Menuju konten utama

Satu Harga BBM Papua Perlu Dikaji Ulang, Kata DPR

Upaya pemerintah untuk menyeragamkan harga bahan bakar minyak (BBM) di Papua seperti di daerah-daerah lain perlu dilakukan kajian mendalam terkait dengan distribusi Pertamina. Pemerintah dinilai tidak bisa mengendalikan Pertamina yang gagal mengelola distribusi BBM sehingga menyebabkan kesenjangan harga di beberapa daerah, terutama di Papua.

Satu Harga BBM Papua Perlu Dikaji Ulang, Kata DPR
Pedagang Pertamini mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) eceran ke motor konsumen di Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Senin (15/8). ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang.

tirto.id - Upaya pemerintah untuk menyeragamkan harga bahan bakar minyak (BBM) di Papua seperti di daerah-daerah lain perlu dilakukan kajian mendalam terkait dengan distribusi Pertamina. Pemerintah dinilai tidak bisa mengendalikan Pertamina yang gagal mengelola distribusi BBM sehingga menyebabkan kesenjangan harga di beberapa daerah, terutama di Papua.

Berbicara kepada Antara pada Jumat (21/10/2016), anggota Komisi VI DPR RI Bambang Haryo Soekartono menyampaikan langkah Presiden Jokowi dengan program satu harga BBM di Papua perlu diapresiasi, tapi harus dengan kajian matang agar dana subsidi BBM tidak dimanipulasi.

“Sebenarnya yang harus dikaji pemerintah adalah bagaimana bisa terjadi kesenjangan harga BBM yang terlalu jauh antara Papua dan Jawa. Ini merupakan masalah distribusi yang dilakukan Partamina. Ada kegagalan pemerintah dalam mengendalikan Pertamina. Dan Pertamina juga gagal mendistribusikan BBM secara merata," kata Bambang Haryo.

Menurut politisi Gerindra itu, harga BBM di paling tinggi ada di daerah-daerah pedalaman. Di kota besar, harga premium dan solar relatif sama dengan di Jawa.

Menurutnya pula, Menteri ESDM baru Ignasius Jonan yang merupakan mantan Menteri Perhubungan seharusnya sudah paham persoalan distribusi BBM. Sementara Pertamina yang memonopoli perdagangan BBM jelas belum bekerja dengan baik, karena BBM belum sampai ke pelosok pedalaman.

Ia mencontohkan di Kota Ambon, harga BBM di daerah itu tidak saja mahal, tapi juga langka. Di sana pula kapal-kapal Pertamina untuk mengangkut BBM juga masih minim.

“Hal ini yang perlu terus dikaji, di mana sumber masalah distribusi," kata Bambang.

Lebih lanjut Bambang menganalisa, persoalan mendasar yang dialami Indonesia adalah kurangnya transportasi logistik massal, terutama ke daerah-daerah terpencil. Bambang mencontohkan, angkutan kereta massal untuk mengangkut logistik belum banyak.

Kondisi ini, kata Bambang, berbeda dengan di luar negeri. Di sana transportasi logistik massal begitu banyak tersedia dan bisa menjangkau ke daerah-daerah pedalaman. Di Australia dan China, harga BBM di daerah pelosok yang terkecil sekalipun sudah sama.

“Bila sudah ada penyatuan harga BBM, itu bisa berdampak positif pada iklim usaha. Pertumbuhan ekonomi juga bisa bergerak naik. BBM yang menjadi energi primer masih wajib disubsidi terutama untuk transportasi publik dan logistik," pungkas Bambang.

Seperti diketahui, selama ini harga BBM di pedalaman Papua dan Papua Barat bisa mencapai Rp60-100 ribu per liter. Pemerintah tengah mengupayakan harga premium akan sama yakni Rp6.450/liter dan solar Rp5.150/liter.

Presiden sudah menunjuk Menteri BUMN dan Pertamina untuk menyukseskan program satu harga BBM di Papua tersebut. Bahkan, di Bandara Nop Goliat Dekai, Kab.Yahukimo, Papua, sudah tersedia pesawat Air Tractor milik Pertamina yang siap mendistribusikan BBM ke pedalaman Papua.

Baca juga artikel terkait SATU HARGA BBM atau tulisan lainnya dari Agung DH

tirto.id - Politik
Reporter: Agung DH
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH