tirto.id - “Kekuatan sebuah bangsa berakar dari integritas yang dibangun di rumah.”
Lewat ungkapan itu, Konfusius menyatakan bahwa rumah yang layak ikut membangun pribadi para penghuninya, dan hal itu berimbas pada kehidupan bermasyarakat. Krisis perumahan yang terjadi di banyak negara bukanlah sekadar perkara kekurangan tempat bernaung, tetapi juga ancaman terhadap kualitas jiwa rakyatnya.
Meskipun hak atas tempat tinggal yang layak dan terjangkau telah dijamin dalam konstitusi, kenyataannya krisis perumahan terus menjadi ancaman serius yang mengintai Indonesia. Berdasarkan data pemerintah, Indonesia perlu membangun sekitar 400 ribu unit rumah setiap tahun di samping menyelesaikan masalah jumlah kurang pasok (backlog) 11,4 juta unit pada tahun 2015.
Selain ledakan populasi yang berbanding terbalik dengan ketersediaan rumah dan lahan dengan harga terjangkau, krisis perumahan di Indonesia juga dipicu oleh keterpusatan perputaran uang di kota-kota besar, khususnya di wilayah barat Pulau Jawa. Real Estate Indonesia (REI) mencatat kenaikan harga rumah di kota besar sudah mencapai 10 hingga 30%. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi Indonesia yang rata-rata mencapai 5% dalam lima tahun terakhir.
Populasi Jakarta diramalkan akan melebihi 35 juta jiwa di tahun 2020. Tanpa perubahan positif, kecemasan bahwa kalangan pekerja usia produktif tidak akan mampu membeli rumah di Jakarta atau di kota-kota satelit seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi—yang juga kian sesak—jelas beralasan. Padahal, kepemilikan properti adalah salah satu faktor terpenting untuk menjaga pertumbuhan populasi pekerja usia produktif.
Program Sejuta Rumah adalah Bagian Penting Nawacita
Dalam agenda prioritas rencana kerja Jokowi dan Jusuf Kalla yang disebut Nawacita, pembangunan infrastruktur dan perumahan melahirkan Program Sejuta Rumah di mana pemerintah mencanangkan ketersediaan satu juta rumah baru setiap tahun sampai akhir masa jabatan pada 2019.
Diresmikan di Ungaran, Jawa Tengah, pada 29 April 2015, sekitar 20% rumah dalam program ini merupakan rumah yang dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berupa rusunawa, rumah khusus, rumah swadaya, juga bantuan stimulan prasarana dan utilitas (PSU).
30 persen lainnya dibangun oleh pengembang perumahan subsidi yang mendapatkan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), subsidi selisih bunga, dan bantuan uang muka. Selebihnya dipenuhi melalui pembangunan rumah non-subsidi oleh pengembang.
Hasil yang telah dicapai dalam tiga tahun pelaksanaan program ini pun terbilang memuaskan. Pada tahun 2015 tercatat 699.770 unit rumah telah tersedia dan ada peningkatan yang signifikan pada 2016: 805.169 unit. Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid pun optimistik bahwa capaian hingga akhir 2017 dapat lebih tinggi karena di awal Desember 2017 saja telah tercatat 765.120 unit rumah, di mana 81 persennya adalah rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebanyak 619.868 unit, dan selebihnya 145.252 unit rumah non-MBR.
Melengkapi hasil positif yang telah diraih, mulai tahun depan Kementerian PUPR akan mengubah kriteria batas atas penghasilan masyarakat yang berhak mengajukan FLPP atau KPR subsidi. Bila saat ini besaran penghasilan maksimal untuk melamar subsidi KPR adalah Rp4 juta per orang untuk rumah tapak dan Rp7 juta untuk rumah susun, kebijakan baru akan memungkinkan mereka yang berpenghasilan lebih tinggi buat melamar subsidi KPR—dengan besaran yang disesuaikan dengan tingkat upah minimum tiap-tiap provinsi.
Penyediaan Rumah Khusus
Dari Program Sejuta Rumah ini, salah satu fokus yang digalakkan adalah pembangunan rumah khusus untuk daerah-daerah perbatasan, guru, tenaga medis, daerah tertinggal, pulau terluar, masyarakat nelayan, dan pemuka agama. Selain daerah perbatasan, program rumah khusus juga mencakup kebutuhan khusus untuk perumahan transmigrasi, pemukiman kembali korban bencana, rumah sosial untuk kaum lansia, yatim piatu, dan anak telantar.
Dalam kurun tiga tahun ini, Kementerian PUPR berhasil mendirikan 17.844 unit rumah khusus di mana setiap unit dibangun dengan biaya sekitar 90 hingga 120 juta atau disesuaikan dengan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK). Di samping membangun rumah baru, tahun ini Kementerian PUPR juga telah melakukan revitalisasi rumah khusus sebanyak 2.898 unit dengan anggaran sebesar Rp 63,8 miliar.
Bentuk rumah khusus itu bermacam-macam, mulai dari rumah tunggal, rumah kopel, rumah deret, hingga rumah yang mengikuti tipologi daerah tertentu—misalnya rumah-rumah panggung yang dibangun di Kelurahan Lalar, Kabupaten Sumbawa Barat, yang ditinggali masyarakat nelayan.
Kementerian PUPR menargetkan pembangunan 4.550 unit rumah khusus pada 2018. Sebagian besarnya (63,4%) akan dibangun di kawasan timur Indonesia yang menjadi salah satu fokus utama dalam pemerataan ekonomi nasional dan pembangunan infrastruktur dalam tiga tahun terakhir ini. Tercatat ada 37 program prioritas pembangunan infrastruktur di antara 270 program yang ditetapkan pemerintah untuk 22 provinsi.
Pembangunan dan Pemerataan Infrastruktur 2017
Selain menjalankan Program Sejuta Rumah, Kementerian PUPR juga bekerjasama dengan Zeni TNI Angkatan Darat dalam menyelesaikan pembangunan jalan Trans Papua sepanjang 4.330,07 km serta jalan perbatasan Indonesia dengan Papua Nugini. Jalan ini membentang dari utara ke selatan menghubungkan Kota Jayapura dengan Kota Merauke sepanjang 1.098,2 km.
Selain berupaya menghilangkan disparitas harga yang tinggi, jalan Trans Papua juga memungkinkan hal-hal baru. Misalnya: Jalur Ayawasi-Petik Bintang kini dapat diakses orang banyak dan menjadi potensi pariwisata baru.
Progres fisik pembangunan infrastruktur oleh Kementerian PUPR di seluruh Indonesia per 17 Desember 2017 (pukul 16.00 WIB) mencapai 86,60%, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya (84,49%).
Turut melengkapi kiprah positif Kementerian PUPR, dalam 3 tahun ini juga telah dijalankan pembangunan 39 bendungan dengan total biaya sekitar Rp 9,8 triliun untuk kebutuhan air dan listrik di daerah-daerah Indonesia, serta penyelesaian pembangunan tujuh Pos Lintas Batas Negara (PLBN) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah perbatasan.
Melihat capaian-capaian positif itu, tercermin pada peringkat daya saing infrastruktur Indonesia menurut World Economic Forum (WEF) yang kian membaik setiap tahunnya, Kementerian PUPR pun optimistik bahwa target yang dicanangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan rencana strategi Kementerian PUPR 2015-2019 dapat terealisasi secara sempurna.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis