tirto.id - Sebagai salah satu bangsa yang hobi boikot, wajar kalau muncul gerakan boikot Sari Roti sejak dua hari belakangan ini. Rilis pers dari perusahaan berbendera PT. Nippon Indosari Corpindo ini dianggap melecehkan para peserta demo 212 silam. Tagar #BoikotSariRoti pun menyebar di berbagai media sosial.
Tapi apa semudah itu "melumpuhkan" Sari Roti? Tentu tidak. Sari Roti adalah merek penguasa di pasar roti Indonesia. Mereka punya 10 pabrik yang tersebar di penjuru Indonesia. Penjualannya meningkat tajam. Pada 2012, penjualan mereka adalah Rp1,19 triliun. Meningkat menjadi Rp2,17 triliun pada 2015. Hingga semester I 2016, penjualan bersih Sari Roti sudah mencapai angka Rp1,2 triliun. Angka itu naik 15 persen ketimbang semester I tahun 2015.
Sari Roti sukar dikalahkan karena mereka menguasai medium penjualan. Produk mereka mudah ditemukan di mana saja. Mulai dari toko kelontong, penjual sepeda, hingga mini market seperti Alfamart dan Indomaret. Kunci penjualan mereka memang ada di gerai mini market. Ia ada hingga daerah pelosok sekalipun. Hingga 2016, ada sekitar 12.000 toko Indomaret, sedangkan Alfamart dan perusahaan saudara (Alfamidi, Alfa Supermarket, Lawson, dan Dandan) mencapai 12.258 gerai. Di mini market itu lah, produk Sari Roti mudah ditemukan.
Dengan akar penjualan yang menopang kuat itu, wajar kalau seruan boikot terhadap Sari Roti cuma seperti gelitikan belaka. Bahkan digempur di media sosial, di mana seruan banyak dikobarkan, saham mereka hanya turun sebesar 0,06 persen.
Yang perlu diingat lagi, seruan boikot terhadap Sari Roti adalah gerakan yang tak perlu. Bagaimanapun, perusahaan ini memberikan pekerjaan pada ribuan tenaga kerja Indonesia. Terlepas dari beberapa kasus terkait ketenagakerjaan –seperti yang terjadi pada 2012 silam—usaha memboikot Sari Roti nyaris serupa dengan menutup pintu rejeki sesama orang Indonesia. Ya walaupun, sekali lagi, ajakan boikot itu tak akan banyak berdampak.
Kembali Pada Merek Lokal
Sebenarnya, momen ini sebaiknya dipakai untuk mengingatkan kembali orang-orang pada merek roti lokal. Pengaruh kuliner dan pola makan yang dibawa Belanda, membuat roti menjadi panganan yang akrab sejak dulu. Karenanya, kita bisa menemukan merek-merek roti lokal yang sudah beroperasi belasan, hingga puluhan tahun.
Roti lokal ini punya banyak persamaan. Antara lain, produksinya skala rumahan. Jarang membuka cabang. Mereka juga tak memakai bahan pengawet. Skala distribusinya pun juga tak luas.
Di Jember, ada tiga merek roti yang dianggap legenda. Pertama adalah Sentral. Toko roti ini berdiri sejak 1950-an. Kata sejarawan Jember, RZ Hakim, Sentral dipunyai oleh adik Tee San Liong, pemain Persebaya yang bersama rekan-rekannya menahan Uni Sovyet di Olimpiade Melbourne 1956.
"Di Sentral itu, dipajang fotonya Tee San Liong," kata Hakim.
Selain Sentral, toko roti lokal yang tak kalah terkenal adalah Jeannette. Menariknya, karena sebutan nama itu sering bikin lidah Jember keseleo, orang sering menyebutnya sebagai Siannette. Toko roti ini sudah berdiri sejak 1930-an. Salah satu yang punya kenangan terhadap roti ini adalah Achmad Bachtiar Sejahtera. Pegawai di Dinas Perhubungan Jember ini ingat kalau dulu sang ibu sering membelikan roti ini untuknya.
"Dulu kira-kira harganya masih 50 rupiah. Sekarang sudah 3.500 rupiah. Tapi rasa, kualitas, resep yang tetap dipertahankan dan tanpa bahan kimia, ukuran, bahkan gambar sablonan ayam jago di bungkusnya pun tetap sama. Di gigitan pertama, biar sudah 30 tahun berlalu, tetaplah seperti dulu," kata pria bujang ini.
Secara personal, saya selalu mengingat roti merek Wina. Di Jember, mereka adalah saingan Jeannette. Saya selalu ingat seiris pizza mereka yang sederhana tapi menyenangkan, disantap seusai menonton bioskop di kawasan Pasar Johar. Dough-nya lembut, tak jauh berbeda dengan roti. Dioles saus tomat buatan sendiri. Ditaburi cacahan daging sapi, kacang kapri, bawang bombay, dan, ini yang spesial: potongan nanas. Saya sudah memakan pizza seperti itu sebelum mengenal Hawaiian Pizza yang memang menggunakan nanas sebagai topping.
Selain di Jember, ada banyak daerah yang punya produk roti lokal. Jakarta dikenal dengan Tan Ek Tjoan yang sudah hadir di meja makan sejak 1953. Di Pasuruan, Jawa Timur, tak ada yang tak kenal roti Matahari. Merek ini sudah ada sejak 1955. Produk mereka yang paling terkenal adalah roti sisirnya. Roti sisir rombotter-nya, yang menggunakan mentega Australia, adalah idaman semua pecinta roti di dunia. Teksturnya empuk, dengan rasa mentega yang bisa membuat penyantapnya merasakan bahagianya jatuh cinta.
Di Bandung, ada beberapa toko roti klasik yang digemari. Selain Sidodadi yang sudah lama jadi kecintaan warga Bandung, ada pula aneka roti dari Sumber Hidangan, sebuah restoran di Braga yang sudah berdiri sejak 1929.
Ichsan Harja Nugraha, seorang arsitek yang sekarang tinggal di Bandung, mengatakan bahwa roti yang terkenal di Jawa Barat adalah Sharon, yang pabriknya ada di Majalaya. Sedangkan Fakhri Zakaria, penulis musik yang tinggal di Bogor, mengatakan bahwa roti favoritnya adalah roti dari Bakery Bogor Permai.
"Tapi mereka enggak pernah distribusi via gerobak, hanya penjualan di toko," kata Jaki, panggilan akrab Fakhri.
Perihal rasa memang bisa diperdebatkan. Tapi susah menyangkal kalau kualitas roti-roti lokal bisa jauh mengalahkan roti pabrikan besar, seperti Sari Roti. Mumpung saat ini percakapan tentang roti sedang hangat, ada baiknya kita kembali menengok dan mencicipi lagi merek-merek roti lokal yang selama ini mungkin terpinggirkan.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti