selama 14 tahun mengharuskan siap siaga.

Sam begitu sapaan akrabnya terkadang rindu berbuka puasa atau sahur bersama keluarga. Lebaran tidak di rumah menjadi hal biasa.

Lantunan suara takbir hanya bisa didengar melalui balik tirai jendela kantor saat lebaran tiba. Namun, dia mengaku ikhlas untuk menjalankan pekerjaannya.

"Kita udah lama sih. Memang dulu kalau pas pertama masuk, sahur di sini. Kita sendiri di sini," kata Sam saat ditemui Tirto di Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta, Jalan Aipda KS Tubun, Petamburan, Jakarta Pusat, Selasa (26/3/2024).

Telepon genggam menjadi alat satu-satunya untuk berbincang bersama keluarga saat Lebaran tiba. Dia mengakui sering meneteskan air mata saat bertatap layar.

"Takbiran bareng. Nonton buat hiburan," kata Sam.

Pekerjaan yang dilakoninya tidak sekadar mengantar jenazah ke liang lahat. Mereka turut memandikan, mengafankan, menyalatkan, hingga ikut menguburkan.

Mereka berjibaku selama 24 jam tanpa kenal lelah seraya menunggu dering telepon untuk menjalankan tugas kemanusiaan itu. Tugas mereka bermacam-macam. Mulai dari pelayanan di panti sosial yang ada di DKI Jakarta. Bila ada warga binaan yang meninggal di panti.

"Itu pelayanan panti. Jadi, mereka yang mandi di panti, warga binaan, kita yang melakukan pemulasaraan," ucap Sam.

Tidak jarang, Sam juga sering mengevakuasi mayat di berbagai tempat seperti kali, tol, hingga rel kereta. Nantinya, mayat langsung dibawa ke rumah sakit yang dirujuk seperti Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, RS Fatmawati, dan RS Polri Kramatjati.

"Kita bawa ke rumah sakit yang ditunjuk sama polisi. Tugasnya TKP," kata Sam.

Pelayanan lain ialah bagi warga DKI Jakarta yang memerlukan mobil jenazah. Mereka sigap melayani jika ada permintaan dari pihak keluarga untuk diantarkan ke rumah kerabat jenazah tersebut.

Tidak jarang mereka mencium bau amis saat bertugas. Tantangan terbesar yaitu tidak membuang ludah ketika mengevakuasi mayat yang sudah membusuk selama empat hari. Siasat itu dilakukan untuk menghindari rasa maul.

"Untuk menyiasati bau, kan kita dilengkapi alat mandi, masker, sarung tangan, sepatu bot, untuk menyiasati kita tahan buang ludah biar enggak mual," ujarnya.

Selain itu, petugas biasanya membubuhi mayat dengan kopi. Langkah itu dilakukan untuk mengurangi bau amis mayat yang dievakuasi.

Masih lekat dalam ingatan Sam ketika bertugas saat momen Lebaran. Dering telepon operator berbunyi. Pihak kepolisian meminta Sam untuk bergegas mengevakuasi mayat di Terminal Kampung Rambutan.

Setiba di lokasi, Sam langsung mengevakuasi seorang pemudik yang tak bernyawa bersama tas berisi pakaian di bus. Sam melakukannya sesuai prosedur yang berlaku.

"Ada mayat di bis, enggak bergerak sama tasnya di Terminal Kampung Rambutan. Dia [mayat] mau pulang kampung, ternyata meninggal, kasian meninggal di jalan, belum nyampai kampung," kenang Sam.

Bagi Sam yang telah lama berkecimpung dalam dunia pemulasaran jenazah, tidak ada yang berkesan ketika mengevakuasi mayat di jalanan. Tetapi, Sam mengaku sedih saat harus bertugas saat lebaran tiba.

Garis Polisi

Police Line. foto/IStockphoto

Sebab, separuh dia bekerja tak merasakan lebaran bersama keluarga lantaran harus berjibaku mengevakuasi jenazah. Sam harus urung tak berkumpul bersama sanak saudara di rumah ketika lebaran tiba.

"Sedih saja orang pada jalan sama keluarga kita kerja tugas, kita ninggalin keluarga lebaran di rumah, saudara pada ngumpul, kita pergi," kata Sam.

Kesedihan Sam makin bertambah ketika mengevakuasi pemudik yang meninggal di jalan. Namun, Sam yang dituntut profesional dalam bekerja yang harus tetap tegar dan mengevakuasi jenazah hingga tuntas sampai liang lahat.

"Sudah terbiasa mengangkat jenazah. Orang lebaran pada senang-senang, dia meninggal," tutur Sam.

Sam menuturkan, menjalani tugas kemanusiaan meski di tengah momen lebaran sudah hal lumrah. Dia bahkan sampai lupa beberapa kejadian berkesan dalam ingatannya ketika mengevakuasi jenazah. Baginya, hal itu tak harus dicatat dalam memori untuk dijadikan kenangan.

"Beda mungkin awal-awal, saya simpan jadi kenangan. Makin ke sini, udah kayak biasa," kata Sam.

Palang Hitam Siap 24 Jam

Kepala Bidang (Kabid) Pemakaman Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta, Siti Hasni, mengakui, petugas Palang Hitam siapa siaga selama 24 jam saat Ramadhan. Langkah tersebut dilakukan untuk mengantisipasi kejadian ataupun kecelakaan tidak bisa kita diduga. Pelayanan pun harus tetap berjalan seperti biasa.

"Pelayanan tetap berjalan karena di hari itu pun kita tidak tahu apakah ada yang meninggal atau tidak, tapi tugas kita tetap menunggu artinya petugas kita tetap wajib standby," kata Siti.

Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta

Kepala Bidang (Kabid) Pemakaman Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta, Siti Hasni. (Tirto.id/Fransiskus Adryanto Pratama)

Jam kerja pun dibagi beberapa tim untuk para petugas palang hitam. Perempuan asal NTB ini mengatakan petugas yang meminta izin tetap harus ada penggantinya agar pelayanan pemulasaraan jenazah tetap dilakukan.

"Kalaupun ada yang terpaksa izin, itu harus ada penggantinya. Karena ini ibadah juga melayani masyarakat," tutur Siti.

Siti menuturkan, para petugas palang hitam dibagi menjadi tiga tugas, yakni operator, sopir, dan pemandi jenazah. Semua petugas dituntut untuk bisa menguasai ketiga jenis pekerjaan itu.

"Jadi, tugas itu secara universal atau keseluruhan mereka harus paham harus bisa menguasai," tutup Siti.

Baca juga artikel terkait LEBARAN 2024 atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Intan Umbari Prihatin