tirto.id - “…dari dia saya menerima banyak rasa cinta dan rasa kasih. Dari dia saya mendapat banyak pelajaran mencintai “orang kecil”. Dia sendiri “orang kecil.” Tetapi budinya selalu besar!”
Secuplik kalimat ini, tertera dalam kata pengantar yang dituliskan Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, dalam buku Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia, yang pertama kali diterbitkan pada November 1947. Buku ini merupakan kumpulan materi kursus wanita yang secara rutin diadakan Soekarno ketika ia bermukim di Yogyakarta, bersamaan pindahnya ibukota negara ke kota tersebut.
Sarinah menjadi sosok perempuan yang khusus dalam hidup Soekarno. Nama Sarinah dilekatkan Bung Karno pada banyak hal, dari mulai buku, pergerakan perempuan dalam Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang menggunakan nama Pergerakan Sarinah, hingga nama pusat perbelanjaan pertama dan termegah di Indonesia. Dengan sadar, Soekarno menyematkan nama Sarinah pada banyak hal penting sebagai penghargaan dan kasihnya pada sosok perempuan bersahaja yang ia panggil “Mbok” itu.
Soekarno bertemu dengan Sarinah pada usia 6 tahun. Saat itu, namanya masih Kusno. Pada 1907, Kusno bersama Ibu dan kakaknya, Sukarmini, diboyong ayahnya, Soekemi Sosrodihardjo pindah ke Mojokerto. Ketika itu, ia mendapat pekerjaan sebagai guru di kota yang berada 50 kilometer Barat Daya Surabaya itu. Seperti dikisahkannya pada Cindy Adams, penulis buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat, Sarinah ikut tinggal atau ngenger di keluarganya untuk membantu pekerjaan rumah dan mengasuh putra-putri Soekemi. Dalam bab khusus berjudul “Mojokerto: Kepedihan di Masa Muda”, kisah kedekatan Soekarno dengan Sarinah dikisahkan.
Bagi keluarga Soekemi, Sarinah yang tidak menikah itu, tidak diperlakukan sebagai pelayan. Ia lebih seperti bagian dari keluarga. Dalam buku itu, Soekarno mengatakan pada Adams, kalau Sarinah tidur di rumahnya, memakan makanan yang sama dengan Soekemi dan keluarganya. "Dialah yang mengajarku mengenal kasih sayang. Sarinah mengajariku untuk mencintai rakyat," begitu antara lain cerita Soekarno pada Adams.
Dalam buku itu, digambarkan kesederhanaan kondisi rumah dan kehidupan keluarga Soekemi. Meski sang ayah bekerja sebagai guru, kehidupan mereka jauh dari kecukupan. Dalam sehari, mereka kerap harus menyelingi nasi dengan ketela karena beras tak selalu tersedia. Orang tua Kusno dan kakaknya jarang di rumah karena harus pergi ke kota lain untuk mengantar sang ibu berobat ke kota.
Selama kedua orangtuanya pergi, Kusno kerap berbincang dan menjadi akrab dengan Mbok Sarinah. Kusno biasa ikut berkutat di dapur saat Sarinah memasak, atau leyeh-leyeh di kamar mboknya itu hingga terlelap. Dalam waktu-waktu itulah, Sarinah kerap memberi petuah pada anak asuhnya tentang bagaimana mencintai sesama, terutama rakyat kecil. “Kalau nanti kamu sudah jadi pemimpin, kamu tidak akan makan sebelum rakyatmu makan,” merupakan salah satu petuah yang disampaikan Sarinah pada Kusno.
Potret Kedekatan Sarinah dan Kusno
Dibintangi Marissa Anita (Sarinah) dan pemain cilik Kenichi Virendra (Kusno), film pendek Mbok dan Bung menjadi media pengingat akan sosok Sarinah yang kehadirannya sangat berpengaruh pada sosok bapak bangsa Indonesia, Soekarno. Film Mbok dan Bung mulai ditayangkan di kanal Youtube pusat perbelanjaan Sarinah sebagai bagian integral dari revitalisasi pusat perbelanjaan tersebut yang ditandai dengan kehadiran wajah baru Sarinah.
Film pendek Mbok dan Bung, menjadi salah satu bagian aktivasi seni yang diadakan seluruh ruang-ruang publik yang tersedia di Sarinah. Mulai dari pameran-pameran seni rupa yang secara rutin digelar di Distrik Seni, pertunjukan musik jalanan hingga konser spontan Twilite Orchestra yang dipimpin Addie M.S, parade kebaya para pendukung Kebaya Goes to UNESCO hingga peragaan busana karya Edward Hutabarat, juga pameran mobil kepresidenan yang digelar untuk merayakan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-77.
Sarinah, bagi Soekarno, tidak melulu terkait tentang revolusi dan kemajuan kaum perempuan. Ketika mengusulkan pembangunan pusat perbelanjaan modern dan gedung pencakar langit pertama dengan 15 tingkat lantai, nama Sarinah didaulat menjadi pusat perbelanjaan yang pendiriannya dilandaskan untuk kemajuan usaha mikro, menengah dan kecil (UMKM).
Secuplik kisah Sarinah saat mengasuh dan mengajarkan hal-hal baik tentang hubungan antar manusia menginspirasi Wregas Bhanuteja, sutradara yang kini juga menjadi produser di rumah produksi Rekata Studio membuat sebuah film pendek. Ninndi Raras, sutradara asal Yogyakarta, yang menurut Wregas memiliki pendekatan amat kuat saat menceritakan hubungan antara dua manusia, menuliskan cerita dan menyutradarai film berdurasi 17 menit yang diberi judul Mbok dan Bung.
Kisah tentang Sarinah ini menjadi menarik, “Sebab bisa dibilang, ketika mendengar mendengar nama Sarinah, banyak yang merasa seperti setengah ada namanya dalam sejarah, setengah lagi seperti mitos atau legenda saja. Kadang hal ini membuat kita bertanya-tanya, sebenarnya, sosok ini benar-benar ada atau tidak, ya?” kata Wregas.
Namun ia tak menyangkal besarnya pengaruh yang ditanamkan Sarinah pada pertumbuhan jiwa Sukarno yang melahirkan banyak pemikiran-pemikiran besar dan amat maju di zamannya. “Hal ini yang menurut saya sangat powerful. Selama ini kita banyak mendengar cerita sejarah di mana tokoh-tokoh sejarah kita memiliki seorang guru. Misalnya Tjokroaminoto, atau guru-guru bangsa lain, selalu merupakan orang-orang dengan pengetahuan dan ilmu yang mumpuni. Tapi sosok salah satu guru yang ada dalam fase awal kehidupan Bung Karno ini bukanlah seseorang yang memiliki pengalaman panjang dalam suatu bidang keilmuan,” Wregas mengungkapkan.
Sarinah, dikatakan Wregas, hanya mengajar dengan basis hati nurani, dengan nilai yang diyakininya, bahwa manusia bisa berbagi, bisa bertoleransi, bisa hidup bersama selama ia juga menebarkan kebaikan pada orang lain. “Nilai-nilai ini yang menjadi spirit utama film Mbok dan Bung,” katanya.
Posisi Perempuan di Kepemimpinan Soekarno
Pertemuannya dengan perempuan dari kalangan rakyat kecil namun kuat dan penuh welas seperti Sarinah, Inggit Garnasih yang gigih membantunya bertahan di masa pergerakan, Fatmawati yang muda, cekatan dan penuh semangat di masa-masa menjelang proklamasi kemerdekaan, serta banyak tokoh-tokoh perempuan lain yang menjadi sahabat dan rekan seperjuangannya, membuat Soekarno mengetahui paham bahwa perempuan merupakan subjek penting dalam perjuangan.
Maka, kendati kerap diingat sebagai seorang womanizer, Soekarno sejatinya amat menghargai dan memiliki pemikiran yang maju tentang peran perempuan serta kemungkinan yang tersedia untuk melibatkan perempuan dalam posisi-posisi penting perjuangan membangun bangsa dan negara.
Hal ini membuat ia tak pernah ragu melibatkan perempuan dalam perjuangan dan kerja-kerja politiknya sejak awal Indonesia berdiri. Hampir selalu, kabinet-kabinet yang dibentuk di masa kepemimpinannya, memiliki perempuan-perempuan yang menduduki posisi penting baik sebagai menteri, duta besar, anggota dewan perwakilan rakyat, dan sebagainya.
Sebut saja, Maria Ulfah yang menjadi Menteri Kehakiman perempuan pertama, S.K. Trimurti sebagai menteri pertama di departemen Perburuhan, atau Supeni yang pernah menjadi duta besar Indonesia untuk Amerika dan negara-negara Asia Tenggara, dan sempat menjadi wakil Menteri Luar Negeri dan wakil ketua Delegasi Indonesia di PBB.
Mereka hanya tiga dari begitu banyak tokoh perempuan yang mewarnai perjuangan Indonesia menjadi sebuah bangsa. Soekarno yang selalu senang mengganti kata perempuan dengan Sarinah pernah dengan lantang berpesan, "Hai wanita-wanita Indonesia, jadilah revolusioner, - tiada kemenangan revolusioner, jika tiada wanita revolusioner, dan tiada wanita revolusioner, jika tiada pedoman revolusioner!"
Penulis: Indah Ariani
Editor: Lilin Rosa Santi