tirto.id - Akira Toriyama tadinya hanya hendak menggambar seorang laki-laki dengan tank. Untuk senang-senang saja. Siapa nyana, menggambar tank justru bikin sang mangaka frustrasi.
Itu jauh setelah rilisnya Dr. Slump (kadang juga disebut Arale-chan), selepas meledaknya Dragon Ball, ketika Toriyama telah menjadi salah satu mangaka paling berpengaruh sepanjang masa. Dan pastinya, setelah dia menyajikan ragam desain kendaraan dalam gaya khasnya.
Dia selalu seperti itu, menggambar apa saja yang dia mau (Dragon Ball konon dirancang sambil jalan, dan dia kerap melupakan apa yang sudah ditulisnya). Dalam salah satu diskusinya bersama Eiichiro Oda (kreator One Piece), Toriyama mendaku masih kesulitan menggambar tank atau kendaraan pada umumnya yang eksis di kehidupan nyata.
Namun,dia selalu menemukan jalan untuk mendesain kendaraan yang kecil lagi padat, tampak “gemuk” dari luar berkat garis-garis lengkung tegas, dan pastinya menjadi ciri khas sang mangaka.
Toriyama menghabiskan banyak waktu untuk mengutak-atik cara menggambar tank, tapi narasi komiknya sendirimalah belum pungkas.
Jadilah Sand Land, sebuah manga pendek (14 chapter) yang diserialisasi di majalah Weekly Shōnen Jump dari Mei hingga Agustus 2000. Serial itu lantas dikumpulkan menjadi satu volume tankōbon pada November 2000 oleh Shueisha.
Pada pengujung 2022 lalu, Namco Bandai Entertainment merilis sebuah teaser trailer bertajuk "SAND LAND project" yang menampilkan Beelzebub, karakter utama manga ini. Tak jelas peruntukannya sampai beberapa bulan kemudian, tepatnya dua hari sebelum ulang tahun sang mangaka, sebuah trailer penuh dirilis.
Sand Land diadaptasi ke dalam bentuk film anime CGI yang bakal tayang mulai Agustus 2023.
Kritik Kemanusiaan dan
People Power
Dunia sci-fi yang unik pula retrofuturistik, kisah kepahlawanan, dan orang-orang kuat. Begitu lazimnya kita mengenal karya-karya terdahulu Toriyama. Sand Landpun berposisi di koridor yang tak jauh beda, malahan lebih fokus dengan lingkup kecil dan narasi yang lebih ringkas.
Kisahnya mengambil latar waktu di masa depan, ketika PlayStation 6 dan video game Dragon Quest XIII (yang juga melibatkan Toriyama sebagai ilustrator) telah menjadi semacam artefak. Setengah abad setelah perang dan bencana, tanah menjadi wasteland nan gersang dan air jadi barang langka.
Mata air dimonopoli seorang raja tiran, sementara rakyat harus membayar mahal untuk sumber kehidupan itu. Saat rakyatnya kekurangan, si raja malah asyik berendam dalam kolam di istananya—antagonis yang ditulis (dan didesain) agar mudah untuk dibenci.
Sebagian manusianya bersetelan klise semesta post-apocalypse berlatar wasteland layaknya dalam Mad Max. Ada pula karakter-karakter sampingan dengan peran krusial seperti swimmers yang digambarkan hanya koloran di tengah teriknya gurun.
Di dunia itu, manusia hidup koeksis bersama setan dan berbagai ras makhluk lainnya. Plot lantas bermula ketika seorang sheriff tua bernama Rao meminta bantuan Beelzebub, demon berusia 2500 tahun, demi menemukan sebuah mata air mistis untuk masyarakat.
Sebagai putra sang raja setan Lucifer, Beelzebub punya penglihatan dan pendengaran tajam, kemampuan telepatis, dan kekuatan fisik jauh di atas manusia. Energinya diserap dari kegelapan malam. Singkatnya, dia merupakan ras superior.
Kendati demikian, itu tak menjadikan sang pangeran kegelapan jadi karakter yang semena-mena. Mulanya, dia memang digambarkan jahil dengan intensi menyiksa manusia untuk kesenangan. Namun, Beelzebub juga digambarkan punya kebaikan dalam dirinya yang ditampilkan dengan memberikan air (hasil rampokan) kepada anak manusia yang lebih membutuhkan.
Seiring berjalannya cerita, Beelzebub pun menjelma karakter heroik.
Sand Land adalah petualangan penyelamatan dunia yang sederhana, dengan perkembangan untuk karakter-karakternya, maupun penyingkapan identitas asli, yang sekalian memanggul motif penebusan dosa masa lalu. Dalam keringkasannya—dan kecenderungannya untuk sekadar-bikin-cerita-komedi, Toriyama tak luput menyelipkan kritiknya terhadap kemanusiaan.
Dalam dialognya, kerap ditunjukkan bahwa setan memang berbuat jahat, tapi mereka tak pernah membunuh seperti halnya manusia. Sementara itu, bila hal buruk terjadi, manusia juga selalu menimpakan kesalahan pada setan—perangai negatif manusia untuk berkelit yang bisa kita ditemukan di dunia nyata.
Di lain sisi, setan seperti Beelzebub justru menyelamatkan nyawa manusia hanya karena mereka perlu diselamatkan, persetan dengan motif transaksional.
Itu kisah yang ringan dengan kritik gamblang akan keserakahan manusia. Di dalamnya, terkandung poin-poin gelap kemanusiaan, semisal fasisme yang dijalankan seorang tiran dan genosida kaum tertentu akibat propaganda kerajaan.
Adegan-adegan pertempurannya tak begitu spesial—agaknya, Toriyama memang tak hendak menjadikannya sebagai sajian utama. Ada klise final boss monster rekaan kerajaan—yang selain diniatkan untuk genosida lainnya—cukup mudah terlupakan.
Beelzebub sendiri tak punya gaya berkelahi yang khas. Dia hanya “sekadar” super kuat. Paling tidak sampai dia melolong dan menghasilkan kawah-kawah di tanah seperti yang biasa ditemukan pada komik shonen yang diguratkan Toriyama.
Di samping sindiran-sindiran pada kemanusiaan dan prasangka terhadap ras berbeda, dialognya pun bisa dicap standar, terutama dengan klise villain “banyak omong” yang menjelaskan motif dan situasi pada pembaca.
Meski begitu, endingnya cukup menghangatkan. Jenderal pencetus genosida akhirnya digulingkan berkat kerja sama rakyat dari berbagai ras. Ide bahwa tirani bisa dirobohkan tetap bergaung, meski sang raja tetap duduk di singgasananya sampai akhir.
Agaknya, Toriyama lagi-lagi tak ingin bertele-tele pada soal itu. Alih-alih, dia berfokus pada poin lain yang tak kalah krusial: keberpihakan pada mereka yang tertindas. Bilamana tak ada lagi yang peduli terhadap sesama, akan selalu ada individu spesial yang turun tangan, muncul dari kegelapan sekalipun.
Tetap Terasa Toriyama
Toriyamamasih menghadirkan karakter utama yang mudah disukai, layaknya shonen pada umumnya. Berpegang pada kebiasaan Toriyama menggambar karakter yang cenderung “kartun” alih-alih jantan—kecil tapi sanggup meng-KO mereka yang jauh lebih besar. Trio karakter utama Sand Land juga mengingatkan kita pada dinamika interaksi Goku, Krillin, dan Kamesennin.
Toriyama pun masih dengan hewan-hewan tak lazim, kekhasan desain kendaraan (tank, mobil, dan jet yang disertai porsi penjelasan fitur dan cara kerjanya), serta gaya gambar yang tak banyak bergeser—bisa dibilang meningkat malah—dalam komposisi yang tetap mudah dipahami.
Petualangannya masih mudah menghanyutkan pembaca, terlebih skala semestanya yang kecil justru menjadikannya kian padat. Ia masih menyiratkan harapan akan progres pada kemanusiaan yang disampaikan dengan ringan serta diselingi banyak humor.
Karakter-karakternya kadang kelewat naif, seringnya tak begitu mendalam. Misalnya, butuh waktu 50 tahun bagi seorang warga Sand Land untuk menyadari rajanya adalah seorang lalim dan mengupayakan untuk mencari sumber air sendiri. Warga desa digambarkan sedemikian simpel, sampai tak begitu mafhum akan dunianya sendiri—meski di sisi lain, ini diperlukan untuk menambah efek kejamnya tirani.
Dunia yang sama barangkali dapat dieksplorasi lebih lanjut di dalam animenya, meski juga sangat mungkin tak ada perubahan apa pun dalam adaptasinya kelak. Visual canggih yang ditunjukkan dalamtrailer-nya sejauh ini cukup menjanjikan dalam mengantarkan petualangan ringan khas mangaka kegemaran kita semua jadi lebih menarik lagi.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi