tirto.id - Pemerintah pusat memutuskan memberhentikan sementara pengerjaan proyek-proyek infrastruktur melayang (elevated) untuk keperluan evaluasi. Moratorium tersebut keluar karena belakangan marak terjadi insiden kecelakaan kerja di penggarapan sejumlah proyek infrastruktur layang.
Ketua Umum Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi Indonesia (A2K4), Lazuardi Nurdin mendukung langkah pemerintah tersebut.
Lazuardi menilai banyak proyek infrastruktur layang memang perlu dievaluasi pengawasannya. Dia berpendapat evaluasi itu perlu meneliti kinerja konsultan pengawas maupun kontraktor. Hal ini untuk mendeteksi persoalan di sistem pengawasan internal.
"Itu harus dievaluasi apakah sistem pengawasan selama ini yang dijalankan sudah baik? Proyek sekarang kan banyak sekali," kata dia kepada Tirto di Jakarta, pada Rabu (21/2/2018).
Dia menambahkan pemerintah juga perlu mengevaluasi sistem kerja lembur yang diberlakukan oleh kontraktor. Menurut dia, tenaga yang bertugas pada semua jadwal waktu kerja atau shift harus mempunyai kompetensi dan jumlah yang sama untuk pekerjaan dengan resiko setara.
"Sehingga, misalnya pagi mengecor pierhead, kemudian malam mengecor, dini hari mengecor juga. Orang yang melakukan kerja pengecoran itu harus bisa memastikan kalau pemasangan, pembesian, dan lain-lain harus betul-betul sesuai dengan gambar kerja yang sudah disepakati," kata Lazuardi.
Standar ideal untuk shift kerja, menurut Lauardi, bisa antara dua atau tiga. Standar aturan maksimal lama kerja 12 jam, yakni dari 8 jam kerja reguler ditambah jatah lembur. "Lembur maksimal 4 jam. Persoalannya, pada saat lembur itu, jam kerja para pekerja jam apa maksimal segitu? 8 jam pertama plus 4 jam?"
Dia menegaskan aturan jam kerja sangat penting diperhatikan, apalagi ketika cuaca hujan. Sebab, faktor cuaca dapat mempengaruhi kesehatan pekerja dan ujungnya pada keselamatan kerja.
"Lelah yang tidak bisa direcovery (pulih) pada saat itu akan mempengaruhi terhadap kerja," kata dia.
Lazuardi mengimbuhkan evaluasi juga perlu mencermati ketersediaan fasilitas penunjang untuk menjamin keselamatan kerja di proyek konstruksi. Salah satu yang paling penting adalah ketersediaan tenaga medis untuk memeriksa kesehatan pekerja secara berkala.
"Semua itu yang perlu dilakukan (dalam evaluasi) saat pemberhentian sementara proyek. Saya berharap dikaji semua, termasuk analisis keselamatan pekerjaan di setiap metode pekerjaan. Harus ada analisis keselamatan pekerjaannya," ujar dia.
Lazuardi menduga insiden runtuhnya bekisting pierhead, yang melukai 7 pekerja, di proyek tol Becakayu pada Selasa dini hari kemarin, adalah kegagalan dalam pemasangan formwork untuk pengecoran. "Artinya bisa jadi izin kerjanya belum disetujui atau tidak diperiksa sesuai dengan gambar pelaksanaan," ujarnya.
Ia menerangkan dalam setiap proyek konstruksi, ada gambar rancangan bangunan yang dikeluarkan oleh konsultan perencana. Hal itu menjadi bahan untuk pembuatan gambar pelaksanaan (SOP drawing) oleh kontraktor sebagai acuan kerja. Setelah itu, kalau sudah selesai dibangun, kontraktor wajib menyerahkan gambar terpasang ke pemilik proyek untuk keperluan pemeliharaan.
Lazuardi menilai insiden di proyek Becakayu tidak terlalu fatal sebab hanya bekisting pierhead (cetakan sementara untuk penahan beton) yang runtuh dan bukan girder atau balok di antara dua penyangga jalan layang.
"Resiko lebih besar girder. Kalau girder bisa jelas kena ke lingkungan enggak cuma pekerja," kata dia.
Namun, dia menegaskan, insiden tersebut semestinya tidak perlu terjadi apabila kontraktor benar-benar mematuhi aturan pelaksanaan pengawasan.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Addi M Idhom